Thursday, June 19, 2025

KONTROVERSI TAHLILAN

*Kontroversi Tahlilan Awal NU: Hukum Makruh Hingga Bid'ah di Era Mbah Hasyim*

Oleh Firnas 

SURABAYA – Tradisi tahlilan yang kini identik dengan Nahdlatul Ulama (NU) ternyata menyimpan sejarah hukum yang dinamis dan sempat menjadi perdebatan internal di awal berdirinya organisasi tersebut. Prof. DR. H. Ahmad Zahro, salah satu Imam Besar Masjid Al-Akbar Surabaya, dalam sebuah ceramahnya, mengungkapkan fakta menarik berdasarkan hasil penelitian disertasinya tentang "Bahtsul Masail" NU dari tahun 1926 hingga 1999.

Menurut Prof. Zahro, di era awal NU, terutama pada masa KH. Hasyim Asy'ari, pendirian organisasi ini cenderung kuat mengikuti Mazhab Syafi'i. Dalam pandangan Imam Syafi'i, pahala dari amal ibadah yang dihadiahkan (misalnya melalui tahlilan) tidak akan sampai kepada mayit. Pendapat yang menyatakan pahala dapat sampai adalah pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, sementara Imam Malik mengambil posisi abstain.

"Memang awal-awal NU dulu, terutama di era Mbah Hasyim, itu ya seperti itu, ikut Imam Syafi'i lebih kuat dibanding tiga mazhab lain," jelas Prof. Zahro. Ia menambahkan bahwa dokumen Bahtsul Masail NU tahun 1926 bahkan mencatat bahwa tahlilan, khususnya yang dilakukan pada hari ketiga dan ketujuh, dianggap makruh bahkan bid'ah.

"Memang bahkan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya (dianggap) bid'ah," tegas Prof. Zahro, mengutip rekaman dan dokumen resmi Bahtsul Masail yang ia miliki.

Namun, Prof. Zahro juga menekankan bahwa hukum dalam Islam bersifat fleksibel dan dapat mengalami perubahan seiring perkembangan zaman dan pergaulan masyarakat. Ia menjelaskan bagaimana Bahtsul Masail, yang banyak merujuk pada kitab *I'anatut Thalibin* karya Syekh Abu Bakar Syatha, mengalami pergeseran pandangan.

"Pada awalnya (kitab) *I'anatut Thalibin* digunakan untuk merujuk bahwa tidak boleh hadiah pahala, tidak boleh selamatan itu. Tapi kemudian pada akhirnya juga *I'anatut Thalibin* membolehkan tapi dalam format doa," terang Prof. Zahro.

Inilah mengapa, menurut Prof. Zahro, doa tahlilan di kalangan NU yang mengerti formatnya berbunyi "Allahumma ausil tsawaaba maqaranaahu" (Ya Allah, sampaikanlah pahala yang kami baca ini), bukan secara langsung menghadiahi pahala, melainkan berdoa agar Allah menyampaikan doa tersebut. Ia menyoroti dominasi kitab *I'anatut Thalibin* dalam rujukan Bahtsul Masail NU, di mana 80% rujukan berasal dari kitab tersebut, sementara kitab utama Imam Syafi'i sendiri, *Kitab Al-Umm*, hanya dirujuk enam kali sepanjang periode penelitiannya.

Menutup ceramahnya, Prof. Zahro menyerukan agar umat Islam menjaga kerukunan dan saling menghormati perbedaan pandangan terkait tahlilan. "Soal ini ya kita yang penting tidak mencela. Kalau tahlilan coba yang santun, yang tidak usah terlalu berlebihan (lama). Kalau ada yang (mengadakan) hari ke-6, hari ke-7 dan sebagainya, sudahlah tidak usah diperdebatkan. Toh hanya waktu, ya sudahlah mereka punya keyakinan yang tidak usah dicela," pungkasnya.

Dengan demikian, ceramah Prof. Zahro memberikan pemahaman bahwa tradisi tahlilan yang kuat di NU saat ini adalah hasil dari evolusi interpretasi hukum yang mempertimbangkan realitas sosial, sembari tetap menjaga akar keilmuan dan kerangka mazhab yang dianut. (*)

https://youtu.be/4Et4ovLDyls?si=ayAgdQ5_hQkVZm1l

---

No comments: