Penulis : Firnas, Jatim
SURABAYA, 10 Juli 2025 – Usulan dari Komisi X DPR RI yang mewajibkan lulusan sekolah kedinasan untuk mengikuti tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) lagi sebelum diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) telah memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Wacana ini, yang mengakhiri tradisi ikatan dinas otomatis, menuai beragam respons dari masyarakat umum hingga akademisi.
Melalui saluran telepon dan pesan singkat di Suara Surabaya FM, pandangan publik terbelah. Beberapa pendengar, seperti Pak Yusuf Wibisono dan Pak Muslihun, menyatakan setuju dengan alasan memberikan kesempatan yang sama bagi lulusan universitas umum. "Biar kesempatan lulusan universitas bisa sama-sama mengikuti tes," kata Pak Yusuf Wibisono. Senada, Mas Budiono Sukses berargumen, "Lulusan lain masuknya juga tes, tidak cuma sekolah kedinasan."
Namun, tak sedikit pula yang tidak setuju. Pak Priyono, Pak Nino, dan Pak Toyo menyoroti bahwa sekolah kedinasan memang didesain untuk kebutuhan khusus dan seleksinya sudah sangat ketat dari awal. "Sekolah kedinasan itu seleksinya tidak kaleng-kaleng, Pak," ujar Pak Toyo.
Pak Randi, salah satu penelpon, menambahkan bahwa tes di sekolah kedinasan sudah sangat komprehensif, mencakup potensi akademik, kesehatan, mental, dan psikologi, bahkan cenderung semi-militer. "Kalau tes lagi ya wasting time lagi, buat apa dibentuk kalau ada tes lagi," protes Pak Randi, sembari menekankan bahwa lulusan sekolah kedinasan disiapkan sebagai pemimpin masa depan di institusi masing-masing, seperti Akpol atau Akademi Imigrasi.
Efisiensi Birokrasi vs. Keadilan dan Keterbukaan
Argumen penolakan terhadap usulan DPR ini berpusat pada beberapa poin krusial:
"Double Filter" yang Tidak Perlu: Lulusan sekolah kedinasan sudah melewati seleksi super kompetitif saat masuk. Sebagai contoh, STAN hanya menerima sekitar 2.700 dari puluhan ribu pelamar, dengan rasio 1 banding 100.
Investasi Negara Sia-sia:
Negara telah menginvestasikan dana besar untuk biaya pendidikan, asrama, makan, dan pelatihan. Jika lulusan tidak otomatis menjadi PNS, investasi ini dianggap gagal dan sia-sia.
Mengingkari Janji Awal:
Banyak siswa yang masuk sekolah kedinasan dengan harapan dan janji bahwa mereka akan langsung diangkat menjadi PNS setelah lulus. Mengubah aturan di tengah jalan dianggap mengingkari perjanjian.
Ketidakefisienan Sistem:
Sekolah kedinasan didirikan untuk memenuhi kebutuhan spesifik instansi pemerintah secara cepat dan terukur. Jika harus ikut tes CPNS lagi, ada potensi lulusan tidak terserap pada instansi yang dibutuhkan, menurunkan motivasi, dan mengganggu regenerasi birokrasi.
Di sisi lain, para pendukung usulan DPR berargumen bahwa kebijakan ini akan mendorong keadilan dan meritokrasi. Mereka melihat ikatan dinas otomatis sebagai "privilege" yang tidak adil bagi lulusan perguruan tinggi umum. "Negara harus memberikan kesempatan yang setara, berdasarkan kompetensi, bukan asal lembaga pendidikan," tegas seorang pendengar.
Selain itu, pendukung juga menyoroti bahwa biaya pendidikan di sekolah kedinasan ditanggung penuh oleh negara, sehingga wajar jika lulusannya harus kembali membuktikan kelayakan mereka melalui tes ulang.
Ada pula kritik bahwa output sekolah kedinasan tidak selalu lebih unggul dari lulusan universitas umum, bahkan cenderung kaku dan kurang adaptif. Tes ulang diharapkan dapat menyaring kandidat terbaik.
Pandangan Akademisi: Menjaga Kesehatan Mental dan Mendorong Keterbukaan
Ibu Dhia Al Uyun, Ketua Serikat Pekerja Kampus Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, yang diwawancarai Suara Surabaya, memberikan perspektif yang lebih mendalam. Ia menyatakan setuju dengan usulan tes ulang.
Menurut Ibu Dhia, meskipun sekolah kedinasan bertujuan untuk efisiensi pemerintahan, ada problem mendasar terkait pembentukan cara pandang lulusannya.
"Ikatan kedinasan seringkali kemudian membawa menutup keberanian-keberanian untuk menyampaikan pendapat, perbedaan pendapat, dan memoles itu dalam doktrin yang kemudian itu dimunculkan oleh ikatan kedinasan," jelasnya.
Ia khawatir sistem yang ada saat ini membentuk lulusan dengan pemikiran tertutup, kurang adaptif terhadap fenomena baru, dan sulit menerima pandangan berbeda. Hal ini dapat mengganggu sistem kerja di organisasi pemerintahan.
"Seringkali mereka tidak mendapatkan informasi-informasi yang ada di luar sana, tidak banyak bertemu, berinteraksi dengan banyak orang. Kebenaran tunggal itu dari tutor mereka," kritiknya.
Bagi Ibu Dhia, tes ulang akan membuka peluang bagi setiap orang yang berkompeten dan mendorong kesehatan mental lulusan. Dengan masuknya individu dari berbagai latar belakang, diharapkan birokrasi menjadi lebih terbuka dan tidak kolutif. Ia juga menyinggung adanya "lingkaran orang dalam" yang mungkin tidak selalu berasal dari lulusan kedinasan, tetapi tetap perlu dibongkar.
Hasil survei di Instagram Suara Surabaya menunjukkan 79% voter setuju dengan adanya tes ulang. Meskipun demikian, perdebatan ini masih jauh dari kata usai, mengingat pro dan kontra yang kuat dari berbagai pihak.
No comments:
Post a Comment