Thursday, June 19, 2025

Luka hati seorang ibu di Bekasi

*Luka Hati Seorang Ibu di Bekasi: Jeritan Keadilan yang Terbentur Undang-Undang Anak*

Oleh FIRNAS, Jawa Timur

*BEKASI, JAWA BARAT* – Kisah pilu *Nur Dalillah Putri*, seorang ibu di Bekasi, telah mengguncang publik, menyoroti celah menganga dalam sistem perlindungan anak di Indonesia. Putranya yang baru berusia 4 tahun menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang anak laki-laki berusia 8 tahun. Ironisnya, Nur Dalillah kini harus berjuang sendirian, menghadapi frustrasi hukum dan minimnya empati, demi mencari keadilan bagi buah hatinya.

---

*Perubahan Perilaku dan Terbongkarnya Trauma*

Awal mula terkuaknya trauma ini adalah perubahan perilaku sang anak yang enggan pergi salat ke masjid atau mengunjungi rumah neneknya. Tingkah laku yang berubah drastis selama dua bulan terakhir, di mana anak kerap menangis histeris meminta pulang, mulanya dianggap lumrah. Namun, kecurigaan Nur Dalillah semakin menguat pada pertengahan Mei 2025, ketika ia mendengar kabar bahwa korban lain berinisial C (7 tahun) mengalami dugaan sodomi oleh pelaku yang sama, bahkan hingga menyebabkan luka fisik.

Kebenaran yang pahit akhirnya terungkap pada 29 Mei 2025. Dalam sebuah percakapan santai, Nur Dalillah menggoda putranya tentang ketidakinginannya salat. Balita 4 tahun itu secara polos berucap, *"Aku enggak suka salat. Soalnya kalau salat main masukin tit ke pant."* 

Pengakuan polos ini meruntuhkan dunia Nur Dalillah. Setelah didesak, sang anak kembali menceritakan bahwa tindakan pelecehan terjadi di kamar mandi masjid dan di balik tanggul dekat komplek perumahan. 

Lebih lanjut, terungkap bahwa kejadian itu sudah berlangsung tiga kali, disertai iming-iming balon dan dan jajanan dari pelaku. Nur Dalillah juga kini mengingat kembali kejadian sebelumnya, di mana sang anak sempat buang air besar berdarah, yang kala itu ia kira hanya karena panas dalam.

---

*Siklus Kekerasan dan Frustrasi Hukum*

Kasus ini kian memilukan ketika terungkap bahwa pelaku, anak berusia 8 tahun, ternyata memiliki lebih banyak korban. Awalnya teridentifikasi empat korban, namun data terbaru menunjukkan ada *tujuh korban baru dan dua korban lama* selain putra Nur Dalillah. 

Artinya, seorang anak berusia 8 tahun telah memangsa setidaknya sembilan anak lainnya. 

Saat diinterogasi, pelaku disebut dengan santai menyebutkan nama-nama korbannya dan mengaku melakukan perbuatan itu karena penasaran setelah menonton video di ponsel temannya, tanpa menunjukkan penyesalan sedikit pun.

Dalam pertemuan awal antara kedua belah pihak, keluarga pelaku justru menunjukkan sikap acuh tak acuh dan menganggap pelecehan tersebut sebagai "hal biasa". Mirisnya, ibunda pelaku bahkan diketahui telah meminta korban pertama untuk tidak memberitahukan kejadian ini kepada ibunya, mengindikasikan adanya dugaan pembiaran.

Berupaya mencari keadilan, Nur Dalillah melaporkan kasus ini ke *Polres Metro Bekasi*. Namun, laporannya sempat ditolak dengan alasan *Undang-Undang Perlindungan Anak* tidak memungkinkan anak di bawah 12 tahun dipidanakan. 

Ia kemudian diarahkan ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), yang fokus pada pemulihan korban, tetapi tidak memberikan solusi konkret untuk penanganan pelaku.

Nur Dalillah merasa frustrasi karena hukum yang seharusnya melindungi anaknya justru seolah melindungi pelaku. 

"Kenapa Undang-Undang Perlindungan Anak malah melindungi pelaku? Kenapa hukum di sini tidak seadil itu?" keluhnya, mempertanyakan mengapa rehabilitasi atau penanganan yang adil bagi pelaku begitu sulit didapatkan tanpa kasusnya harus viral di media sosial.

---

*Trauma Mendalam dan Desakan Perubahan Kebijakan*

Kondisi putra Nur Dalillah kini sangat memprihatinkan. Ia mengalami trauma mendalam, tidak bisa ditinggal sendirian, bahkan ketika ibunya hanya beranjak ke kamar mandi. Mimpi buruk dan halusinasi monster menjadi gambaran nyata dari penderitaan psikologis yang ia alami. "Saya enggak mau putra saya meneruskan rantai ini," ujar Nur Dalillah, menyuarakan kekhawatirannya akan dampak jangka panjang pada orientasi seksual dan mental anaknya.

Ia berharap putranya dapat pulih sepenuhnya, melupakan kejadian pahit itu, dan tumbuh menjadi anak yang normal serta saleh. Namun, ia juga berjuang agar pelaku mendapatkan penanganan yang tepat. 

"Harapan saya apakah direhabilitasi, pokoknya yang penting dia diambil hak asuhnya dari orang tuanya," tegasnya, menilai orang tua pelaku tidak kompeten dalam mendidik anaknya.

Nur Dalillah berencana menyampaikan langsung kepada *Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA)* mengenai urgensi perubahan kebijakan. Ia menekankan bahwa tidak bisa anak di bawah umur terus-menerus dilindungi tanpa adanya konsekuensi atau rehabilitasi yang efektif, mengingat banyaknya korban yang sudah berjatuhan.

Kasus ini juga mengungkap kejanggalan lain, yaitu hasil visum yang dinyatakan "negatif". Menurut penjelasan dokter, "negatif" tidak berarti tidak terjadi pelecehan, melainkan kemungkinan karena alat kelamin pelaku (anak 8 tahun) belum berkembang sempurna sehingga tidak meninggalkan luka fisik yang terlihat. Meskipun demikian, psikolog menegaskan bahwa anak Nur Dalillah tetap membutuhkan pendampingan intensif.

---

*Masyarakat Mendukung, Sistem Harus Berbenah*

Meskipun perangkat RT/RW setempat sempat menyayangkan pelaporan polisi dan menyarankan penyelesaian secara kekeluargaan, warga sekitar justru memberikan dukungan emosional kepada Nur Dalillah. Namun, dukungan moral saja tidak cukup untuk menjamin keadilan.

Kisah Nur Dalillah dan putranya menjadi pengingat menyakitkan akan celah dalam sistem perlindungan anak di Indonesia. Jika pelaku anak di bawah umur dapat dengan mudah kembali ke lingkungan masyarakat tanpa rehabilitasi yang memadai, siklus kekerasan seksual pada anak berisiko terus berlanjut.

Perubahan kebijakan yang lebih holistik dan adaptif, yang tidak hanya berfokus pada pemidanaan atau pembebasan, melainkan pada rehabilitasi komprehensif bagi pelaku dan korban, mutlak diperlukan. 

Ini adalah jeritan hati seorang ibu yang menuntut keadilan, tidak hanya untuk putranya, tetapi juga untuk puluhan anak lain yang berpotensi menjadi korban di masa depan.

Sumber:
https://youtu.be/pp6qscSVCBo?si=afYBbLFFbVKE-hmk
---

No comments: