*Perebutan Empat Pulau Kaya Sumber Daya: Aroma Makelar dan Polemik Batas Wilayah di Tengah Isu Kebijakan Nasional*
Oleh Firnas
JAKARTA, – Polemik kepemilikan empat pulau kaya sumber daya yang berlokasi di perbatasan Sumatera Utara dan Aceh kembali mencuat ke permukaan. Keputusan Presiden yang menetapkan empat pulau tersebut sebagai wilayah otoritas Pemerintah Aceh, alih-alih meredakan ketegangan, justru membuka kotak Pandora mengenai dugaan praktik "makelar" di balik kebijakan strategis nasional. Dalam sebuah diskusi sengit di *podcast* "Akbar Faizal Uncensored", Said Didu (Eks Pejabat Negara), Nasir Djamil (Anggota DPR Fraksi PKS Dapil Aceh), dan Masinton Pasaribu (Bupati Tapanuli Tengah) secara blak-blakan mengurai benang kusut di balik isu sensitif ini.
*Kronologi Singkat: Dari MoU Saudi hingga Keputusan Mendagri yang Kontroversial*
Said Didu mengawali diskusi dengan menyoroti rentetan peristiwa yang menimbulkan kecurigaan. Pada tahun 2016, saat dirinya bersama Menteri Sudirman Said bertugas sebagai utusan khusus Presiden Jokowi untuk Timur Tengah, upaya menarik investasi dari Arab Saudi, termasuk dari Aramco, sempat berfokus pada potensi pariwisata di Mandalika dan sejumlah pulau di sekitar Aceh, termasuk Nias. Investor Saudi saat itu disebut lebih tertarik pada wilayah Indonesia Barat karena alasan jarak.
Namun, arah investasi berubah drastis setelah Sudirman Said diberhentikan. Pada tahun 2021, Luhut Binsar Panjaitan, yang menjabat sebagai Menteri Investasi dan Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dilaporkan menandatangani MoU dengan Uni Emirat Arab (UEA) terkait empat pulau tersebut. Setahun kemudian, pada 2022, terbitlah keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang memasukkan keempat pulau itu ke dalam wilayah Sumatera Utara, bersama dengan Aceh.
"Keputusan Mendagri 2022 itulah keputusan pertama yang resmi yang memasukkan empat pulau itu ke Sumatera Utara," tegas Said Didu, seraya menuding Menteri Dalam Negeri saat itu, Tito Karnavian, tidak bisa mengelak dari peran krusial dalam pemindahan status wilayah tersebut. Ia juga membantah argumen bahwa keputusan itu berdasarkan usulan Gubernur Sumatera Utara di masa lalu, Raja Inal Siregar (menjabat 1992), karena tidak ada dokumen resmi sebelumnya yang mendukung klaim tersebut.
Puncak keanehan terjadi pada tahun 2025 (merujuk pada keterangan dalam podcast), ketika bagian dari empat pulau yang sebelumnya masuk wilayah Aceh berdasarkan Undang-Undang dan kesepakatan-kesepakatan historis, tiba-tiba dihapus dari wilayah Aceh tanpa alasan yang jelas.
**Aroma Makelar dan Kepentingan di Balik Perebutan Pulau**
Baik Said Didu maupun Nasir Djamil sama-sama merasakan adanya "aroma tak sedap" dari perebutan wilayah ini, yang tidak lepas dari kepentingan ekonomi yang besar. Said Didu secara lugas menyebut adanya praktik "makelar" atau "dealer" yang bersembunyi di balik kebijakan publik.
"Kami mencium aroma tak sedap pada pikiran dan tindakan beberapa orang sahabat atau bahkan pembantu Bapak (Presiden). Alam bawah sadar mereka sebagai tanda, bagian dari pedagang atau makelar atau *dealer*, tak pernah bisa hilang. Sayangnya, kepentingan yang mereka usung bukan merah putih," tulis Akbar Faizal di akun X-nya yang juga menjadi pemicu diskusi ini.
