Wednesday, July 30, 2025

Bahaya Mikroplastik dalam Makanan dan Minuman: Desakan Regulasi dan Edukasi di Kota Malang


MALANG, 30 Juli 2025 – Penggunaan plastik sebagai pembungkus makanan,  menimbulkan kekhawatiran serius akan dampak kesehatan jangka panjang akibat paparan mikroplastik. Hal ini menjadi sorotan dalam dialog interaktif di Radio Cityguide 911 Malang (Rabu, 30/7/2025) yang menghadirkan narasumber dari Komisi C DPRD Kota Malang, Dito Arief Nur Rahmadi, dan peneliti dari Ecoton, Avika Fardiana dan Alvin.

Seorang pendengar dari Karangploso, Pak Irwan, menyampaikan pengalamannya menemukan lontong yang dikukus dengan plastik, bukan daun. Ia mempertanyakan dampak kesehatan dari bahan plastik jenis PE (Polyethylene) yang digunakan.

Avika Fardiana dari Ecoton menjelaskan bahwa plastik tersusun dari sekitar 16.000 senyawa kimia, di mana seperempatnya berbahaya dan mengganggu hormon. "Jika plastik digunakan untuk membungkus pembuatan lontong, apalagi lontong itu dipanaskan selama 8 jam, maka senyawa plastiknya akan pindah ke lontong," terang Avika. Ia menambahkan, mikroplastik bahkan bisa menempel pada lontong dan ikut termakan.

---

Dampak Mikroplastik pada Kesehatan Jangka Panjang

Avika memaparkan bahwa ratusan mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dapat diserap oleh darah dan dialirkan ke seluruh tubuh. Ketika mikroplastik mengenai sel, dapat menyebabkan inflamasi atau peradangan, yang jika berkelanjutan akan memicu kematian sel (apoptosis), mengganggu metabolisme tubuh.

Lebih lanjut, plastik mengandung senyawa pengganggu hormon bernama fetalat (peletur). Senyawa ini dapat mengganggu berbagai hormon, termasuk hormon insulin yang berfungsi mengolah gula dalam tubuh. Gangguan pada insulin dapat meningkatkan risiko diabetes melitus. Selain itu, fetalat juga mengganggu hormon reproduksi, menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas sperma pada laki-laki, serta gangguan reproduksi ovum pada perempuan, seperti PCOS (Polycystic Ovary Syndrome).

"Dampak jangka panjangnya luar biasa," kata Avika, menyarankan agar masyarakat menghindari lontong atau makanan lain yang dibungkus plastik dan memilih yang dibungkus dengan bahan alami seperti daun pisang.

---

Desakan Regulasi dan Peran Pemerintah

Menanggapi bahaya ini, pendengar lain, Pak Raffiudin, menyoroti pentingnya peran pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup, serta DPRD, untuk bertindak aktif. Ia mempertanyakan bagaimana pemerintah dapat didorong untuk bertindak, terutama karena temuan ilmiah dari peneliti sudah ada.

Dito Arief Nur Rahmadi, Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Malang, mengakui temuan ini sebagai "peringatan" bagi Kota Malang. Ia menekankan bahwa mikroplastik adalah bahaya yang di depan mata, meskipun dampaknya mungkin baru terlihat di masa mendatang.

"Regulasi tidak cukup dengan surat edaran, tetapi harus dalam bentuk regulasi yang lebih kuat lagi, lebih mengatur lagi, lebih detail lagi. Misalkan peraturan kepala daerah atau peraturan wali kota, atau mungkin kita mendorong nanti menjadi peraturan daerah," ujar Dito. Ia mencontohkan Bali sebagai provinsi yang sudah sangat aware terhadap masalah ini dan memiliki pembatasan plastik yang ketat.

Dito juga menyoroti masalah sampah plastik yang menjadi isu global dan nasional, dengan Indonesia sebagai penghasil sampah plastik kedua terbesar yang dibuang ke laut. DPRD Kota Malang akan mendorong adanya regulasi pembatasan plastik sekaligus mengedukasi masyarakat dan pedagang untuk mengubah perilaku menuju hidup sehat tanpa plastik. Ia juga menekankan pentingnya penerapan program Sustainable Development Goals (SDGs) dalam pembangunan yang berwawasan lingkungan.

---

Langkah Ecoton dan Harapan ke Depan

Avika  dari Ecoton menjelaskan bahwa organisasinya bergerak melalui tiga pilar: research, edukasi, dan advokasi. Mereka mengumpulkan data penelitian terkait mikroplastik dan dampaknya, melakukan kampanye seperti "Plastik Free July," dan berkolaborasi dengan Dinas Lingkungan Hidup serta DPRD untuk mengajukan regulasi.

Avika mencontohkan Korea Selatan yang telah mengusulkan baku mutu mikroplastik dan peraturan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai, serta California yang mengharuskan air PDAM bebas kontaminasi mikroplastik.

"Harapannya di Indonesia itu seperti itu, di kota-kota atau kabupaten yang ada di Indonesia," ujarnya. Ecoton sendiri pada September 2024 lalu telah mengusulkan kajian baku mutu mikroplastik kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kemenko Marves, namun realisasinya belum optimal. "Harapan kami, isu mikroplastik ini memang menjadi isu prioritas untuk anggota legislatif, kemudian juga pemerintah lainnya," tegas Avika.

Alvin, peneliti lain dari Ecoton, menambahkan bahwa setelah melakukan penelitian mikroplastik pada darah dan cairan amnion, mereka menindaklanjutinya dengan penulisan jurnal, webinar edukasi, serta aksi advokasi kebijakan di Surabaya dan Malang. Aksi di Malang bertujuan untuk mendorong pengawasan lebih ketat terhadap Surat Edaran Wali Kota Malang Nomor 8 Tahun 2021 tentang pengurangan plastik sekali pakai.

Selain itu, Ecoton juga mendorong edukasi dan perlindungan kesehatan bagi pemulung dan pemilah sampah, termasuk penyediaan alat pelindung diri (APD) dan pemeriksaan kesehatan berkala, serta pelatihan pengelolaan sampah yang lebih aman.

Dialog ini menunjukkan adanya urgensi dan kolaborasi antara masyarakat, peneliti, dan wakil rakyat dalam menghadapi ancaman mikroplastik, serta desakan kuat untuk segera mengeluarkan regulasi yang lebih tegas guna melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan. (*)

Penulis: Fim

https://jatimlines.id/bahaya-mikroplastik-makanan-minuman-kota-malang/
---

No comments: