Oleh FIRNAS
Gelombang PHK massal, keluhan pedagang UMKM, dan dugaan membanjirnya produk impor asal China menjadi sorotan tajam terhadap Tokopedia. Apa yang sebenarnya terjadi dengan salah satu *e-commerce* kebanggaan Indonesia ini?
YouTuber David Alfa Sunarna dalam video terbarunya membahas tuntas isu-isu yang melanda Tokopedia. Ia mengawali dengan menyoroti penutupan TikTok Shop pada 2023 yang sempat mengguncang ekosistem *online shopping* di Indonesia. "TikTok Shop itu tiba-tiba muncul dan jadi hegemoni *online shopping* di Indonesia. Geser *e-commerce* yang udah biasanya kita kenal kayak Tokopedia, Shopee, dan lain-lain," ujarnya.
Penutupan TikTok Shop oleh pemerintah dengan alasan melindungi UMKM lokal, justru memunculkan babak baru. Pada 2024, TikTok mengakuisisi 75% saham Tokopedia dari GoTo senilai 1,84 miliar dolar. "Padahal valuasi Tokopedia saat itu 4 miliar dolar, Teman-teman. Dibeli murah, coy!" seru David.
Akuisisi ini menjadi awal dari berbagai masalah. Tokopedia mengumumkan *layoff* besar-besaran, bahkan dikabarkan akan merampingkan jumlah karyawan dari 8.000 menjadi hanya 600 orang. "Bitance atau TikTok menganggap Tokopedia itu terlalu besar, terlalu rugi, terlalu tidak efisien sehingga perlu dirampingkan," jelas David.
Lebih lanjut, David menyoroti perubahan model bisnis Tokopedia yang diduga akan lebih fokus pada penjualan produk impor asal China, mirip dengan TikTok Shop. "Mereka akan mulai jualan barang sendiri yang dari China. Ya, nasib UMKM gimana ya? Pasti jadi orang yang terpinggirkan," ungkapnya dengan nada prihatin.
Website: Kunci Kemandirian UMKM di Era Digital
Di tengah situasi yang kurang menguntungkan bagi UMKM, David Alfa Sunarna memberikan solusi alternatif: *membuat website sendiri*. Ia mengkritik ketergantungan UMKM Indonesia pada *e-commerce*. "Kenapa sih di Indonesia ini orang-orang terlalu tergantung sama *e-commerce*? Apa-apa jualan di *e-commerce*? Kenapa sih enggak berpikiran dengan satu hal? Namanya apa? Website," tegasnya.
David memberikan contoh nyata bagaimana pencarian produk di Google lebih banyak menampilkan tautan ke *e-commerce* daripada website UMKM lokal. Ia mencontohkan bagaimana UMKM di Amerika Serikat memiliki website sendiri yang memungkinkan mereka berjualan langsung ke konsumen, tanpa potongan biaya *e-commerce*.
"Coba bayangin kalian punya website sendiri tanpa potongan, tanpa neko-neko. Kalian atur SEO-nya sendiri, kalian migrasi *customer* kalian dari *e-commerce* ke website kalian sendiri. Kan enak kalian jadi raja di negeri kalian sendiri," ujar David.
Ia mendorong UMKM untuk memanfaatkan platform seperti Shopify atau WordPress, atau bahkan membuat *landing page* sederhana agar usaha mereka mudah ditemukan di Google. "Kasus dari *e-commerce-e-commerce* ini termasuk Tokopedia dan yang lainnya bisa kita jadikan pelajaran, Teman-teman. Biar kita punya kemandirian. Bukan berarti mereka salah, mereka benar. Ini bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Namanya bisnis pasti akan cari untung, tapi gimana kita sang pemilik bisnis yang mau jualan punya kantong jualan yang banyak," pungkasnya. (*)
Sumber:
https://youtu.be/NjtogSSvOJQ?si=jmS8PI7nah6S14wH
-----
Pasuruan, Sabtu 7 Juni 2025
No comments:
Post a Comment