Memahami Islam: Wawancara dengan Karen Armstrong
Oleh FIRNAS
Karen Armstrong, seorang sejarawan agama terkemuka, memberikan pandangannya tentang Islam dan kesalahpahaman yang sering menyertainya, serta menyoroti pentingnya ritual, keindahan Al-Qur'an, dan sosok Nabi Muhammad SAW.
Armstrong memulai dengan membandingkan pengalamannya dalam Katolik dengan Islam, menyoroti perbedaan dalam penekanan pada doktrin. Baginya, pemahaman agama tidak hanya melalui fakta atau kitab suci, tetapi juga melalui ritual dan perilaku yang membentuk pola pikir. Ia menekankan bagaimana salah satu tindakan pertama Nabi Muhammad SAW adalah menganjurkan umatnya untuk salat, bersujud lima kali sehari—sebuah tindakan yang awalnya "tidak menyenangkan" bagi kaum Arab yang bangga pada diri sendiri.
"Orang belajar tentang agama tidak hanya dengan mempelajari fakta atau membaca kitab suci, tetapi ritual dan perilaku mengubah pikiran Anda," jelas Armstrong. Ia menambahkan, "Salah satu hal pertama yang dilakukan Nabi adalah menasihati umatnya untuk salat, bersujud. Ini sangat tidak menyenangkan bagi kaum Arab yang saat itu sangat bangga pada diri sendiri."
Tiga Hal Penting tentang Islam
Ketika ditanya tentang tiga hal terpenting yang harus diketahui seorang non-Muslim tentang Islam, Armstrong menggarisbawahi poin-poin berikut:
1. Pentingnya Ritual dan Pengosongan Diri:
Armstrong menekankan bahwa Islam, berbeda dengan pengalaman Katoliknya yang sarat doktrin abstrak, sangat mengedepankan ritual. Tindakan sujud dalam salat, misalnya, adalah bentuk "kenosis" atau pengosongan diri, di mana seseorang mengakui kehampaan dan kerendahan diri di hadapan Tuhan. Ini adalah pembelajaran yang didapat dari tubuh dan tindakan, bukan hanya doktrin.
2. Keindahan Al-Qur'an:
Meskipun tidak menguasai bahasa Arab, Armstrong sangat terpesona oleh keindahan Al-Qur'an. Ia menceritakan pengalamannya di Israel-Palestina, di mana sekelompok pemuda Palestina—yang tidak terlalu religius—seketika terdiam dan menunjukkan kekaguman mereka ketika lantunan Al-Qur'an diputar di radio. Momen ini menandai awal ketertarikannya pada Islam.
3. Keterbukaan terhadap Keyakinan Lain:
Poin ketiga berkaitan dengan pesan inklusivitas Islam. Armstrong mengutip Ibn al-Arabi: "Jangan memuji imanmu sendiri secara eksklusif sehingga Anda tidak percaya pada yang lainnya. Jika Anda melakukan ini, Anda akan kehilangan banyak kebaikan, bahkan Anda akan gagal mengenali kebenaran yang sebenarnya." Kutipan ini menyoroti bahwa Tuhan tidak dapat dibatasi pada satu kredo tertentu, dan bahwa menyalahkan keyakinan orang lain seringkali didasarkan pada ketidaktahuan.
Islamofobia dan Kesalahpahaman Barat
Armstrong menjelaskan bahwa Islamofobia di Barat bukanlah fenomena baru yang muncul setelah 9/11, melainkan berakar jauh dalam sejarah. Ia berpendapat bahwa Eropa Barat, setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi, merasa terancam oleh kemunculan Islam sebagai agama dunia dan kerajaan besar yang sukses.
"Kita harus ingat bahwa Barat adalah pendatang baru di panggung peradaban," kata Armstrong. "Eropa Barat setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi selama berabad-abad adalah tempat yang terpencil... Kemudian mereka bertemu Islam yang merupakan agama dunia yang hebat, sebuah kerajaan besar, itu adalah kisah sukses besar."
Rasa "kecil" dan "terhina" ini, menurut Armstrong, menempatkan Barat pada jalur yang salah dalam memandang Islam, menimbulkan kebencian dan keinginan untuk mencari-cari kesalahan.
Dampak Karya Karen Armstrong pada Komunitas Muslim
Menariknya, Armstrong mengungkapkan bahwa audiens utama dari buku-bukunya tentang Islam bukanlah sesama orang Barat seperti yang ia duga, melainkan komunitas Muslim itu sendiri. Banyak Muslim, terutama yang telah "terbaratkan," menemukan kembali akar keimanan mereka melalui perspektif Armstrong yang bergaya Barat.
"Orang-orang datang kepada saya kadang-kadang dan berkata, 'Saya kembali kepada Islam karena buku-buku Anda,' karena tentu saja banyak orang telah menjadi kebarat-baratan," ujarnya. Ia menyatakan kekaguman dan rasa terima kasih atas keterbukaan dan kemurahan hati umat Muslim yang tidak menganggapnya mencampuri agama mereka, melainkan menyambut wawasannya.
Mengenal Nabi Muhammad SAW
Armstrong menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok manusia yang luar biasa. Ia mampu merenung jauh ke dalam dirinya, ke dunia visioner, tanpa menjadi sombong atau menganggap diri sebagai penyelamat. Nabi, kata Armstrong, mampu melihat permasalahan dalam masyarakat Mekah pada abad ke-7, yang meskipun secara ekonomi makmur, memiliki nilai-nilai yang salah.
"Dia adalah manusia yang paling luar biasa," kata Armstrong. "Dia memiliki kemampuan untuk membuka pikirannya jauh dari keahlian komersial Mekah... dan mampu masuk jauh ke dalam dirinya sendiri, ke dalam pikiran bawah sadar, ke dalam dunia visioner."
Ia menekankan bahwa wahyu yang diterima Nabi bukanlah pengalaman yang "menyenangkan," melainkan sesuatu yang sangat "menghancurkan" dan "membalikkan segalanya." Nabi Muhammad SAW selalu fokus pada apa yang salah dalam masyarakat dan apa yang dibutuhkan "di sini dan sekarang," alih-alih hanya berpusat pada spiritualitas pribadinya.
Wawancara ini berakhir dengan Karen Armstrong menegaskan kembali rasa hormat dan kekagumannya terhadap Islam, dan bagaimana ia terus merasa tergerak oleh dampak positif karyanya terhadap banyak individu. (*)
Sumber:
https://youtu.be/h5LKH-GmwbA?si=jq11kl3gSbVoZzzH
Lampiran:
Karen Armstrong adalah seorang penulis dan komentator asal Inggris yang dikenal karena karya-karyanya tentang agama-agama dunia dan sejarah kepercayaan⁽¹⁾⁽²⁾. Lahir pada 14 November 1944 di Worcestershire, Inggris, Armstrong pernah menjadi biarawati dalam Ordo Sisters of the Holy Child Jesus sebelum akhirnya meninggalkan kehidupan religiusnya pada tahun 1969⁽¹⁾⁽²⁾.
Ia menempuh pendidikan di Universitas Oxford dan kemudian berkarier sebagai penulis serta pembicara tentang agama dan sejarah spiritualitas⁽¹⁾⁽²⁾. Beberapa bukunya yang terkenal antara lain _A History of God_, _The Battle for God_, dan _The Case for God_, yang membahas evolusi kepercayaan monoteistik serta peran agama dalam masyarakat modern⁽¹⁾⁽²⁾.
Armstrong juga dikenal karena upayanya dalam mempromosikan pemahaman lintas agama dan konsep _Charter for Compassion_, sebuah inisiatif global yang mendorong nilai-nilai kasih sayang dalam berbagai tradisi kepercayaan⁽¹⁾⁽²⁾. Ia telah menerima berbagai penghargaan atas kontribusinya dalam studi agama, termasuk TED Prize pada tahun 2008⁽¹⁾⁽²⁾.
Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang Karen Armstrong, Anda bisa membaca profil lengkapnya [di sini](https://en.wikipedia.org/wiki/Karen_Armstrong) atau [di sini](https://www.britannica.com/biography/Karen-Armstrong).
Sources:
[1] Karen Armstrong - Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/Karen_Armstrong)
Pasuruan. Ahad, 8 Juni 2025
No comments:
Post a Comment