Wednesday, July 02, 2025

Masa Kecil Emha Ainun Nadjib: Didikan Ibu dan Ayah Pembentuk Karakter "Orang Kecil"

Penulis : Firnas
Rabu, 2 Juli 2025

Yogyakarta – Budayawan dan cendekiawan Emha Ainun Nadjib, yang akrab disapa Cak Nun, dalam sebuah kesempatan berbagi kisah masa kecilnya yang membentuk perspektif dan kedekatannya dengan "orang kecil". Lahir sebagai anak keempat dari 15 bersaudara, Cak Nun memiliki ikatan emosional yang sangat kuat dengan sang ibu, yang berperan besar dalam mendidiknya untuk peka terhadap kondisi masyarakat bawah.


Didikan Ibu: Menjelajah Pelosok dan Peduli Rakyat Kecil

Cak Nun menceritakan bagaimana sejak kecil, ibunya selalu mengajaknya berkeliling mengunjungi tetangga-tetangga yang kurang mampu. "Sejak saya bisa berjalan, hampir setiap hari saya dituntun ibu saya. Ibu saya menggendong adik saya sambil menuntun saya itu mengunjungi tetangga-tetangga yang melarat," kenang Cak Nun.

Kebiasaan sang ibu yang selalu menanyakan kabar dan kondisi hidup rakyat kecil, seperti "bagaimana mukenamu masih ada? Anakmu sudah sekolah? Kamu kesusahan apa hidupmu?" menjadi pelajaran berharga bagi Cak Nun. Pengalaman harian mendampingi ibu berkeliling kampung ini menanamkan kepekaan sosial yang mendalam dalam dirinya.


Ayah Pejuang Rakyat: Dari Pendidikan hingga Pesta Desa

Tidak hanya sang ibu, sosok ayah Cak Nun juga turut membentuk karakternya. Ayahnya dikenal sebagai sosok yang sangat dermawan dan berpihak pada rakyat.

"Ayah saya itu membiayai guru-guru dari Jogja, dari mana-mana ya untuk sekolahannya," tutur Cak Nun. Bahkan, ayahnya pernah menjadi tuan rumah dan membiayai kongres nasional partai politik besar di desanya, menunjukkan komitmennya terhadap kepentingan publik.

Tradisi "pesta untuk rakyat" juga menjadi ciri khas ayahnya. "Setiap Maulid Nabi pasti menyembelih sapi, setelah itu menyembelih kerbau, menyembelih kambing berapa ekor, seisi desa diajak makan semua," ungkapnya. Selain itu, pada hari libur, ayahnya kerap menyewa truk besar untuk mengajak warga desa berwisata ke Borobudur atau tempat-tempat lain. "Pokoknya ayah saya itu hidupnya untuk rakyat," imbuhnya.


"Kenakalan" sebagai Energi Kreatif dan Belajar Mandiri

Cak Nun juga menyinggung tentang pandangan terhadap anak "nakal". Menurutnya, kenakalan seringkali merupakan manifestasi dari energi besar yang belum tersalurkan secara positif. Ia mengambil contoh dirinya sendiri yang di masa kecilnya bisa dibilang sangat "nakal".

"Kalau ada anak umur setahun mulai bisa jalan sedikit-sedikit, umur setahun sudah bisa jalan, sedikit-sedikit sudah bisa memanjat kursi, lalu ada yang di meja makan naik begitu, kok kamu sebut nakal? Kamu jangan bilang 'tidak boleh ini naik di atas meja!'. Bagi si anak kecil ini kan bukan meja," jelasnya. Ia menekankan pentingnya menyesuaikan diri dengan tahap usia anak.

Cak Nun juga menceritakan bagaimana dirinya belajar mengaji secara mandiri sejak kecil, bukan dari sekolah formal. Ia mendengarkan dan menganalisa bacaan mengaji dari orang-orang di sekitarnya. "Sebelum saya diajari mengaji, saya sudah bisa mengaji karena saya belajar. Saya dengarkan, saya analisa, saya ingat-ingat polanya bagaimana," ujarnya.

Bahkan pada usia 4 tahun, ia sudah diminta ayahnya untuk menjadi qari dalam acara Maulid Nabi, meskipun sempat menangis di tengah-tengah karena kesulitan mencapai nada tinggi. Kisah kenakalannya saat dilempar keluar masjid oleh sang ayah karena "malu" juga menjadi anekdot menarik yang menunjukkan jiwa petualang dan kemandiriannya sejak dini. Ia bahkan pernah mengunci rumah dari luar dan pergi berminggu-minggu, tidur di atap atau bahkan di kuburan, sebagai bentuk protes terhadap situasi yang tidak disetujuinya.

Bagi Cak Nun, "kenakalan" itu adalah dorongan untuk menemukan dan menyalurkan energi secara kreatif. Ia mendorong orang tua untuk melibatkan anak-anak dalam berbagai pekerjaan rumah tangga, sekecil apa pun, agar mereka memiliki pengalaman dan ide. "Kalau anak tidak kita biasakan untuk melakukan pekerjaan yang baik, yang banyak jenisnya, nanti kalau dia punya energi, mau dikeluarkan ke mana? Akhirnya ya cuma tantang-tantangan ngebut, narkoba, dan melakukan banyak sekali kebodohan-kebodohan yang berbahaya," pungkasnya.

Kisah-kisah ini menegaskan bagaimana lingkungan dan didikan keluarga Cak Nun sejak dini telah membentuknya menjadi sosok yang kini dikenal sebagai pemikir ulung, penulis, dan budayawan yang senantiasa dekat dengan rakyat kecil. (*)

Sumber:

https://youtu.be/9iLG3OKZQRk?si=UT8mNjq60y0odVaH

—-

No comments: