Penulis: Firnas Muttaqin
Jum'at, 11 Juli 2025
PASURUAN, 11 Juli 2025 – Dalam sebuah tausiyah yang mencerahkan, ulama kenamaan Gus Baha (KH Bahaudin Nursalim) mengajak umat untuk merenungi kembali esensi kebahagiaan hakiki dalam Islam dan bagaimana mengelola nafsu agar tidak terjerumus pada perilaku yang merugikan. Beliau menyoroti bahaya pola pikir yang didikte nafsu, sebagaimana dikritik oleh Al-Qur'an terhadap mereka yang mempertuhankan hawa nafsunya. Berbeda dengan generasi Nabi, sahabat, dan ulama terdahulu yang dikenal memiliki pola pikir yang lebih jernih dan sederhana.
Makna Kebahagiaan dalam Ketaatan
Gus Baha menekankan bahwa Nabi Muhammad SAW selalu mengajarkan kegembiraan. "Bergembiralah wahai kaum Muslimin, Allah telah membuka pintu langit yang sebelumnya tidak pernah dibuka dan Allah membanggakanmu di hadapan para malaikat-Nya," kutip Gus Baha. Menurut beliau, resep sederhana untuk senantiasa berada dalam kebaikan, bahkan hingga saat kematian, adalah dengan prinsip "Addu faridhatan wantadhiru ukhra" (Lakukan satu kewajiban, lalu tunggu kewajiban berikutnya).
Ini berarti, sambung Gus Baha, setelah sholat Subuh, niatkan menunggu shalat Dzuhur, dan seterusnya. "Dengan demikian, status kita di dunia adalah 'penunggu sholat' atau 'penunggu ibadah', bukan penunggu kekayaan atau kemapanan yang didikte nafsu," jelasnya. Hidup seorang Muslim, seyogyanya adalah dinamika dari satu kebaikan menuju kebaikan lainnya, selaras dengan ajaran Islam bahwa setelah satu tugas selesai, bersiaplah untuk tugas berikutnya (`faidzaa faroghta fanshob`).
Gus Baha juga mengingatkan bahaya mentalitas "belum mau mati sebelum kaya atau membalas dendam," yang dapat berujung pada kematian dalam kondisi hasud. Justru, kata beliau, menjadi fakir bisa meringankan hisab di akhirat.
"Islam itu mengawal kebahagiaan," tegas Gus Baha. Kebahagiaan menjadi perintah ilahi agar Muslim tidak mencari kesenangan melalui jalur maksiat. Ciri utama wali Allah adalah ketiadaan kekhawatiran dan kesedihan (`ala inna auliya Allah la khaufun alaihim wa hum yahzanun`). Ulama terdahulu, lanjutnya, dikenal hidup dengan sangat rileks, menghadapi pujian maupun celaan dengan santai.
Pernyataan masyhur Imam Syafii, "Waman asa ilaika faqod atlaqoka" (Orang yang berbuat buruk padamu hakikatnya telah membebaskanmu), menjadi cerminan kerileksan dalam hidup. Ketika seseorang dicaci, ia merasa bebas dari beban ekspektasi. Ini berlaku pula dalam hubungan rumah tangga, di mana "ocehan" pasangan bisa dianggap sebagai ladang pahala tanpa biaya, berbeda dengan kemesraan yang terkadang menuntut biaya tinggi.
Maksiat, seringkali berakar dari keinginan mencari kesenangan sesaat. Untuk melawannya, Gus Baha menyarankan untuk mencari "kenyamanan dalam ketaatan". Kitab-kitab tasawuf mengajarkan bagaimana melihat alam semesta ini sebagai sumber kenyamanan, bahkan dalam hal-hal yang mungkin terasa mengecewakan.
Logika sebagai Benteng dari Maksiat
Dalam konteks menghindari maksiat, Gus Baha menekankan bahwa tidak cukup hanya mengandalkan ancaman neraka, tetapi juga memerlukan logika. Beliau mencontohkan dialog Nabi Muhammad SAW dengan seorang pemuda yang ingin masuk Islam namun meminta izin untuk tetap berzina. Nabi tidak mengancam, melainkan bertanya, "Apakah kamu suka jika ibumu dizinai orang lain? Atau anak perempuanmu? Bibimu?" Pertanyaan logis ini, kata Gus Baha, mengubah pola pikir pemuda tersebut, menanamkan kebencian terhadap zina dalam hatinya. "Logika ini penting agar kita memiliki harga diri untuk tidak bergantung pada hal-hal yang merusak," ujarnya.
Hidup Rileks, Mati pun Tenang
Pola pikir juga sangat mempengaruhi pandangan kita tentang kekikiran. Orang kikir cenderung menganggap hidup itu lama dan uang sangat penting. Padahal, Nabi mengajarkan bahwa harta yang dimakan akan menjadi kotoran, pakaian mewah akan rusak, tetapi yang disedekahkan akan kekal abadi di akhirat. "Sedekah adalah cara 'mengabadikan uang', bukan mengurasnya," jelas Gus Baha.
Ulama terdahulu melihat hidup dan mati dengan sangat rileks. Kematian bagi orang baik adalah "husnul khotimah" (akhir yang baik), dan bagi orang yang banyak maksiat, adalah akhir dari segala keburukan. Doa Nabi, "Allahummajalil hayata ziyadatan li kulli khairin wal mauta rohatan min kulli syarrin" (Ya Allah, jadikan hidup ini sebagai bekal menambah kebaikan dan suatu saat jika saya mati, semoga itu akhir dari segala keburukan), mengajarkan kita untuk selalu berpikir positif.
Bahkan tindakan "mubah" (yang diperbolehkan) pun bisa menjadi pahala, kata Gus Baha. Ada ulama yang berpendapat bahwa tidak ada tindakan mubah yang sia-sia, karena saat melakukannya, seseorang secara otomatis meninggalkan potensi keharaman. Tidur, misalnya, bisa dicatat sebagai meninggalkan kemaksiatan bagi mereka yang cenderung berbuat buruk saat terjaga.
Sebagai penutup, Gus Baha menegaskan bahwa Islam mengajarkan untuk selalu melatih "kebahagiaan dalam ketaatan". Inilah benteng terkuat dari keinginan mencari kesenangan melalui jalur maksiat. "Ala bidzikrillahi tatmainnul qulub," (Dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram) adalah landasan utama dalam mengelola kebahagiaan yang hakiki, menjadikan hati para wali Allah senantiasa "bersama Allah" (`qulubuhum ma'allah`), bahkan dalam setiap keadaan. (*)
Tayang disini:
https://jatimlines.id/menggapai-bahagia-sejati-dalam-bingkai-islam-refleksi-dari-tausiyah-gus-baha/
No comments:
Post a Comment