Sunday, June 08, 2025

Membentuk Santri Saleh: Bukan Hanya Tanggung Jawab Pesantren, Tapi Juga Orang Tua

Oleh FIRNAS 

BARITO KUALA – Pendidikan agama di pesantren seringkali diidentikkan sebagai jaminan kesalehan anak. Namun, sebuah kajian ilmiah yang disampaikan oleh Ustaz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., MA., Ketua STDI Imam Syafi'i Jember, di hadapan jemaah pada Jumat, 12 Dzulqaidah (9 Mei 2025), mengurai kompleksitas peran orang tua dalam membentuk santri yang sukses dan saleh. Ceramah ini menyoroti tiga tantangan utama yang dihadapi santri dan bagaimana orang tua wajib turut serta menghadapinya.

1. Apresiasi: Kebutuhan Dasar yang Sering Terlupakan

Ustaz Arifin Badri menekankan bahwa tolok ukur kesuksesan orang tua bukanlah kekayaan atau posisi anak, melainkan kesalehan mereka. "Ketika manusia mati, semua amalannya terputus kecuali tiga, salah satunya adalah anak saleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya," ujarnya. Namun, di pesantren, hanya santri berprestasi atau yang "nakal" yang mendapat perhatian. Santri yang biasa-biasa saja sering terlupakan.

Fenomena ini, menurut Ustaz Arifin, tanpa disadari mendorong santri untuk "nakal" demi mendapatkan perhatian. "Cara paling instan untuk mendapatkan perhatian dari ustaznya siapa? Menjadi nakal," tegasnya, berdasarkan pengalamannya sebagai mantan santri. Padahal, kebutuhan dasar manusia adalah apresiasi, dan apresiasi paling tulus datang dari orang tua. "Pujilah berapapun hasil mereka, berapapun hafalan mereka," ajak Ustaz Arifin, mengingatkan bahwa pencapaian anak di pesantren, sekecil apapun, adalah sebuah prestasi yang layak dibanggakan.

2. Teknologi dan Rasa Penasaran: HP Bukan Khamr

Tantangan kedua adalah isu teknologi, khususnya ponsel pintar (HP). Santri dilarang membawa HP di pesantren, sementara mereka melihat ustaz, karyawan, bahkan orang tua mereka menggunakan perangkat itu. "Mereka manusia, bukan robot. Mereka tahu," kata Ustaz Arifin. Rasa penasaran ini dapat memicu keinginan terlarang.

Ustaz Arifin mengilustrasikan bahwa HP bukanlah "khamr" (minuman keras) atau "zina", melainkan "pisau". Ia bisa bermanfaat atau membahayakan, tergantung bagaimana digunakan. Oleh karena itu, ia mendorong orang tua untuk **memfasilitasi dan mendampingi anak dalam penggunaan teknologi saat liburan**. "Ajari mereka apa yang Bapak takutkan dari HP terhadap anak-anak," sarannya. Mengajarkan *programming*, *coding*, atau memanfaatkan HP untuk edukasi adalah cara mengalihkan rasa penasaran menjadi produktivitas.

3. Masa Depan Santri: Jangan Sempitkan Pintu Kesalehan

Tantangan terbesar ketiga adalah kegalauan santri tentang masa depan karier mereka. Ketika teman-teman mereka di sekolah umum memiliki jenjang profesi yang jelas (dokter, insinyur), santri seringkali hanya diarahkan untuk menjadi ustaz atau ulama. "Menjadi santri itu bukan mencari penghidupan, menjadi santri itu untuk menjadi manusia yang seutuhnya," jelas Ustaz Arifin. Ia mengingatkan bahwa menjadi ustaz tidak selalu menjanjikan kekayaan, sementara santri, seperti anak muda pada umumnya, juga memiliki keinginan untuk sukses materi.

Ustaz Arifin dengan tegas menyatakan, "Anak kita tidak harus jadi ustaz, tetapi anak kita harus jadi orang yang saleh." Kesalehan dapat dicapai melalui berbagai profesi. Ia mencontohkan Sahabat Nabi seperti Khalid bin Walid yang dikenang karena keberaniannya di medan perang, Utsman bin Affan karena perdagangannya, atau Abdurrahman bin Auf karena kekayaannya yang dermawan.

"Jangan pernah menunjukkan raut wajah kecewa kepada anak kita kalau anak kita bisa tidak diterima di Madinah... atau kalau ternyata anak kita berkata, 'Pak, alhamdulillah sudah hafal Quran, saya ingin kuliah di teknik sipil. Jangan pernah kecewa'," pesannya. Orang tua harus membuka wawasan bahwa dokter hafal Quran, insinyur hafal Quran, atau pedagang hafal Quran, sama-sama bisa menjadi pintu kesalehan. Memaksakan satu pilihan justru dapat menyebabkan frustasi dan hilangnya semangat hidup pada anak.

Krisis Kedewasaan dan Solusi Pernikahan:

Di bagian akhir, Ustaz Arifin juga menyoroti masalah kebutuhan interaksi dengan lawan jenis pada santri yang sudah balig. Di lingkungan pesantren yang homogen, rasa penasaran ini seringkali tidak tersalurkan dan bisa memicu masalah. Ia mencontohkan bagaimana di zaman Nabi, para sahabat segera menikahkan anak-anak mereka yang sudah balig. "Maka membicarakan tema pernikahan kepada anak kita itu penting," katanya. Memberi jaminan bahwa orang tua akan mendukung pernikahan ketika waktunya tiba dapat mengurangi rasa penasaran dan mencegah "cinta monyet" yang menjadi keluhan banyak ustaz di pesantren.

Secara keseluruhan, ceramah Ustaz Arifin Badri menjadi pengingat kritis bagi para orang tua dan pengelola pesantren untuk tidak hanya fokus pada aspek hafalan atau akademik, tetapi juga pada perkembangan psikologis, emosional, dan sosial santri, serta membuka pemahaman yang luas tentang bagaimana kesalehan dapat terwujud dalam berbagai aspek kehidupan.

---
Sumber:
https://www.youtube.com/live/kWDwGQ_mlDI?si=r20m_bej3c8Woqif

Posting : AHAD, 8 JUNI 2025

No comments: