Kamis, 15 Mei 2025
GARÈNG & PETRUK: NGOPI DI PASURUAN, DARI SIRIH RAJA HAYAM WURUK SAMPAI PELABUHAN INTERNASIONAL!
Pasuruan, GarengPetruk.com
Oleh: Firnas "Garing Gareng" Muttaqin
Di pagi yang tidak terlalu cerah, Garèng dan Petruk duduk di bawah pohon asem tua di pinggir alun-alun Pasuruan. Sambil nyeruput kopi tubruk dan makan gorengan satu plastik, keduanya ngobrol panjang lebar. Bukan tentang cicilan motor atau promo mie instan lima dapat satu, tapi tentang… sejarah!
“Kamu tahu, Truk,” kata Garèng sambil nyeruit, “Pasuruan itu dulu bukan kota sembarangan. Bahkan Raja Hayam Wuruk pernah mampir ke sini, lho.”
Petruk garuk-garuk kepala, “Hayam Wuruk? Yang itu lho, rajanya Majapahit yang terkenal itu? Lho kok bisa mampir ke Pasuruan? Memangnya ada warung kopi zaman dulu?”
Garèng ketawa, “Bukan warung kopi, Truk. Tapi karena… sirih!”
—
Sirih dan Asal-Usul Nama Pasuruan
Konon, waktu Majapahit sedang kena musibah—semacam wabah penyakit—Raja Hayam Wuruk keliling mencari pertapa sakti. Dapat kabar dari utusan, katanya di daerah yang sekarang jadi Pasuruan ada pertapa bernama Kutidar Baru yang konon bisa menyembuhkan segala penyakit, bahkan patah hati sekalipun (asal niat).
Begitu datang, sang raja disambut oleh Mpu Sindok, penguasa wilayah situ. Sebagai bentuk penghormatan, Mpu Sindok menyajikan sirih lengkap dengan puan emas. Lah, begitu Raja Hayam Wuruk mengunyah sirih itu… dia senyum lebar, mata berbinar.
“Wah, ini tempat sungguh menyenangkan. Tempat tumbuhnya sirih… Pasuruhan!” begitu katanya.
Lalu, seperti sinetron zaman dulu, kata “Pasuruhan” pun melekat jadi nama daerah itu. Lama-lama jadi “Pasuruan.” Bukan karena typo, tapi karena lidah orang zaman dulu emang lebih fleksibel dari tukang sablon jersey.
Arya Penangsang: Dendam Pribadi, Bumbu Sejarah
Tapi kisah ini nggak cuma soal sirih dan senyum manis raja. Ada tokoh antagonis juga: Arya Penangsang, seorang pendekar yang gagal move on dari kekalahan politik. Ia mencoba sabotase pembangunan candi buat tempat pertemuan raja dan Mpu Sindok. Ngapain? Ya biar acara gagal, dia bisa panen drama!
Sayangnya, Mpu Sindok nggak mudah dikelabui. Ia tetap bangun candi, walau ukurannya lebih kecil karena sebagian batu sudah dirusak. Dan pertemuan agung itu tetap terjadi. Hayam Wuruk kenyang sirih, Mpu Sindok puas, Arya Penangsang? Kabur entah ke mana, mungkin buka konten podcast “Pahlawan yang Disalahpahami.”
—
Pasuruan: Marketplace Kuno nan Legendaris
Pasuruan bukan cuma terkenal karena sirih. Pada masa Kerajaan Kahuripan, daerah ini jadi pelabuhan penting bernama Tanjung Tembikar. Zaman belum ada Shopee, semua dagangan numpuk di situ: rempah, kain, dan mungkin juga ghibah dari para saudagar.
Nama Pasuruan kembali bersinar di masa Majapahit, dan ketika Islam mulai masuk Jawa, Pasuruan menjadi salah satu pusat dakwah. Bahkan di era Sultan Agung, wilayah ini dipegang oleh Kyai Darmojodo, seorang tokoh yang bukan hanya sakti, tapi juga rapi dalam administrasi.
Kolonial Datang, Pasuruan Berganti Peran
Begitu Belanda datang dengan VOC dan segala tipu-tipunya, Pasuruan berubah jadi jalur perdagangan utama. Sungai Gembong jadi seperti jalan tol air, dan hasil bumi Jawa Timur mengalir ke Eropa. Belanda bangun jalur kereta dan Jalan Raya Pos, bukan demi rakyat, tapi demi kantong mereka sendiri.
Pabrik gula, kopi, dan perkebunan menjamur, dan Pasuruan dijadikan Karesidenan. Sayangnya, rakyat tetap disuruh kerja rodi. Bedanya dengan zaman sekarang? Ya sekarang disuruh lembur tapi pakai Zoom!
—
Pasuruan Hari Ini: Sejarah di Tengah Keramaian
Sekarang, Pasuruan mungkin terlihat seperti kota biasa. Tapi jangan salah, di setiap sudutnya tersimpan jejak sejarah. Dari sirih yang dikunyah raja, sampai pelabuhan kuno yang jadi tempat bertemunya banyak budaya. Dari pertapa sakti sampai pedagang Cina-Arab-Jawa yang bersatu di pasar.
Garèng nyeletuk, “Pasuruan itu kayak Indonesia dalam versi mini. Ada sejarah, ada perjuangan, ada kebohongan, dan ada gorengan.”
Petruk menambahkan, “Dan yang paling penting, ada sirih. Bukan cuma buat dikunyah, tapi buat diingat: bahwa dari hal kecil bisa lahir sejarah besar.”
Moralnya?
Jangan remehkan sirih. Bisa jadi itu kunci diplomasi. Dan jangan anggap remeh sejarah. Karena di balik nama tempat, selalu ada cerita yang bisa bikin kita lebih waras, lebih sadar, dan… lebih ngakak.
#PasuruanPunyaCerita
#SirihDiplomasiNusantara
#GarengPetrukXSejarahJawaTimur
(fim)
No comments:
Post a Comment