Kabupaten Pasuruan nampaknya makin semangat jadi Kabupaten Liburan. Setelah sebelumnya punya 15 desa wisata yang bikin mata berbinar dan kantong bergetar, tahun ini dua lagi nambah! Yup, Desa Karangsono di Kecamatan Wonorejo dan Desa Ngadiwono di Kecamatan Tosari resmi merapat ke klub elit “17 Desa Wisata Pasuruan.” Hore? Atau… PR nambah buat para wisatawan galau yang susah ambil keputusan?
Karangsono: Dari Lapangan Bola ke Lapangan Foto
Desa Karangsono sukses melakukan transformasi dari lapangan bola jadi lapangan bahagia. Iya, dulu tempat anak-anak kampung nendang bola sampai pecahin jendela tetangga, sekarang disulap jadi Alun-alun Karangsono yang penuh spot foto Instagramable. Kalau dulu yang nendang bola bisa dapet bentakan, sekarang yang jepret foto dapet like ribuan.
Ada kolam renang buat basah-basahan (bukan basah karena cicilan), kebun pisang Cavendish buat gaya hidup sehat—atau sekadar konten makan pisang ala selebgram, dan kebun hidroponik biar kita bisa bilang “aku cinta sayur” meski cuma buat caption.
“Semua ini dimulai dari spot-spot foto. Eh, kok rame yang datang. Ya udah, kita seriusin aja jadi desa wisata,” kata Pak Kades Imron, yang lebih visioner daripada banyak kepala daerah.
Ngadiwono: Belum Dapat SK, Tapi Sudah Dapat Hati
Desa Ngadiwono mungkin belum dapet SK resmi, tapi sudah dapet SKTT alias Surat Keputusan Tak Tertulis dari para pecinta suasana pegunungan. Kebun asri, rumah warga yang masih setia pada kearifan lokal, dan udara sejuk—mereka nggak jual tiket, tapi bisa bikin kita lupa sama cicilan.
Menurut Pak Nusantoro dari Dinas Pariwisata, dua desa ini sudah memenuhi syarat jadi desa wisata. Mulai dari potensi wisata, SDM, sampai kesiapan masyarakat. Yang belum siap? Ya, mungkin cuma dana bantuan dan akses jalan yang kadang bikin shock breaker mobil menjerit minta ampun.
Dari Wisata Jadi Wawasan
Penambahan desa wisata ini, kalau dipikir-pikir, bukan cuma soal tempat rekreasi. Ini soal martabat desa, soal membuka peluang baru, dan soal ngasih bukti ke dunia: “Hey, desa juga bisa keren!” Tapi di balik itu, tentu saja terselip tantangan: gimana biar desa wisata nggak cuma jadi taman selfie, tapi benar-benar memberdayakan warga?
“Kalau makin banyak desa wisata, ya makin bagus. Wisatawan nambah, pendapatan desa meningkat,” harap Pak Nusantoro, yang kayaknya udah paham betul rumus pariwisata = pendapatan + kebahagiaan – macet + ekonomi lokal.
Masalahnya Cuma Satu: Jalan Berlubang
Oke, desa wisata nambah. Tapi tolonglah Pak, Bu, ini jalan menuju lokasi wisata juga butuh jadi wisata-able. Masa ke desa wisata harus pake mobil off-road? Atau disuruh jalan kaki sambil meditasi? Kalau jalan mulus, turis happy, warga juga nggak pusing bayar servis motor tiap bulan.
Catatan Kaki Gareng Petruk:
Wisata itu soal pengalaman, bukan sekadar pemandangan. Jangan sampai desa cuma jadi latar belakang selfie dan ekonomi masyarakat tetap mandek. Jangan biarkan desa wisata jadi sekadar hiasan untuk laporan tahunan. Kembangkan dengan hati, bukan cuma dengan SK.
Dan buat para wisatawan, jangan cuma datang buat foto-foto, lalu pulang tanpa beli apa-apa. Ingat, senyum warga memang gratis, tapi ekonomi desa butuh dukungan nyata. Beli kopi, jajan gorengan, atau nginap semalam. Itulah kontribusi kecil yang berdampak besar.
Ayo, liburan sambil membangun negeri. Karena membangun Indonesia itu bisa dimulai dari membeli keripik pisang di desa wisata.
Salam manis dari kaki Gunung Bromo,
Gareng Petruk.
https://garengpetruk.com/pasuruan-garengpetruk-com-desa-wisata-tambah-lagi-wisatawan-tambah-pusing-milihnya/
No comments:
Post a Comment