Saturday, July 19, 2025

Menguak Islam di Barat: Diskusi Mendalam Ustadz Muhammad Nuruddin dan Muhammad Iqra Nugroho Sugiarto


Penulis: Firnas 
Sabtu, 19 Juli 2025

Sebuah perbincangan menarik tersaji dalam podcast "Mystical Dimensions of Islam" yang dipandu oleh *Ustadz Muhammad Nuruddin* bersama mahasiswanya, *Muhammad Iqra Nugroho Sugiarto*. Diskusi ini mengupas tuntas pengalaman Iqra yang menempuh pendidikan *Teologi Islam (Islamic Theology)* di Universitas Osnabrück, Jerman, sekaligus menepis stigma negatif tentang studi Islam di Barat.

---

*Profil Muhammad Iqra Nugroho Sugiartto: Dari Pesantren ke Jerman*

Muhammad Iqra Nugroho Sugiartto, 26 tahun, adalah mahasiswa Magister Teologi Islam di Universitas Osnabrück. Ia berasal dari Bogor, Indonesia, dan memiliki latar belakang pendidikan pesantren di SMP Darunnajah Jakarta dan SMA Amanatul Ummah Mojokerto. Iqra tiba di Jerman pada tahun 2018.

"Saya sebenarnya sampai Jerman itu belum ada rencana mau ngambil jurusan agama. Bukan rencana awal, kepeleset sebenarnya," tutur Iqra, menjelaskan bahwa awalnya ia bercita-cita melanjutkan studi ke Al-Azhar, Mesir. Namun, sebuah kesempatan beasiswa ke Jerman saat SMA mengubah jalannya. Beasiswa tersebut, menurut Iqra, lebih sebagai "embel-embel" karena ia tetap harus bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di Jerman.

*Stigma Studi Islam di Barat dan Realitas di Osnabrück*

Ustadz Nuruddin mengangkat stigma umum bahwa mahasiswa yang belajar agama di Barat, seperti Eropa atau Amerika, seringkali pulang dengan membawa pemikiran "syubuhat" (keraguan), mengkritik kesepakatan ulama, atau meragukan Al-Qur'an. Namun, Ustadz Nuruddin melihat Iqra sebagai pengecualian yang menjaga pemahaman keislaman yang lurus.

Iqra menjelaskan bahwa pandangan negatif ini mungkin relevan jika melihat periode sebelum tahun 2000-an, di mana sumber keilmuan Islam di Eropa masih terbatas pada orientalis yang mempelajari Islam dari sudut pandang luar. Namun, pasca tahun 2000, banyak cendekiawan Eropa yang secara langsung belajar Islam di Timur Tengah dan kemudian menjadi pengajar di kampus-kampus Barat.

Salah satu contoh krusial adalah *Syekh Mahmud Kelner*, pengajar Iqra di Osnabrück. Syekh Mahmud telah menghabiskan puluhan tahun belajar di Timur Tengah, termasuk 10 tahun di Damaskus dan 2 tahun di Mesir. Ia merupakan inisiator jurusan Teologi Islam di Osnabrück, dan mengajarkan kitab-kitab klasik seperti *Khaidah Bahiyah* (mirip dengan di Al-Azhar) dan *Jaharut Tauhid*. "Beliau ini hidup di Jerman tapi dengan khazanah keilmuan Timur Tengah," tegas Iqra.

*Fondasi Ilmu dan Sanad Keilmuan: Kunci Pemahaman yang Lurus*

Ustadz Nuruddin menambahkan bahwa banyak mahasiswa yang pulang dengan pemikiran aneh dari Barat karena fondasi keislaman mereka masih rapuh. "Bahasa Arabnya pas-pasan, logikanya masih rapuh, akidahnya juga masih minim. Terus dia sudah bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran modern," jelas Ustadz Nuruddin, menganalogikannya seperti "orang belum bisa nyetir tapi sudah masuk jalan tol."

Ia membandingkannya dengan ulama Al-Azhar yang dikirim ke Sorbonne, Paris. Mereka datang dengan wawasan yang matang, menguasai setidaknya 12 disiplin ilmu, dan justru mengoreksi kesalahpahaman orientalis. *Syekh Abdul Halim Mahmud*, mantan Grand Syekh Al-Azhar dan seorang sufi besar lulusan Sorbonne, serta *Syekh Abdullah Dros* yang rutin wirid 5 juz Al-Qur'an setiap hari selama di Prancis, adalah contoh nyata ulama dengan sanad keilmuan yang jelas yang tidak terkontaminasi oleh pemikiran Barat.

