Oleh FIRNAS
Sebuah ceramah yang disampaikan oleh KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, atau akrab disapa Gus Baha, baru-baru ini menyoroti berbagai isu fundamental, mulai dari peran penting pejabat dalam dakwah, fleksibilitas dalam beragama, hingga pentingnya harapan dalam menghadapi kondisi bangsa. Gus Baha, yang dikenal sebagai ahli tafsir, menyampaikan pandangannya dengan gaya khasnya yang santai namun penuh kedalaman, merujuk pada manhaj gurunya, KH. Maimun Zubair (Mbah Moen).
Menghormati Guru: Jejak Tafsir Mbah Moen
Gus Baha memulai ceramahnya dengan mengungkapkan penghormatannya kepada Mbah Moen, yang ia sebut sebagai sosok yang membentuk pemahaman tafsirnya. Ia menjelaskan bahwa Mbah Moen, putra Al-Faqih Al-Ushuli Mbah Zubair, adalah murid Sayid Alawi bin Abbas, seorang mufassir terkenal yang juga penulis kitab *Hasyah Faidhil Khabir*.
"Saya bersyukur Mbah Moen itu tidak pernah berbicara di forum apa pun kecuali membahas tafsir dengan berbagai kekhasannya," ujar Gus Baha. Hal ini menjadikan tafsir sebagai ciri khas Pondok Sarang, yang sebelumnya lebih dikenal dengan kajian fikih dan nahwu. Gus Baha menganggap dirinya sebagai salah satu murid yang mendapat berkah dari tradisi tafsir ini, yang juga diwarisi oleh putra-putra Mbah Moen seperti Gus Zu'fur yang bahkan kuliah jurusan tafsir di Al-Azhar tanpa banyak kesulitan.
Manhaj Khas Mbah Moen: Kembali ke Al-Quran dan Realitas
Gus Baha menggarisbawahi manhaj khas Mbah Moen yang selalu kembali pada esensi ayat Al-Quran. Ia teringat perbincangannya dengan Mbah Moen di Madinah pada tahun 2013, di mana ia mempertanyakan mengapa orang-orang di dunia ini yang memiliki pengaruh besar justru adalah pegawai negeri, bukan kiai.
"Mbah, kok bukan kiai yang punya pengaruh?" tanya Gus Baha kepada Mbah Moen. Jawaban Mbah Moen mengejutkan sekaligus mencerahkan: pegawai negeri, karena tugas kenegaraan, memiliki peran strategis dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan.
Gus Baha memberikan contoh konkret: di pedalaman Papua, masjid pertama kali dibangun karena adanya dokter muslim yang ditugaskan negara dan membutuhkan tempat salat. Karena yang membangun adalah negara, tidak ada yang berani menghalangi. Hal serupa terjadi di NTT atau bahkan di negara-negara non-muslim seperti Irlandia atau Brasil, di mana para duta besar Indonesia yang mayoritas muslim dan butuh tempat salat, akhirnya difasilitasi pembangunan masjid atas nama negara.
"Itu bukan hasil kerja mubaligh atau kiai, tapi kerja pegawai negeri," tegas Gus Baha, mengutip pandangan Mbah Moen. Di akhir hayatnya, Mbah Moen bahkan lebih sering memuji pegawai negeri dan negara karena kontribusi mereka yang tak terduga dalam syiar agama.
Fleksibilitas dalam Berdakwah dan Beragama
Gus Baha juga berbagi cerita tentang kebijaksanaan Mbah Moen dalam menyikapi kondisi umat yang beragam. Ia mengisahkan pengalaman dirinya sendiri saat berdakwah di daerah yang banyak ditemui orang mabuk di persimpangan jalan, yang mengharuskannya "membayar" untuk bisa lewat.
"Kalau tidak bawakan minuman memabukkan, tidak boleh lewat. Kalau lewat harus memberi, itu hukumnya bagaimana?" tanya Gus Baha, mengilustrasikan dilema antara menjaga syariat dan tuntutan dakwah. Dengan diplomatis, ia menanggapi pertanyaan itu dengan prinsip *dururat*, di mana sesuatu yang haram bisa menjadi tidak haram dalam kondisi darurat.
Kisah lain datang dari Mbah Moen sendiri, yang pernah menghadiri acara ibu-ibu PKK yang kala itu belum banyak berhijab. "Saya datang, ya agak merem-merem sedikit," kelakar Gus Baha. Mbah Moen menyikapi ini dengan bijak: lebih baik ia yang "agak merem" yang berdakwah daripada membiarkan mereka didakwahi oleh orang yang akidahnya tidak ahli sunah atau imannya masih perlu diuji. Ini menunjukkan *manhaj fleksibilitas dan tidak kaku dalam berinteraksi dengan masyarakat.*
Harapan dan Keseimbangan Hidup
Ceramah Gus Baha juga menggarisbawahi pentingnya harapan (*roja'*) dalam beragama. Ia menyoroti bagaimana Mbah Moen selalu membangkitkan harapan, mengutip firman Allah dan kisah-kisah Nabi Muhammad SAW.
"Agama ini bagi yang selalu punya pengharapan," kata Gus Baha, menirukan Mbah Moen. Ia mencontohkan bagaimana musuh-musuh Nabi seperti Abu Lahab dan Abu Jahal, pada akhirnya memiliki keturunan yang mukmin dan bahkan menjadi tokoh penting dalam Islam, seperti Ikrimah (putra Abu Jahal) dan Khalid bin Walid (putra Walid). Ini menunjukkan bahwa hidayah adalah hak prerogatif Allah, dan perubahan bisa datang dari mana saja.
Gus Baha juga mengingatkan untuk tidak berkecil hati dengan kondisi Indonesia yang seringkali dipersepsikan "terang" atau "gelap" oleh berbagai pihak. "Menurut Mbah Moen, dunia ini tidak perlu kamu teliti. Hak Tuhannya sama," ujarnya, mengisyaratkan bahwa dinamika hidup dan keseimbangan (kaya-miskin, senang-susah) akan selalu ada, karena Allah adalah Tuhan bagi semua.
Ia menutup ceramahnya dengan pesan untuk santri agar memiliki visi yang jauh, baik menjadi kiai maupun pejabat, selama itu diniatkan untuk kebaikan dan dilandasi syukur. Gus Baha berharap agar Al-Quran senantiasa menyatu dalam diri, sebagaimana Mbah Moen yang selalu mendawamkan Al-Quran dan meyakini bahwa Al-Quran itu diturunkan dengan bahasa kaumnya, termasuk bahasa Jawa.
Sumber:
https://youtu.be/3FPnhwC-ijI?si=LVixFO05R1Aqcavj
Pasuruan. Jum'at 6 Juni 2025
No comments:
Post a Comment