Naik Haji ala Gowes: BROMO.KOM 2025, Ketika Lutut Menjerit dan Hati Merintih Bahagia
Oleh: FIRNAS MUTTAQIN
Biro Pasuruan garengpetruk.com
maisput
Mei 17, 2025
GARENG PETRUK, PASURUAN –
Kalau naik haji butuh wukuf di Arafah, maka naik hajinya pesepeda itu harus wukuf di tanjakan Pasrepan. Itulah BROMO KOM 2025, event sepedaan yang katanya sih buat yang kuat iman, otot, dan nyali. Dari Surabaya hingga Wonokitri, bukan cuma betis yang diuji, tapi juga kesabaran dan ketahanan mental menghadapi tanjakan yang katanya lebih jahat dari mantan pas lagi sayang-sayangnya.
Dimulai dari halaman megah Polda Jatim Surabaya, 1.500 cyclist dari 18 negara, 26 provinsi, dan 428 komunitas ini tancap pedal melewati jalur flat sejauh 55 kilometer menuju Pasuruan. Tapi jangan senang dulu, karena setelah pit stop di GOR Untung Suropati, para cyclist langsung diajak “naik kelas” ke rute Pasrepan menuju Pendopo Agung Wonokitri. Total 100 km, dengan tanjakan hampir 2000 meter. Ini bukan sekadar event, ini semacam ujian hidup dalam versi sepeda.
Tebak-Tebakan Jalanan: Antara Gadis Tebu dan T-Rex
Sepanjang jalan, peserta tidak hanya disuguhi pemandangan menawan ala Bromo, tapi juga kejutan-kejutan dari panitia yang kayaknya kuliah di jurusan hiburan rakyat. Ada Gadis Tebu (bukan tebu beneran ya, tapi gadis berkostum manis-manis ala pabrik gula), Zona Singa & T-Rex (karena tanjakan udah cukup horor, jadi sekalian diajak ketemu hewan purba), hingga DJ Cantik dan Suster Cantik yang lebih efektif dari doping karena bisa memompa semangat… dan mungkin juga tekanan darah.
BROMO.KOM: Sirkus Rasa Ziarah
“Naik hajinya pesepeda,” kata para cyclist yang sudah pernah mencicipi sadisnya tanjakan Bromo. Dan tahun ini, sadisme itu diulang kembali, lengkap dengan kompetisi King dan Queen of The Mountain yang dimulai di KM 70 Pasrepan. Bayangin aja, habis 70 km gowes, disuruh tanding tanjakan. Ini kalau bukan karena cinta pada sepeda, bisa jadi karena sayang sama jersey baru.
Tapi jangan salah, ini bukan cuma soal kuat-kuatan otot. Ini soal solidaritas, komunitas, dan sedikit banyak pencitraan di Instagram. Apalagi dengan peserta dari berbagai negara, dari Amerika sampai Myanmar, dari Kolombia sampai Kolom Renungan—eh maksudnya Kolombia sampai Irlandia. BROMO KOM ini semacam panggung dunia bagi betis-betis perkasa dan sepeda jutaan yang seringnya lebih mahal dari motor tetangga.
Kritik Sosial dalam Gowes Nasional
Tapi tunggu dulu, di balik hebohnya event ini, Gareng dan Petruk mencium aroma kritik sosial. Kenapa jalanan buat pesepeda cuma mulus pas ada event gede? Kenapa jalur sepedaan nggak dibikin permanen di kota-kota? Kenapa DJ Cantik bisa lebih banyak dijumpai di tanjakan daripada di taman kota?
BROMO KOM semestinya jadi inspirasi. Bahwa rakyat itu kalau dikasih fasilitas yang keren, mereka bisa sehat, bahagia, dan nggak cuma nongkrong sambil ngeluh harga cabe. Pemerintah daerah, dari Surabaya sampai Pasuruan, sudah kasih contoh. Tapi setelah ini, jangan cuma jalan tanjakan yang diurus, jalan hidup rakyat juga perlu diperhatikan.
Akhir Kata dari Wonokitri
BROMO KOM 2025 ini bukan hanya perayaan betis, tapi juga perayaan semangat, solidaritas, dan sedikit kegilaan kolektif yang menyenangkan. Acara ini menggabungkan olahraga, seni pertunjukan, dan kritik sosial dalam satu putaran pedal. Mungkin memang betul kata orang, hidup itu seperti naik sepeda — kalau mau seimbang, harus terus gowes.
Dan kalau perlu motivasi tambahan, ingat saja: di ujung tanjakan ada DJ Cantik. Atau minimal, warung kopi dan gorengan.
Penulis: Firnas Muttaqin
Biro Pasuruan – garengpetruk.com
Sedang menyusun petisi agar tanjakan hidup dikasih pitstop juga.
https://garengpetruk.com/naik-haji-ala-gowes-bromo-kom-2025-ketika-lutut-menjerit-dan-hati-merintih-bahagia/
No comments:
Post a Comment