Jum'at, 16 Mei 2025
Sekolah Rakyat? Wah, Miskin Boleh, Bodoh Jangan!
Gareng (sambil ngopi di pinggir sawah):
“Petruk, sampeyan ndenger berita baru? Pemerintah mau bikin 200 Sekolah Rakyat, lho!”
Petruk (sambil ngeteh, sambil main catur lawan kucing):
“Oalah, serius? Lah aku pikir ‘sekolah rakyat’ itu cuma jargon zaman Orde Lama, kok dihidupkan lagi? Tapi ya… mending begitu ketimbang sekolah yang isinya cuma lomba viral joget.”
Sekolah Rakyat: Miskin Diedukasi, Bukan Dikutuki
Program ini katanya gagasan Pak Prabowo — Presiden kita yang mukanya sering galak, tapi hatinya katanya selembut bubur ayam. Sekolah rakyat ini ditujukan buat anak-anak dari keluarga miskin ekstrem. Yang ekstremnya bukan karena suka olahraga ekstrim, tapi karena untuk makan sehari tiga kali aja kudu ganti-gantian.
Dan hebatnya lagi, sekolahnya boarding school alias mondok! Makan ditanggung, nginep ditanggung, belajar ditanggung. Pokoknya kayak santri zaman now, tapi full fasilitas.
Gareng:
“Iki keren, Truk. Wong miskin kudu dilatih tangguh, bukan cuma disuruh sabar!”
Dari Rumah Penuh Teriakan, ke Sekolah Penuh Harapan
Pak Nuh, mantan Menteri Pendidikan yang sekarang ikut mengawal program ini, bilang bahwa anak-anak miskin ini butuh lingkungan yang aman dan positif. Soalnya, di rumah kadang yang mereka dapet cuma suara keras dan bentakan. Lah piye, wong listrik aja numpang tetangga, sinyal pun pake WiFi warung sebelah.
Di sekolah rakyat nanti, anak-anak itu nggak cuma diajarin calistung, tapi juga diajarin hidup. Ada life skills digital, ada empat bahasa (Indonesia, Inggris, Arab, Mandarin), dan pastinya diajarin cara bertahan hidup di zaman scroll-scroll ini.
Petruk:
“Jangan lupa, Gareng. Life skill paling penting itu: bisa bedain mana hoaks, mana fakta. Soalnya banyak yang lulus sarjana tapi masih percaya bumi datar!”
—
Guru-gurunya Bukan Kaleng-kaleng
Pemerintah katanya bakal rekrut 700 guru terbaik. Yang pinter, tapi juga punya hati. Yang bisa ngajari bukan cuma pakai otak, tapi juga dengan empati. Karena anak-anak miskin itu bukan objek kasihan, tapi calon pemimpin masa depan. Jangan sampe mereka cuma jadi “konten inspiratif” di TikTok, tapi nggak dikasih akses ke ilmu sejati.
Gareng:
“Kalau gurunya baik dan berjiwa sosial, insyaallah muridnya gak tumbuh jadi buzzer yang tiap hari marah-marah tanpa baca data.”
—
Anggaran? Cerdas, Tapi Jangan Cuan-minded
Pemerintah katanya masih ngitung biaya per anak. Nah ini bagian krusial: jangan sampai niat baik ini malah jadi proyek gendut buat oknum yang senang ‘berinovasi dalam markup’. Sekolah rakyat itu bukan proyek mercusuar, tapi proyek nurani. Jadi jangan digarap pakai mental kontraktor, tapi mental pendidik sejati.
Sekolah untuk Masa Depan, Bukan Sekadar Menghilangkan Statistik
Pendidikan itu proses panjang, bukan sulapan. Sekolah rakyat bukan solusi instan, tapi benih perubahan. Jangan sampai 200 sekolah ini cuma dijadiin berita bagus 5 tahun sekali pas kampanye, tapi gak ada kesinambungan. Pendidikan itu harus kayak tempe mendoan — dimatengin pelan-pelan, bukan digoreng setengah matang lalu diklaim udah matang total.
—
Penutup ala Gareng-Petruk:
Petruk:
“Ngomong-ngomong, Sekolah Rakyat ini bisa jadi game changer, lho. Tapi syaratnya satu: jangan cuma dibangun, tapi dijaga, dirawat, dan dikembangkan.”
Gareng:
“Betul, Truk. Wong cerdas itu bukan yang pinter debat, tapi yang ngerti kapan harus belajar, dan kapan harus diam dengerin rakyat.”
—
GarengPetruk.com – Suara Rakyat Jelata, Gaya Raja Lawak
Kalau rakyat kecil sudah mulai pintar, hati-hati para elite…
Yang biasanya duduk di atas, bisa-bisa duduk di bangku cadangan!
—
Kalau kamu suka artikel ini, jangan lupa baca sambil ngopi dan mikir:
“Kalau anak miskin saja diberi harapan oleh negara, apakah anak kaya sudah cukup diberi tanggung jawab?”
No comments:
Post a Comment