Waduh, Petruk sampe nyembur kopi waktu lihat video viral itu.
“Lho rek, Jokowi ditangkap? Sama siapa? KPK? Bukan.
Densus? Bukan. Satpol PP? Lebih bukan lagi.
Lha iki… sama Polisi TikTok!”
Iya, panjenengan nggak salah baca. Seorang pemuda berseragam polisi—yang lebih mirip peran di FTV ketimbang Bareskrim—membuat video menangkap tokoh-tokoh nasional: dari mantan Presiden Jokowi sampai menteri-menterinya. Semua dengan gaya dramatis, lengkap dengan narasi seperti sinetron “Pengadilan Akhir Zaman”.
Tapi, tunggu dulu. Jangan langsung panik.
Ini bukan berita, ini satir. Tapi… ya kok tetap bikin geger.
Ketika TikTok Jadi Teater Politik
Di zaman dulu, satire itu naik pentas ketoprak atau ngebanyol di warung kopi. Sekarang? Cukup scroll TikTok. Layar 6 inci sudah cukup untuk jadi panggung nasional.
Fenomena “Polisi TikTok” ini adalah cerminan paling gokil dari bagaimana kreativitas rakyat sudah sampai titik nekat—eh, maksudnya jenius. Kritik sosial tak lagi lewat koran atau demonstrasi. Tapi lewat lipsync, efek slow-motion, dan musik latar yang lebih dramatis dari soundtrack Avengers.
Apakah ini salah? Belum tentu. Tapi kalau nggak hati-hati, bisa jadi nggak benar juga.
Antara Satir dan Salah Kaprah
Satire politik itu penting. Bahkan di negara maju, pemimpin jadi bahan candaan tiap malam di TV. Tapi beda negara, beda literasi. Di sini, masih banyak orang yang belum bisa bedain mana satire, mana berita. Jadinya?
> “Eh serius lho, Jokowi beneran ditangkap!”
“Masa, Mbak? Sama siapa?”
“Sama TikTok.”
Begitu hoaks lahir, maka polarisasi pun tumbuh. Yang satu tepuk tangan sambil senyum licik, yang lain ngamuk sambil lapor polisi. Dan netizen? Seperti biasa: ngopi sambil debat di kolom komentar.
Literasi Digital Kita: Masih TK Kecil
Petruk heran, “Masak HP-mu udah 5G, tapi otakmu masih loading?”
Betul. Teknologi melesat, tapi akal sehat masih jalan kaki.
Viralnya video kayak gini menunjukkan bahwa literasi digital kita baru sampai level “asal lucu, share aja”. Padahal, yang tampak lucu bisa jadi memicu. Terutama kalau menyentuh hal-hal sensitif macam kekuasaan, aparat, dan isu hukum.
Makanya, edukasi digital harus naik pangkat.
Anak-anak diajari bukan cuma cara upload video, tapi juga cara mikir.
Biar jempol nggak lebih cepat dari otak.
Kebebasan Berekspresi: Boleh Bebas, Tapi Jangan Ngawur
Kebebasan berekspresi itu hak. Tapi bukan berarti bebas ngawur.
Kalau semua bisa dikritik, ya semua juga harus siap dikritik balik.
Kalau bikin konten yang menyentuh isu sensitif, ya siap juga kalau ditanya aparat.
> “Mas, ini maksudnya satire, atau serangan politik terselubung?”
“Lha itu kan… biar netizen yang menilai, Pak.”
“Lah sampeyan bikin, kok malah lempar ke netizen?”
Nah lho.
Kebebasan itu seperti jalan tol. Harus ada marka, batas kecepatan, dan lampu hazard. Biar nggak tabrakan opini yang akhirnya bikin luka.
Konten Kreatif vs Konten Kontroversial
Gareng bilang, “Kreatif itu bagus. Tapi jangan sampai kreatifnya kebablasan, terus jadi kriminal.”
Pembuat konten punya tanggung jawab. Jangan cuma ngejar viral, tapi lupa etikanya. Kritik boleh, tapi harus cerdas. Satire boleh, tapi jangan ngipusi. Jangan sampai netizen yang kurang literasi jadi korban, lalu negara yang harus bersihin.
Penutup: Yuk, Belajar Tertawa Sambil Mikir
Video “Polisi TikTok” ini ibarat kentut di tengah rapat: bau, tapi bikin orang mikir.
Lucu iya. Gokil banget. Tapi juga memperlihatkan betapa tipisnya batas antara kebebasan dan kebablasan.
Kalau kita mau jadi bangsa yang cerdas, ya harus bisa tertawa tanpa lupa berpikir.
Bukan asal share asal seru, tapi tanya juga: “Ini bener nggak ya?”
Dan buat yang bikin konten:
> Jangan cuma mikir viewers, pikir juga dampaknya.
Jangan cuma cari like, pikir juga logika publik.
Karena dalam dunia digital, yang kamu bikin hari ini bisa jadi bom waktu buat esok pagi.
Gareng & Petruk pamit dulu. Ingat:
> Kalau niatmu kritik, jangan nembak sambil merem.
Kalau niatmu lucu, pastikan nggak bikin bangsa jadi dungu.
Titik. Salam literasi dan satir berkualitas!
https://garengpetruk.com/viral-polisi-tiktok-tangkap-politisi-satire-seni-atau-sumbu-pendek-demokrasi/
No comments:
Post a Comment