Di Osnabrück, metode pembelajaran Teologi Islam yang diterapkan Syekh Mahmud Kelner juga bersifat berjenjang, dengan level seperti Safa, Marwah, Mina, Muzdalifah, dan Raudhah, menggunakan kitab-kitab klasik yang telah diterjemahkan ke bahasa Jerman. "Enggak bisa orang yang misalnya sudah belajar agama, sudah mumpuni terus langsung ke Muzdalifah enggak bisa, harus dari Safa lagi," terang Iqra, menegaskan pentingnya proses belajar bertahap.

*Perbedaan Islamic Studies dan Islamic Theology di Jerman*

Iqra menjelaskan perbedaan mendasar antara *Islamic Studies* dan *Islamic Theology* di Jerman:

* *Islamic Studies:* Mirip dengan Oriental Studies, mempelajari Islam secara umum dari "perspektif luar" (*aussen perspektive*). Pengajar dan mahasiswanya tidak harus Muslim.

* *Islamic Theology:* Secara spesifik mempelajari Islam dari "sudut pandang dalam" (*innen perspektive*), dengan pengajar dan mahasiswanya yang mayoritas Muslim, seperti Syekh Mahmud Kelner.

---

*Potret Masyarakat Jerman: Disiplin, Sejahtera, Namun Sekuler*

Ustadz Nuruddin dan Iqra juga mengulas potret masyarakat Jerman. Meskipun disiplin, teratur, dan mampu menyejahterakan rakyatnya (dengan gaji yang mencukupi bahkan untuk pekerjaan paruh waktu atau pekerjaan seperti petugas kebersihan), masyarakat Eropa secara umum cenderung memandang agama sebagai sesuatu yang terpinggirkan.

"Jangankan teologi Islam, teologi Kristen aja sedikit juga mahasiswanya," kata Ustadz Nuruddin, menyoroti rendahnya minat studi agama di negara mayoritas Kristen tersebut. Ia berpendapat bahwa masyarakat Eropa belum mendapatkan penjelasan Islam yang "canggih" dan matang secara intelektual.

Terkait Islamofobia, Iqra menjelaskan bahwa meskipun ada, umumnya lebih banyak ditemukan di Jerman Timur yang dulunya bekas jajahan Uni Soviet (komunis), seperti di Leipzig dan Dresden, di mana ada partai anti-imigran dan Muslim (AFD). Namun, di kalangan orang terdidik dan di kampus, penerimaan terhadap Muslim umumnya lebih baik.

Iqra juga menyoroti upaya penerjemahan istilah-istilah keagamaan ke dalam bahasa Jerman, seperti "sujud" menjadi *Niederwerfung* atau "hidayah" menjadi *Rechtleitung*, yang membantu orang Jerman memahami konsep-konsep tersebut dengan lebih rasional.

*Kontras Indonesia-Jerman: Akhlak dan Kesejahteraan*

Ustadz Nuruddin menutup dengan perbandingan antara Indonesia dan Jerman. Ia mengutip sebuah ungkapan yang menyebutkan:
* Kiblat salat adalah Ka'bah di Makkah.
* Kiblat ilmu keagamaan adalah Al-Azhar di Mesir.
* Namun, **kiblat akhlak umat Islam adalah Indonesia.**

Meskipun Indonesia kaya akan kekayaan alam dan memiliki banyak ulama, ia menyayangkan masih maraknya korupsi dan keserakahan. Sebaliknya, Jerman yang mungkin tidak sekaya Indonesia dalam sumber daya alam, mampu menyejahterakan rakyatnya dan menegakkan hukum dengan lebih baik, minim praktik suap.

"Berarti kan itu enggak ada penjelasan lain kecuali itu menjadi bukti bahwa memang negara kita itu dikuasai ya oleh sebagian orang yang mungkin keserakahan hawa nafsunya enggak bisa dikendalikan," sindir Ustadz Nuruddin, menjadikan potret Jerman sebagai bahan kritik bagi Indonesia.

Iqra menambahkan bahwa banyak orang Jerman yang bahkan tidak menyadari bahwa Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, seringkali mengasosiasikan Islam hanya dengan Timur Tengah yang diliputi konflik. "Islam itu terhalangi keindahannya oleh orang Islam itu sendiri," pungkas Ustadz Nuruddin, merujuk pada ungkapan *Al-Islam mahjubun bil muslimin*.

Pesan terakhir Iqra bagi para calon mahasiswa studi Islam di Eropa, khususnya Jerman, adalah untuk tidak ragu karena Islam di Jerman terus berkembang dan keilmuan teologi Islam semakin meluas. (*)

Tayang disini:
https://jatimlines.id/studi-islam-di-jerman-osnabruck/

Sumber:
https://youtu.be/f7x0GpoMqdY?si=RrE-YUclo600nE1n
---

No comments: