Oleh Firnas
JAKARTA, Indonesia – Salah satu raksasa industri rokok di Indonesia, PT Gudang Garam Tbk, berada di ambang krisis serius. Meski Indonesia memiliki tingkat perokok aktif yang tinggi—data WHO menunjukkan 73,2% pria dewasa adalah perokok—laba bersih Gudang Garam terjun bebas 82%, diiringi pasar yang dibanjiri rokok ilegal. Kondisi ini memicu pertanyaan krusial tentang keberlanjutan industri yang selama ini dikenal sebagai kontributor utama ekonomi negara.
Menurut laporan terbaru, laba bersih Gudang Garam pada tahun 2024 hanya mencapai Rp981 miliar, anjlok drastis dari Rp5,3 triliun pada tahun 2023. Penurunan pendapatan ini juga tercermin pada harga saham mereka yang merosot tajam dari sekitar Rp90.000 menjadi hanya Rp9.600 per lembar. Sebagai konsekuensi langsung, perusahaan telah menghentikan pembelian tembakau dari Temanggung karena stok yang menumpuk, cukup untuk empat tahun produksi ke depan dengan kondisi penjualan saat ini.
Faktor-faktor Pemicu Krisis
Beberapa faktor utama disinyalir menjadi penyebab utama tekanan terhadap Gudang Garam dan industri rokok konvensional secara umum:
1. Daya Beli Masyarakat Stagnan dan Kenaikan Harga Resmi:
Meskipun jumlah perokok tetap tinggi, daya beli masyarakat cenderung stagnan. Di sisi lain, harga rokok resmi terus meningkat seiring dengan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) per Januari 2025 yang ditetapkan Kementerian Keuangan. Hal ini membuat rokok resmi menjadi kurang terjangkau bagi sebagian konsumen.
2. Merajalelanya Rokok Ilegal:
Kenaikan harga rokok resmi secara ironis justru membuka celah bagi rokok ilegal untuk merajalela. Dalam lima bulan pertama tahun 2025 saja, Bea Cukai Jawa Tengah-DIY telah menyita 61 juta batang rokok ilegal. Rokok tanpa cukai ini dijual dengan harga jauh lebih murah, menjadi pesaing langsung bagi produk-produk resmi seperti Gudang Garam. Fenomena ini disinyalir mendorong banyak perokok beralih ke produk ilegal.
3. Penurunan Penjualan Ekspor dan Lokal:
Gudang Garam menghadapi tekanan dari dua arah. Penjualan ekspornya turun 12,1% dari tahun 2023, sementara penjualan lokal anjlok 17% pada tahun 2024. Ini mengindikasikan penurunan permintaan baik di pasar domestik maupun internasional.
4. Pergeseran Tren ke Rokok Elektrik (Vape):
Tren pasar konsumen mulai bergeser ke rokok elektrik atau vape. Namun, Gudang Garam masih sangat mengandalkan rokok konvensional dan belum memiliki produk unggulan di segmen rokok elektrik, berbeda dengan kompetitor yang sudah menggarap pasar ini beberapa tahun terakhir. Kondisi ini disamakan dengan kegagalan adaptasi Nokia terhadap smartphone.
Dampak Domino Kebangkrutan dan Ancaman Ekonomi Nasional
Ancaman kebangkrutan Gudang Garam bukan sekadar masalah internal perusahaan, melainkan sinyal bahaya bagi seluruh industri rokok konvensional di Indonesia. Jika raksasa sekelas Gudang Garam saja terguncang, nasib pabrik-pabrik rokok kecil dengan modal terbatas tentu jauh lebih rentan.
Dampak langsung akan terasa pada jutaan tenaga kerja yang bergantung pada industri ini, mulai dari petani tembakau (5-6 juta orang), buruh linting, hingga agen dan pengecer. Setidaknya 20.000 karyawan Gudang Garam terancam PHK, dan ribuan hingga ratusan ribu pekerja lain di ekosistem terkait juga berisiko kehilangan mata pencarian di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Selain itu, pemasukan negara juga berpotensi terganggu. Rokok adalah penyumbang cukai terbesar, dengan Rp226 triliun pada tahun 2022. Dalam 17 tahun terakhir, cukai rokok menyumbang 7,8% pendapatan negara, jauh melampaui setoran laba BUMN (2,7%). Jika produsen resmi tumbang dan pasar dikuasai rokok ilegal yang tidak membayar cukai, pendapatan negara akan anjlok drastis, berdampak pada dana kesehatan dan pembangunan.
Singkatnya, keruntuhan Gudang Garam bukan hanya tentang kegagalan bisnis, tetapi juga ancaman serius terhadap tumpuan ekonomi masyarakat, longgarnya pengawasan produk ilegal, dan berkurangnya sumber dana publik yang krusial.
Perlunya Adaptasi dan Peran Pemerintah
Kondisi Gudang Garam menjadi bukti bahwa adaptasi adalah kunci dalam dunia bisnis yang terus berubah. Perusahaan sebesar apapun dapat tumbang jika gagal berinovasi di tengah pergeseran tren konsumen, regulasi yang ketat, dan persaingan brutal, terutama dari produk ilegal.
Maka, Gudang Garam dan perusahaan sejenis harus segera berbenah melalui inovasi produk, peningkatan efisiensi produksi, dan perbaikan distribusi. Pemerintah juga diharapkan hadir tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga pelindung industri resmi. Kenaikan harga demi kesehatan masyarakat harus diimbangi dengan strategi yang tidak justru menguntungkan pasar gelap dan meruntuhkan industri yang telah menghidupi jutaan jiwa dan menyumbang triliunan rupiah kepada negara. (*)
Sumber rujukan:
https://www.cnbcindonesia.com/research/20250417152022-128-626825/laba-gudang-garam-terus-anjlok-kekayaan-pemilik-turun-rp105-triliun
https://www.cnbcindonesia.com/research/20250415151022-128-626183/asap-gudang-garam-gak-ngebul-laba-ambles-82-dari-rp5-t-jadi-rp-900-m
No comments:
Post a Comment