Refleksi Spiritual: Mendalami Makna Ilmu dan Realitas Ketuhanan dalam Pengajian Al Hikam
Oleh FIRNAS.
Pengajian Al Hikam yang dipimpin oleh KH Muhammad Faiz Syukron Ma'mun (Gus Faiz) mengupas tuntas hikmah ke-35 dan ke-36 dari Kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha'illah. Fokus pembahasan kali ini adalah tentang pentingnya kerendahan hati dalam beragama, tingkatan keyakinan seseorang terhadap Allah, dan bagaimana ilmu yang bersifat teoritis seringkali goyah di hadapan realitas kehidupan.
---
Bahaya Rasa Sempurna dan Pentingnya Kesadaran Kekurangan
Gus Faiz mengawali dengan mengulas Hikmah ke-35 yang menekankan bahwa akar dari setiap maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah sifat ar-ridha'in nafsi, yaitu merasa suci, merasa baik, dan merasa telah menyelesaikan semua tuntutan agama. Sifat ini, menurut Ibnu Atha'illah, adalah bencana terbesar bagi manusia.
"Orang yang merasa sempurna di hadapan Allah, akan memunculkan kesombongan, kelalaian, dan syahwat," jelas Gus Faiz.
Ia menekankan bahwa meskipun seseorang telah rajin salat, puasa, dan beribadah, harus selalu ada kesadaran bahwa itu semua "tidak berarti apapun kalau dibandingkan dengan karunia Allah." Kesadaran akan kekurangan diri inilah yang akan mendorong seseorang untuk terus menumbuhkembangkan ibadah dan kedekatan dengan Allah.
---
Tiga Tingkatan Keyakinan: Dari Ilmiah hingga Hakiki
Melanjutkan ke Hikmah ke-36, Gus Faiz memaparkan ketidaksempurnaan manusia dalam mencapai derajat keyakinan yang hakiki terhadap Allah. Ia membagi tingkatan keyakinan ke dalam tiga fase, mirip dengan konsep Islam, Iman, dan Ihsan dalam hadis, atau Syariat, Hakikat, dan Tarekat dalam disiplin ilmu lain. Ibnu Atha'illah sendiri membaginya menjadi:
1. *Syua'ul Basyirah* (Cahaya Mata Hati): Ini adalah *ilmul yaqin*, keyakinan yang dibangun berdasarkan ilmu atau pengetahuan teoritis. Gus Faiz mengilustrasikannya dengan pengetahuan geografi atau informasi tentang kecantikan seseorang dari cerita. Pengetahuan ini benar, namun belum bersentuhan langsung dengan pengalaman.
2. *Ainul Basyirah* (Pandangan Mata Hati): Ini adalah *ainul yaqin*, keyakinan yang diperoleh melalui penglihatan atau pengalaman langsung. Contohnya adalah melihat langsung Gunung Salak dari Bukit Hambalang setelah sebelumnya hanya tahu dari buku, atau melihat langsung Ka'bah di Makkah.
3. *Haqqul Basyirah* (Kebenaran Mata Hati): Ini adalah *haqqul yaqin*, keyakinan tertinggi yang lahir dari pengalaman dan penghayatan secara langsung. Gus Faiz mengibaratkan dengan masuk dan merasakan langsung Kota Bogor, atau bisa merangkul dan mencium Hajar Aswad di Ka'bah. Pada tingkatan ini, ilmu menyatu dengan rasa dan pengalaman.
---
*Mengapa Ilmu Saja Tidak Cukup: Tantangan dalam Kehidupan Nyata*
Gus Faiz menegaskan bahwa keyakinan pada tingkatan *ilmul yaqin* saja seringkali tidak cukup untuk menghadapi gejolak kehidupan. Ia mencontohkan bagaimana seseorang yang sangat berilmu sekalipun bisa goyah imannya saat menghadapi tekanan, seperti godaan duniawi atau ujian rumah tangga.
"Banyak kok orang pintar dibentak bininya itu goblok mendadak," seloroh Gus Faiz, menekankan bahwa meskipun secara teori tahu keutamaan sedekah atau *birrul walidain*, praktik di lapangan bisa berbeda karena desakan batin atau godaan.
Gus Faiz juga menyinggung tentang *konsep "otomatis" dalam kehidupan dan alam semesta*, seperti pintu otomatis atau hujan. Ia menjelaskan bahwa di balik "otomatisasi" tersebut selalu ada perancang atau sistem yang bekerja. "Sejatinya otomatis itu enggak ada. Yang ada diotomatiskan," tegasnya, merujuk pada *sunnatullah* (hukum alam) yang bekerja di alam semesta. Ini adalah dalil aqli (logika) tentang keberadaan Allah.
Gus Faiz kemudian mengingatkan bahwa tingkatan *syua'ul basyirah* atau *nurul ilmi* (cahaya ilmu) hanya mengantarkan pada perilaku baik yang bersifat standar. Ilmu yang dipelajari seringkali berguncang saat menghadapi kondisi nyata yang menyakitkan mata atau hati.
---
*Fokus pada Kualitas Diri dan Hikmah Perjuangan Palestina*
Di akhir pengajian, Gus Faiz menghubungkan pembahasan ini dengan realitas umat Islam saat ini, khususnya terkait perjuangan Palestina. Ia menyebutkan bahwa meskipun umat Islam mungkin sedang "kalah" dalam pertarungan sistem global yang didominasi Barat, keyakinan sejati pada takdir dan janji Allah adalah kunci ketegaran.
Contoh masalah Palestina. "Masalah Palestina ini bukan masalah politik semata. Bagi kita sebagai seorang Muslim, ini masalah akidah, tertulis dalam Al-Quran. Solusinya pun ada dalam Al-Quran," ujarnya.
Ia mengajak umat Islam untuk tidak panik dan tidak terlalu berharap pada solusi dari PBB atau negara-negara lain. Sebaliknya, fokus harus diarahkan pada mempersiapkan diri dan meningkatkan kualitas iman, ketakwaan, serta skill. "Karena Allah Subhanahu wa taala itu hanya akan membebaskan Baitul Maqdis di pundak hamba-hamba-Nya yang memang sudah siap," pungkasnya.
Gus Faiz juga berpesan agar tidak menghabiskan energi untuk mencaci maki atau menyerang dalam isu-isu sensitif, melainkan menjadikannya sebagai ajang edukasi dan persatuan demi terwujudnya kemerdekaan Palestina.
Sumber:
https://youtu.be/dP-cDnMqmFA?si=aQIXatBT-bA8haXk
Selamat menonton
No comments:
Post a Comment