Penulis: Firnas Muttaqin
Senin, 21 Juli 2025
Kajian Al-Quran yang disampaikan oleh Ustadz Abu Qosim M. Ihsan pada Senin malam (21/7/2025) di Masjid Al-Ishlah Al-Irsyad Kota Pasuruan, mengupas tentang berbagai aspek keimanan dan kesesatan yang tergambar dalam Al-Quran, dengan penekanan khusus pada kisah bangsa jin yang beriman.
*Pembangkangan Manusia dan Ketegaran Hati*
Ustadz Abu Qosim memulai kajiannya dengan menggambarkan kondisi sebagian manusia yang mengingkari ayat-ayat Allah, bahkan pada awalnya mencemooh ancaman-ancaman-Nya. Meskipun Allah berulang kali memberikan peringatan dan kesempatan untuk bertobat, hati mereka tetap keras, seolah telah dikutuk. Bagi mereka, diberi peringatan atau tidak, hasilnya sama saja, mereka tidak akan beriman. Bahkan sesembahan mereka pun tidak mampu menolong mereka dari ketetapan Allah, hingga akhirnya mereka tergolong orang-orang yang merugi.
*Kisah Bangsa Jin: Sebuah Kontras Keimanan*
Melihat pembangkangan manusia, Allah SWT kemudian menceritakan tentang bangsa lain selain manusia, yaitu bangsa jin. Ini seolah menunjukkan bahwa Allah mengalihkan perhatian-Nya kepada makhluk lain yang justru memiliki kemauan untuk beriman.
Ustadz Abu Qosim menjelaskan bahwa peristiwa jin mendengarkan bacaan Al-Quran Nabi Muhammad SAW terjadi pada waktu shalat Isya yang diakhirkan (sekitar pukul 12 malam), atau menurut riwayat lain, saat shalat Subuh. Ada kemungkinan peristiwa ini terjadi berulang kali pada kedua waktu tersebut. Saat Nabi membaca Al-Quran dengan khusyuk, rombongan jin datang dan mendengarkan. Mereka saling mengingatkan: "Wahai golongan jin, diamlah kamu! Dengarkan bacaan Al-Quran ini!"
Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui kehadiran mereka secara langsung, karena jin berada di alam gaib. Beliau baru mengetahuinya setelah diberitahu oleh Allah melalui wahyu, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Jin. Para jin tersebut sangat terkesima, kagum, dan heran, merasakan bahwa apa yang mereka dengar adalah sesuatu yang baru dan belum pernah mereka dengar sebelumnya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah kelompok jin yang pertama kali mendengarkan Al-Quran ini, ada yang mengatakan 7 atau 9 kelompok, dan mereka adalah para pemimpin bangsa jin. Setelah Nabi selesai membaca Al-Quran, rombongan jin tersebut segera kembali kepada kaumnya untuk memberikan peringatan dan mengajak mereka kepada keimanan. Hal ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk seluruh alam, baik manusia maupun jin.
*Keutamaan Manusia dan Bahaya Meminta Tolong kepada Jin*
Berdasarkan fakta bahwa Nabi diutus untuk keduanya dan manusia lebih mulia daripada jin, maka meminta tolong kepada jin adalah sebuah kehinaan dan kerendahan. Ustadz Abu Qosim mencontohkan tukang santet, dukun, atau tukang sihir yang menggunakan jasa jin. Perbuatan ini bukan saja merugikan manusia, tetapi juga membuat jin semakin sombong, sesat, dan kufur kepada Allah, dan menyeret banyak manusia ke dalam kesesatan. Kelak di hari Kiamat, orang-orang yang tersesat akan melampiaskan kemarahan mereka kepada jin dan manusia yang telah menyesatkan mereka. Namun, ditegaskan pula bahwa ada jin yang beriman dan baik, yang kelak akan masuk surga.