Menurut Said Didu, Gubernur Sumatera Utara disebut sangat aktif melobi agar empat pulau tersebut masuk wilayahnya. "Salah satu teman saya pejabat… bilang dia minta Gubernur Sumatera (Utara) minta dukungan agar ini di-karena sumber daya alamnya banyak," ungkap Said Didu, mengindikasikan bahwa motivasi utama bukan sekadar administrasi wilayah.
Nasir Djamil mengamini dugaan adanya kepentingan tersembunyi. Ia menyebut upaya investasi UEA di Singkil, Aceh, yang sempat dijajaki oleh Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah, tiba-tiba gagal dengan alasan yang "tidak prinsipil". "Ada apa sehingga kemudian investasi itu gagal? Apakah ya mungkin ini wilayah Aceh tidak leluasa dan lain sebagainya? Mungkin kalau masuk Sumatera Utara agak lebih leluasa," spekulasinya, yang mengindikasikan adanya preferensi atau kemudahan di wilayah tertentu bagi para investor.
**Kekayaan Empat Pulau: Sebanding dengan Blok Migas Andaman?**
Menjawab pertanyaan tentang seberapa kaya empat pulau tersebut, Nasir Djamil dan Masinton Pasaribu kompak menyebut potensi sumber daya alam yang signifikan. Nasir Djamil bahkan membandingkan kandungan energi di wilayah tersebut dengan Blok Migas Andaman.
"Kalau hanya ada ikan, kalau hanya ada pohon kelapa, ya tidak mungkin kemudian orang rebutan," kata Nasir Djamil, mengutip masyarakat setempat. Ia memastikan bahwa selain potensi pariwisata, terdapat potensi migas di blok Singkil dan blok Sibolga, serta blok Meulaboh yang berdekatan, yang saat ini sedang dalam proses eksplorasi dan direncanakan akan dilelang oleh pemerintah.
Masinton Pasaribu menambahkan bahwa informasi mengenai adanya blok migas di wilayah tersebut ia dapatkan dari media. "Nomenklaturnya masih Sibolga, Sibolga-Nias, Sibolga-Singkil... itu aslinya memang Tapanuli Tengah," jelasnya. Ia mengakui bahwa cadangan pastinya masih menjadi ranah Kementerian ESDM.
*Ancaman Nasional dan Keterbukaan Informasi*
Diskusi ini juga menyoroti bahaya praktik makelar yang meresap ke dalam birokrasi dan kebijakan publik. Said Didu secara terang-terangan menyebut kasus Morowali, IKN, hingga Rempang sebagai contoh proyek-proyek yang diwarnai dugaan praktik makelar yang merugikan kepentingan negara dan rakyat. Ia mencontohkan bagaimana izin tambang di Morowali bisa keluar dari Kementerian Perindustrian meskipun Kementerian ESDM belum mengeluarkan izin.
"Negara ini rusak karena pemimpin gaya makelar... Pemainnya tetap sama, makelarnya yang ganti-ganti, pemerintah hanya simbol sebagai ruang negosiasi makelar," tegas Said Didu, menyuarakan kegelisahan mendalamnya.
Nasir Djamil menambahkan bahwa minimnya keterbukaan informasi publik menjadi celah bagi praktik-praktik semacam itu. "Seharusnya memang pemerintah itu menginformasikan ada apa dan sebagainya sehingga kemudian rakyat tidak curiga. Akhirnya ketika informasi-informasi ini tidak tersampaikan dengan baik, akhirnya muncullah ya, muncul semacam apa namanya dugaan-dugaan publik," jelasnya.
Kasus empat pulau ini, menurut para narasumber, bukan sekadar sengketa batas wilayah, melainkan cerminan dari tantangan serius dalam tata kelola sumber daya alam dan kebijakan publik yang rentan disusupi kepentingan tersembunyi. Kehadiran keputusan Presiden yang mengembalikan empat pulau ke Aceh setidaknya membawa angin segar, namun pengungkapan praktik-praktik di baliknya diharapkan dapat menjadi pelajaran penting bagi integritas kepemimpinan dan pembangunan nasional ke depan.
https://youtu.be/pXd0jBiic4E?si=0yeY9Q-xsgyRiC8r
---
No comments:
Post a Comment