Fenomena 'Kaget Mendadak' Pejabat: Sorotan Tajam atas Tambang Nikel di Raja Ampat
Oleh FIRNAS, Pasuruan
Cuitan John Sitorus di platform X (Twitter) yang satir mengenai "keterkejutan mendadak" para menteri dan pejabat negara atas keberadaan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menjadi sorotan tajam. Pasalnya, kehebohan yang seolah baru terjadi semalam ini mengundang pertanyaan besar: di mana para pemangku kebijakan selama ini, ketika kerusakan lingkungan di salah satu surga keanekaragaman hayati dunia sudah berlangsung dan bahkan telah menimbulkan dampak signifikan?
Cuitan John Sitorus merangkum reaksi berantai para pejabat: Menteri Lingkungan Hidup yang "ngaku" ambil langkah hukum, Menteri ESDM yang "ngaku" akan evaluasi, Utusan Khusus yang tiba-tiba nimbrung, Wamenparekraf yang meminta Raja Ampat dijaga, Wakil Menteri Luar Negeri ikut berkomentar, hingga anggota DPR yang juga turut bersuara. Narasi "baru kaget" ini menciptakan kesan dramatisasi yang patut dipertanyakan di mata publik.
Data yang dihimpun dari berbagai sumber menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran, bukanlah isu baru. PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam (Persero) yang menjadi sorotan utama, diketahui telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) produksi sejak tahun 2017 dan mulai beroperasi pada 2018. Bahkan, disebutkan bahwa perusahaan ini telah memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum beroperasi.
Namun, di lapangan, kondisi kerusakan lingkungan telah teridentifikasi. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sendiri, melalui pengawasan pada akhir Mei 2025, telah menemukan pelanggaran aturan lingkungan oleh setidaknya empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, termasuk PT Gag Nikel. Pelanggaran yang ditemukan antara lain tidak memiliki manajemen lingkungan yang memadai dan menyebabkan sedimentasi berat di pesisir laut.
Greenpeace Indonesia, salah satu organisasi non-pemerintah (ORNOP) yang vokal menyuarakan isu ini, telah mendokumentasikan bukti adanya limpasan tanah yang mengalir ke laut, menyebabkan sedimentasi dan berpotensi merusak terumbu karang serta ekosistem perairan yang menjadi jantung biodiversitas laut dunia. Lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi khas Raja Ampat dikabarkan telah dibabat demi tambang nikel. Padahal, Raja Ampat diakui UNESCO sebagai Global Geopark dan merupakan habitat bagi 75 persen spesies laut dunia, termasuk 540 jenis karang.
Ironisnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan jelas menyebutkan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk pariwisata, konservasi, budidaya laut, dan penelitian. Tidak ada pasal yang secara eksplisit melegalkan eksplorasi tambang di kawasan tersebut, apalagi di wilayah konservasi perairan yang begitu vital.
Keterlambatan respons dan narasi "kaget" dari para pejabat memunculkan pertanyaan tentang efektivitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap aktivitas pertambangan di Indonesia. Jika kerusakan lingkungan sudah terjadi dan teridentifikasi, mengapa tindakan tegas tidak diambil sejak awal? Mengapa baru setelah menjadi isu yang viral dan memicu protes publik, pemerintah bergerak secara masif?
Meskipun saat ini Menteri ESDM telah menghentikan sementara IUP PT Gag Nikel dan KLH telah menyegel sejumlah lokasi tambang, momentum ini seharusnya menjadi refleksi mendalam. Transparansi dalam pemberian izin, pengawasan yang ketat, dan penegakan hukum yang konsisten adalah kunci untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki nilai konservasi tinggi seperti Raja Ampat. Masyarakat tidak hanya membutuhkan reaksi sesaat, melainkan komitmen jangka panjang untuk menjaga kelestarian alam dan memastikan keadilan bagi lingkungan serta masyarakat adat yang bergantung padanya. (*)
-------------------------
Lampiran copy tulisan John Sitorus di X (twitter):
Tiba2 semua menteri KAGET ada tambang Nikel di Raja Ampat :
1. Menteri LH ngaku ambil langkah hukum
2. Menteri ESDM ngaku akan evaluasi
3. Utusan Khusus tiba2 ikut nimbrung
4. Wamenpar meminta agar Raja Ampat dijaga
5. Wakil Menteri Luar Negeri juga nimbrung
6. DPR juga nimbrung
Rakyat dipertontonkan seolah2 Aktivitas tambang itu baru terjadi tadi malam lalu KAGET
Padahal, mustahil ada yang berani nambang nikel di Raja Ampat jika tidak ada yang memberi izin. Proses pengurusan izin, mobilisasi alat berat itu butuh waktu yang lama. Lalu kenapa semua tiba2 KAGET?
Jangan sampai Gibran juga ikut KAGET awokawokawok
No comments:
Post a Comment