*Al-Quran sebagai Pembenar dan Pelurus Kitab Suci Sebelumnya*
Jin-jin yang telah mendengarkan Al-Quran itu pulang ke kaumnya dan memberi nasihat: "Wahai kaum kami bangsa jin, sesungguhnya kami barusan mendengarkan kitab, yaitu Al-Quran, yang diturunkan setelah Nabi Musa." Pernyataan ini menunjukkan bahwa jin-jin tersebut, yang asalnya mengikuti agama Nabi Musa (kemungkinan jin Yahudi atau Nasrani awal), mengakui Al-Quran sebagai kelanjutan ajaran tauhid. Nabi Musa disebut karena ajaran Nabi Isa bersifat melanjutkan ajaran Nabi Musa dalam hal hukum, sementara ajaran Nabi Isa lebih banyak menekankan pensucian jiwa dan kelembutan hati.
Al-Quran berfungsi sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya (Taurat dan Injil) yang telah banyak diubah-ubah oleh para pemuka agama sesuai hawa nafsu. Ustadz mencontohkan bagaimana hukum rajam untuk perzinahan dalam Taurat diubah menjadi denda, dan bagaimana keyakinan bahwa Nabi Isa atau Uzair adalah anak Allah dibantah tegas oleh Al-Quran, terutama dalam Surah Al-Ikhlas yang menegaskan keesaan Allah yang tidak beranak dan tidak diperanakkan.
Dalam Surah Al-Fatiha, permohonan "Ihdinas shiraatal mustaqim" (tunjukilah kami jalan yang lurus) merujuk pada jalan Islam yang murni, bukan jalan orang-orang yang dimurkai (seperti Yahudi yang menyimpang) atau orang-orang yang tersesat (seperti Nasrani yang berlebihan mengagungkan Nabi Isa hingga menyembahnya). Ini menegaskan fungsi Al-Quran sebagai pembawa kebenaran dan pelurus ajaran.
*Keesaan Allah dan Petunjuk Al-Quran*
Al-Quran adalah petunjuk kepada jalan yang benar (al-haq) dalam masalah akidah, keyakinan, dan ideologi. Ia mengajarkan tauhid, yaitu mengesakan Allah baik dalam Dzat, perbuatan, maupun sifat-Nya. Meskipun ada persamaan sebutan sifat (misalnya, makhluk melihat, Allah melihat), hakikatnya sangat berbeda. Penglihatan makhluk terbatas oleh ruang dan waktu, sementara pengetahuan dan penglihatan Allah Maha Luas, meliputi segala sesuatu tanpa batas. Ini sejalan dengan firman Allah: "Tidak ada sesuatu pun yang setara atau yang sama dengan Allah SWT."
Selain itu, Al-Quran juga petunjuk kepada jalan yang lurus dalam hal amalan dan ibadah. Amalan yang lurus adalah amalan yang sesuai dengan tuntunan Rasul, tidak bid'ah, dan dapat mengantarkan seorang hamba kepada Allah serta memasukkannya ke surga.
**Seruan Jin dan Janji Allah**
Para pemimpin jin itu kemudian mengajak kaumnya untuk menerima seruan Allah, yaitu beriman kepada Nabi Muhammad dan mengikuti Al-Quran. Dengan mengucapkan kalimat syahadat, dosa-dosa yang lalu akan dihapus seluruhnya, sebagaimana kisah Abdullah bin Amr bin Ash saat masuk Islam. Selain pengampunan dosa, Allah juga akan melindungi mereka dari azab yang pedih di neraka.
Sebaliknya, barang siapa yang tidak mau menerima seruan Allah, ia tidak akan dapat melepaskan diri dari azab Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Tidak ada pelindung atau penolong baginya selain Allah. Mereka yang menolak seruan-Nya berada dalam kesesatan yang nyata.
Kajian ini ditutup dengan penegasan bahwa jika sebagian manusia menolak keimanan, masih ada golongan lain seperti jin yang mau beriman. Di antara bangsa jin pun terdapat yang Muslim (saleh, taat) dan ada pula yang melampaui batas atau kafir (yang menjadi pembantu dukun atau tukang sihir), menunjukkan beragamnya pilihan antara ketaatan dan pembangkangan di antara mereka. (*)
---
No comments:
Post a Comment