Samanta Elsener: Perjalanan Spiritual, Relasi, dan Makna "Selesai dengan Diri Sendiri"
Oleh FIRNAS
Samanta Elsener, seorang psikolog yang juga dikenal luas, membagikan kisah transformatifnya mengenai perjalanan spiritual, filosofi membangun relasi, dan pandangannya tentang mencapai kedamaian batin. Dalam sebuah wawancara mendalam, Samanta blak-blakan tentang keputusannya menjadi mualaf, tantangan yang dihadapinya, serta kunci membangun inner circle yang suportif.
Dari Pertanyaan Religius Hingga Memeluk Islam: Sebuah Pencarian Konsistensi
Samanta Elsener memulai kisahnya dengan kenangan masa kecilnya yang kaya akan keberagaman. Tumbuh di lingkungan yang merayakan Lebaran dan Natal, ia sudah akrab dengan nuansa berbagai keyakinan. Namun, sejak sekolah menengah pertama, pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang agama mulai menghantuinya. "Katanya Yesus itu nabi, tapi kenapa dipanggil Tuhan Yesus?" tanyanya lugas, sebuah pertanyaan yang bahkan sempat membuat nilai agamanya merah.
Pencarian konsistensi ini membawanya pada kebiasaan membaca Alkitab secara utuh dan mempertanyakan praktik keagamaan yang ia temukan. Puncaknya, sebuah perjalanan ke Swiss dan pertemuan dengan seorang psikolog membangkitkan keinginannya untuk mempelajari semua agama.
"Saya ingin mempelajari semua agama. I don't think I have a lot of answer dari pertanyaan-pertanyaan saya," kenang Samanta. Ia mempelajari Buddha, Hindu, Protestan, hingga akhirnya tiba pada Islam. Momen krusial terjadi ketika ia mulai mendatangi masjid kecil di dekat kosnya, terbiasa menemani teman-teman Muslimnya salat saat SMA, hingga akhirnya merasakan sebuah panggilan.
Samanta kemudian mencoba melakukan salat, bahkan tanpa tahu artinya, hanya menirukan gerakan. Ia membaca buku panduan salat anak-anak. Di momen inilah, ia mulai bernazar, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain.
"Aku mendoakan orang lain apa yang dia mau, aku doakan," ungkapnya. Doa tersebut, yang dikhususkan agar seseorang bisa bekerja di Uni Emirat Arab, terkabul hanya dalam satu atau dua minggu. Kejadian ini, yang terulang dua kali, menjadi titik balik keyakinannya. "Rasanya seperti, 'Ini serius, aduh enggak boleh main-main doanya'," katanya.
Keputusan Samanta untuk memeluk Islam tidak datang dari paksaan, bahkan mantan suaminya saat itu sempat melarangnya untuk pindah agama karena dia. Ia justru membaca buku "Muhammad" karya Martin Lings yang menginspirasi dan membuatnya merasa relate dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Transformasi ini, baginya, bukanlah sebuah penghapusan identitas lama, melainkan sebuah penerangan. "Islam tidak menghapus siapa saya. Itu menerangi diri saya," tegas Samanta. Nilai-nilai seperti kasih sayang, keadilan, kesabaran, dan cinta, yang sudah ada dalam dirinya, menemukan struktur dan arah yang lebih jelas dalam Islam.
Dampak Keputusan dan Pentingnya Inner Circle
Namun, keputusan ini tidak datang tanpa konsekuensi. Saat ia memutuskan menjadi mualaf saat kuliah, sebagian besar teman dekatnya menjauh, bahkan ia mendapat cacian. "Semua membenci aku, semua menghujat aku... sampai aku dikatain kuntilanak," ujarnya dengan nada haru.
Meskipun demikian, ada satu sahabat SMA yang tetap setia. Hubungan jarak jauh dan komunikasi intensif dengan sahabat ini membantunya melewati masa sulit. "Dia bilang, 'Manta, pilih yang baik saat kamu sendirian dan kamu merasa paling tenang, kamu berdoa dengan cara apa'," kenang Samanta, yang menyadari bahwa saat salat ia merasakan ketenangan luar biasa.
Pengalaman ini mempertegas pentingnya memiliki lingkaran pertemanan (inner circle) yang positif. Samanta menjelaskan bahwa inner circle, yang terdiri dari lima orang terdekat, sangat memengaruhi pemikiran, emosi, pencapaian hidup, dan pilihan seseorang. "Kalau kita milih inner circle kita sembarangan, pasti kita rungsing. Kalau kita milih inner circle kita yang oke, yang sudah benar-benar dikurasi, kita akan selalu dapat peneguh dan selalu bisa ngerasa empower," paparnya. Inner circle inilah yang menjadi tempatnya berbagi keluh kesah, mendapatkan dukungan, dan belajar hal-hal baru tanpa gosip.
Membangun Relasi dan Makna "Selesai dengan Diri Sendiri"
Dalam membangun relasi, Samanta menekankan filosofi "just being genuine" atau menjadi diri sendiri. Ia belajar dari ayahnya yang mengelola panti asuhan, bagaimana melayani dan berinteraksi dengan orang-orang. Ia tidak memiliki rumus khusus, tetapi memegang prinsip "never say no" atau "yes man" dalam artian positif, yaitu selalu siap membantu dan berkolaborasi.
"Aku enggak mempersoalkan itu sih sebenarnya kayak, 'Eh, mau dia itu bukan tokoh yang besar, aku pasti kalau bisa bantu aku akan bantu'," tegasnya. Baginya, semua hal tidak bisa diukur hanya dengan uang. Networking, terutama dengan orang-orang yang lebih mapan, harus didasari ketulusan, bukan hanya perhitungan finansial.
Mengenai konsep "selesai dengan diri sendiri", Samanta Elsener memberikan pandangan yang menarik. Ia tidak setuju dengan gagasan "sempurna", karena manusia cenderung tidak pernah merasa cukup. "Kalau di Union Psychology itu disebutnya dengan higher self, ya. Jadi kita bisa lebih menyatu sebetulnya sama diri kita, kita merasa utuh," jelasnya.
Parameter seseorang yang "selesai dengan dirinya sendiri" adalah ketika ia tidak lagi merasa insecure dengan pencapaian orang lain, sering berlatih bersyukur, berbuat baik tanpa pilih kasih, dan memahami batasan diri dalam membantu orang lain. Hal ini juga berarti tidak takut untuk berbagi dan menjadi sosok yang "tidak pelit".
Mengatasi Sakit Hati dan Menjadi Pembelajar Abadi
Samanta juga memberikan tips tentang bagaimana mengatasi perasaan sakit hati. "Mengakui bahwa perasaan itu nyata harus kita lakukan," sarannya. Ia menganjurkan untuk jujur dengan perasaan dikhianati atau disakiti, mengukur tingkat sakit hati secara berkala, dan pada akhirnya, belajar memaafkan perilaku orang tersebut, bukan sosoknya.
"Minta maaf yang pertama kali adalah minta maaf ke diri kita karena kita sudah membuat orang itu bisa menyakiti kita," katanya.
Sebagai penutup, Samanta Elsener menegaskan pentingnya menjadi "lifelong learner" atau pembelajar abadi. Konsistensi dalam belajar dan mengembangkan diri, meskipun kecil, akan membawa pada perubahan besar dalam hidup. "Perubahan itu pelan-pelan, tapi setelah 10 tahun kita bisa ngelihat orang itu berubah," pungkasnya. (*)
Sumber:
https://youtu.be/7c5Rc3cnK-w?si=WM6st8l9USyvs9xi
No comments:
Post a Comment