Thursday, May 15, 2025

SEJARAH SINGKAT PASURUAN

*Pasuruan: Jejak Sirih Raja Hayam Wuruk dan Kisah Panjang di Tanah Jawa Timur*

Di pesisir utara Jawa Timur, membentang sebuah wilayah yang menyimpan jejak sejarah panjang dan menarik: Pasuruan. Lebih dari sekadar nama di peta, Pasuruan adalah saksi bisu peradaban, dari gemuruh kerajaan Hindu-Buddha hingga ramainya pelabuhan di era kolonial. Kisah tentang namanya pun tak lepas dari sentuhan seorang raja besar dan sehelai sirih yang dikunyah.

Berada di tenggara Surabaya, wilayah Pasuruan hari ini terbagi menjadi dua entitas administratif: Kabupaten Pasuruan yang luas, berbatasan dengan Sidoarjo, Probolinggo, Malang, dan Mojokerto, serta Kota Pasuruan yang memiliki sejarahnya sendiri. Kabupaten Pasuruan tercatat sebagai salah satu yang tertua di Jawa Timur, jauh sebelum Indonesia merdeka. Buktinya tertuang dalam prasasti Curang bertanggal 18 September 929 Masehi, yang kini diabadikan sebagai hari jadinya. Hampir 11 abad telah berlalu sejak Mpu Sindok, penguasa Kerajaan Medang (Mataram periode Jawa Timur), menetapkan sebuah desa perdikan di wilayah yang kini dikenal sebagai Dusun Suci.

Sementara itu, Kota Pasuruan lahir lebih kemudian, pada 8 Februari 1686, bertepatan dengan pengangkatan Untung Suropati sebagai Adipati. Namun, jauh sebelum itu, jauh sebelum Untung Suropati menancapkan kekuasaannya, nama "Pasuruan" telah terukir dalam sejarah berkat kunjungan seorang raja Majapahit yang legendaris: Hayam Wuruk.

Alkisah, di abad ke-10, pusat Kerajaan Mataram berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur di bawah kepemimpinan Mpu Sindok. Masa pemerintahannya relatif tenteram, hingga suatu hari datanglah utusan dari Majapahit, Tunggul Abang. Ia membawa kabar bahwa Raja Hayam Wuruk sedang dalam perjalanan menuju sebuah desa di utara Kepulungan (kini bagian Pasuruan) untuk mencari seorang pertapa sakti bernama Kutidar Baru. Majapahit kala itu tengah dilanda wabah misterius, dan Hayam Wuruk berharap sang pertapa dapat menemukan penawarnya.

Mendengar kedatangan sang raja, Mpu Sindok bergegas mempersiapkan sambutan yang layak. Sebagai wujud penghormatan, ia memerintahkan pembangunan sebuah candi sebagai tempat pertemuan keduanya. Rakyat pun dikerahkan untuk bergotong royong membangun mahakarya tersebut. Namun, niat baik ini terhalang oleh Arya Penangsang, seorang prajurit yang menyimpan dendam pada Mpu Sindok. Ia berusaha menggagalkan pembangunan candi dengan menyebarkan kebohongan, berharap pertemuan kedua raja akan tertunda.

Pertikaian tak terhindarkan antara Mpu Sindok dan Arya Penangsang. Namun, kesaktian Arya Penangsang tak sebanding dengan Mpu Sindok, hingga ia pun kalah dan melarikan diri. Pembangunan candi dilanjutkan, meski batu-batu yang telah dirusak memaksa Mpu Sindok untuk membangun candi Hindu dengan ukuran yang lebih kecil.

Tibalah saat yang dinanti. Raja Hayam Wuruk tiba di Kerajaan Mataram. Pertemuan kedua penguasa berjalan dengan hangat. Untuk menambah keakraban, Mpu Sindok menghidangkan sirih dalam puan emas, lengkap dengan kapur, gambir, dan pinang – sebuah tradisi Mataram yang telah lama mengakar. Saat mengunyah sirih, Hayam Wuruk merasakan kebahagiaan. Berkali-kali ia mengucapkan "Pasuruhan," yang berarti tempat tumbuhnya tanaman sirih. Ia bahkan memaknai sirih sebagai simbol persaudaraan dan keakraban.

Kata-kata Hayam Wuruk itu terngiang di benak Mpu Sindok. Sepulangnya sang raja, Mpu Sindok menamai tempat pertemuan mereka "Pasuruhan." Seiring waktu, lidah masyarakat lebih akrab dengan sebutan "Pasuruan."

Jejak Pasuruan terus terukir dalam lembaran sejarah. Di era Kerajaan Kahuripan pada abad ke-11, Pasuruan menjelma menjadi pelabuhan kuno bernama Tanjung Tembikar, menarik para pedagang dari berbagai penjuru Nusantara dan menjadikannya pusat transaksi dagang yang penting.

Ketika Majapahit mencapai puncak kejayaannya, nama Pasuruan kembali disebut dalam Kitab Negarakertagama, masih dengan arti yang sama: tempat tumbuhnya sirih. Runtuhnya Majapahit membuka jalan bagi pengaruh Islam. Sidogiri diyakini menjadi salah satu pusat awal penyebaran agama Islam di Jawa Timur oleh Sunan Giri pada abad ke-15. Peran Pasuruan dalam dakwah Islam berlanjut hingga masa kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Di bawah Sultan Agung, wilayah Pasuruan dikuasai oleh Kyai Darmojodo I, yang kemudian diangkat menjadi Adipati pertama.

Era kolonial Belanda membawa perubahan signifikan. Sungai Gembong menjadi jalur transportasi hasil bumi menuju pesisir. Pasuruan menjadi pelabuhan penting untuk mengirimkan hasil perkebunan ke Eropa. Jalan Raya Pos dan jalur kereta api Surabaya-Pasuruan dibangun, menghubungkan wilayah ini dengan pusat-pusat perdagangan lainnya. Pemerintah Hindia Belanda kemudian membentuk Karesidenan Pasuruan yang membawahi tiga kabupaten, sebelum akhirnya membentuk Kabupaten Pasuruan (1901) dan Kota Praja Pasuruan (1918) secara terpisah.

Setelah kemerdekaan, Pasuruan terus berkembang. Kota Pasuruan ditetapkan sebagai daerah otonom pada tahun 1950 dan terus mengalami pemekaran wilayah. Hingga kini, Pasuruan, baik kabupaten maupun kota, terus menyimpan cerita dan warisan masa lalu, mengingatkan kita akan jejak langkah para raja, ulama, dan para pedagang yang pernah melintasi tanah subur ini. Dari sehelai sirih yang dikunyah seorang raja, lahirlah sebuah nama yang abadi dalam sejarah Jawa Timur.  (fim)

Fim :  Firnas Muttaqin

No comments: