Thursday, June 19, 2025

Perang Iran vs Israel

*Perang Meluas di Timur Tengah: Tel Aviv Porak-poranda, Iran Angkat Kaki, dan Tekanan Terhadap Netanyahu Meningkat*

Oleh FIRNAS

TEL AVIV, ISRAEL – Serangan balasan Iran yang dramatis terhadap Israel pada Jumat, 13 Juni 2025, telah mengubah dinamika konflik di Timur Tengah secara signifikan. Tel Aviv dilaporkan porak-poranda, bahkan mulai menyerupai Gaza, menyusul hantaman rudal Iran. Situasi ini, yang dibahas dalam podcast Ari Untung bersama pengamat politik Timur Tengah, Faisal Asseggaf, pada Rabu, 18 Juni 2025, menunjukkan peningkatan tensi yang mengkhawatirkan dan implikasi global yang serius.

*Tiga Penghinaan yang Membakar Amarah Iran*

Faisal Asseggaf menjelaskan bahwa serangan Iran adalah puncak dari serangkaian "penghinaan terbesar" yang dilakukan Israel. 

Penghinaan pertama terjadi ketika pemimpin Hamas, yang merupakan tamu negara Iran, tewas dalam kecelakaan helikopter yang diyakini didalangi Mossad. 

Kedua, pemimpin tertinggi Hizbullah, Hassan Nasrallah, yang merupakan sekutu utama Iran, juga tewas pada 27 September tahun lalu. Iran memilih untuk tidak membalas kedua insiden tersebut, memicu pertanyaan di kalangan masyarakatnya sendiri.

Puncaknya adalah tewasnya Jenderal Muhammad Bagheri, Panglima Angkatan Bersenjata Iran, dan Jenderal Hossein Salami, Komandan Garda Revolusi, dalam serangan Israel pada Jumat, 13 Juni 2025. 

"Ini mau tidak mau mengganggu kredibilitas rezim ulama yang berkuasa sejak 1979," jelas Asseggaf. 

Serangan langsung terhadap pimpinan militer tertinggi di dalam negeri Iran ini memaksa Teheran untuk merespons demi menjaga kredibilitas dan harga diri bangsanya.

*Dampak Serangan Balasan Iran: Hukuman dan Pembuktian*

Serangan balasan Iran dilaporkan sangat menyakitkan bagi Israel. Haifa terbakar, Tel Aviv porak-poranda, dan setidaknya tiga pangkalan militer Israel terkena hantaman. Kabar terbaru menyebutkan markas Mossad di Herzliya dan markas Unit 8200 (unit intelijen militer Israel) juga hancur.

Asseggaf menilai serangan Iran ini bisa dipandang sebagai bentuk "hukuman terhadap Israel" di tengah berdiamnya dunia terhadap genosida dan kejahatan perang di Gaza. 

"Dunia pada diam. PBB, OKI, Liga Arab, semua enggak ada yang bisa menghentikan Israel," ujarnya. 

Iran, menurut Asseggaf, seolah mengambil peran Dewan Keamanan PBB untuk memberi pelajaran kepada Israel yang semakin arogan.

Lebih lanjut, Asseggaf menegaskan bahwa Iran sebenarnya telah memenangkan perang ini dari awal. Meskipun berada di bawah sanksi politik, ekonomi, dan militer dari Amerika Serikat selama 26 tahun, Iran mampu mengembangkan persenjataan yang menakutkan, termasuk rudal hipersonik Fatah 1 yang mampu menempuh jarak seribuan kilometer dalam 11 menit. Kontrasnya, Israel yang dibantu AS (mendapat 3,8 miliar dolar per tahun dan 300 roket Hellfire baru-baru ini) kesulitan menghadapi milisi seperti Hamas, apalagi melawan kepala gurita Iran yang memiliki tentakel kuat seperti Hizbullah dan Houthi.

