Oleh FIRNAS, Pasuruan
Sebuah konten video di platform TikTok yang diunggah oleh akun @/Ngobrolsantaiindonesia tengah menjadi sorotan tajam dan perbincangan hangat di kalangan netizen Indonesia. Video promosi wisata religi tersebut memicu kontroversi karena menggunakan frasa "umrah ke Borobudur" yang dianggap menyenggol syariat agama lain dan menyinggung sentimen keagamaan.
Dalam video tersebut, narator mengkritik kecenderungan masyarakat yang "takut" dengan budaya lokal seperti keris, kembang, dupa, kemenyan, atau blangkon. Ia kemudian membandingkan biaya ibadah umrah ke Tanah Suci yang mahal dan antrean panjang, dengan "tanah suci leluhur" di Indonesia seperti Gunung Lawu (Pringgondani), Candi Ceto, Candi Sukuh, hingga Candi Borobudur, yang diklaim jauh lebih terjangkau, bahkan dengan modal satu juta rupiah bisa "bolak-balik".
*Reaksi Keras dari Netizen dan Seruan Penertiban*
Unggahan tersebut langsung disambut dengan berbagai reaksi negatif dari warganet, terutama di platform media sosial X (sebelumnya Twitter), setelah diunggah ulang oleh akun @neVerAl0nely.
Maria.A.Alkaff, salah satu netizen, dengan tegas menyebut fenomena ini sebagai bentuk "Islamophobia yang makin menggila dan gak malu-malu lagi main kasar ke agama orang." Ia juga menyoroti ironi di mana pihak-pihak yang kerap menyuarakan toleransi, kini justru terkesan melakukan tindakan SARA. Maria mendesak pihak berwenang, dengan me-mention akun resmi @Kemenag_RI dan @DivHumas_Polri, untuk menertibkan konten semacam ini.
Senada dengan itu, Rohta Anjulian menggarisbawahi pentingnya promosi pariwisata yang etis. "Promosi pariwisata itu penting, tapi jangan sampai bawa-bawa istilah sakral agama lain untuk gimmick marketing," tulisnya. Frasa "Umrah ke Borobudur" dianggapnya bukan hanya tidak sensitif, tetapi juga berpotensi menyinggung keyakinan umat yang menjalankan ibadah umrah dengan serius. Rohta Anjulian menekankan bahwa keagungan Borobudur dapat diangkat tanpa harus meniru atau menyenggol ajaran agama lain.
Komentar lain dari akun bernama Han juga menyuarakan kekesalan, "Mereka suka bikin masalah. Nanti saat dimasalahkan, mereka playing victim alasan minoritaslah, intoleransilah, HAM lah, dsb." Ia menegaskan bahwa promosi agama dan budaya seharusnya dilakukan tanpa perlu "nyenggol syariat dan urusan agama lain."
Sementara itu, Auoquamel Delacroix menengarai adanya kesengajaan dalam penggunaan kata "umroh" untuk tujuan ejekan, dan menuntut agar kalimat tersebut dihapus karena dinilai "jelek sekali."
Kontroversi ini kembali memicu diskusi publik tentang batas-batas kebebasan berekspresi dalam konteks keberagaman agama di Indonesia, serta pentingnya menjaga toleransi dan saling menghormati keyakinan. Pihak berwenang diharapkan dapat segera merespons aduan masyarakat terkait konten yang berpotensi memecah belah ini. (*)
No comments:
Post a Comment