Serangan ini juga membuktikan kegagalan sistem pertahanan rudal Israel, Arrow 3, yang diklaim mampu menangkal serangan. "Ternyata tembus," kata Asseggaf, menambahkan bahwa hal ini membuat mata dunia menyadari bahwa Israel "tidak semenakutkan itu."

*Netanyahu di Ujung Tanduk: Perang demi Jabatan?*

Kerusakan masif di Tel Aviv telah meruntuhkan citra Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di mata warganya. Asseggaf menyebut nama Netanyahu "makin hancur" karena kegagalannya membebaskan sandera sepenuhnya dan justru memperburuk situasi keamanan.

Mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, pernah blak-blakan menyatakan bahwa musuh sejati Israel adalah Netanyahu sendiri yang arogan dan memaksakan diri. 

"Dia memang perlu perang ini supaya dia tidak menjalani sidang korupsi," ungkap Asseggaf.

Netanyahu menghadapi empat kasus korupsi yang sidangnya tertunda karena perang. Perang melawan Iran ini disebut sebagai "perang eksistensial" bagi masa depan Israel, namun bagi Netanyahu, ini adalah upaya terakhir untuk mempertahankan kekuasaan.

*Ancaman Eskalasi Global: AS, Rusia, dan Cina di Persimpangan Jalan*

Respon cepat Netanyahu yang meminta bantuan militer langsung dari Amerika Serikat mengindikasikan kepanikan Tel Aviv. Asseggaf memperingatkan bahwa jika AS melakukan intervensi militer langsung, Rusia dan Cina kemungkinan besar tidak akan tinggal diam dan akan mendukung Iran, memicu perang yang lebih luas dan berisiko Perang Nuklir. Pakistan juga telah menyatakan kesediaannya untuk membantu Iran.

Meskipun invasi darat AS seperti di Afghanistan atau Irak tidak mungkin terjadi lagi, potensi eskalasi tetap tinggi. AS, menurut Asseggaf, akan berhitung matang karena Eropa pun mulai menarik diri dari dukungan penuh terhadap Israel, menyadari risiko politik dalam negeri jika terus berpihak pada genosida.

Tuduhan Barat bahwa Iran mengembangkan senjata nuklir disebut Asseggaf sebagai "alasan Amerika" untuk menumbangkan rezim anti-Israel, serupa dengan kasus Saddam Hussein di Irak yang dituduh memiliki senjata pemusnah massal. Ia menyoroti standar ganda AS yang menekan Iran untuk inspeksi nuklir oleh IAEA, namun tidak pernah melakukan hal serupa terhadap Israel yang diyakini memiliki hingga 200 bom nuklir sejak 2004, seperti diungkap pembocor Mordechai Vanunu.

*Blokade dan Pengaruh Amerika di Dunia Arab*

Konflik ini juga menyoroti peran negara-negara Arab yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, seperti Mesir dan Yordania. Kedua negara ini menerima miliaran dolar bantuan militer dan ekonomi dari AS, yang membuat mereka enggan membuka jalur bantuan kemanusiaan atau menentang Israel. 

"Mesir enggak akan buka itu pintu Rafah, enggak akan buka karena Israel enggak ngizinin," kata Asseggaf. 

Rezim yang berkuasa di negara-negara ini tidak akan mengambil risiko melawan perintah Israel karena khawatir akan kehilangan bantuan dan kekuasaan.

Asseggaf juga mengkritik narasi-narasi keliru yang berkembang di media sosial, seperti klaim "pembebasan Al-Aqsa" atau adzan pertama kali berkumandang di Masjid Umayyah, menyebutnya "narasi ngawur" yang tidak sesuai dengan realitas geopolitik di lapangan. Negara-negara Muslim besar sekalipun, seperti Turki, yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, tidak mampu membebaskan Al-Aqsa.

Perjalanan keadilan bagi Palestina dan stabilitas di Timur Tengah tampaknya masih panjang, tergantung pada dinamika kompleks antara kekuatan global dan kepentingan regional yang saling berbenturan.(*)

Sumber:
https://youtu.be/3bjvvPjREIA?si=QxvICmh_KmbLKFwc

No comments: