Pergumulan Royalti dan Pembajakan: Potret Suram Kesejahteraan Sastrawan Indonesia
JAKARTA – Di tengah gempuran zaman dan lautan kata-kata, para sastrawan Indonesia masih setia merangkai kisah, melahirkan karya-karya yang mengasah rasa dan memotret kehidupan. Namun, kekayaan kata yang mereka miliki tak lantas membuat mereka sejahtera. Isu pembajakan hingga minimnya royalti terus menghantui, menantang kemandirian profesi sastrawan di Tanah Air.
Martin Aleida: Dedikasi Setengah Abad di Balik Luka Sejarah
Di usianya yang ke-81 tahun, Martin Aleida masih terus berkarya. Sastrawan kelahiran Tanjung Balai Asahan ini telah lebih dari setengah abad mengabdikan diri pada dunia sastra, menghasilkan 14 buku dan puluhan cerpen. Kisah hidupnya, sebagai korban dan saksi tragedi pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966, menjadi sumber utama inspirasinya.
"Buat saya, [sastra] adalah apa yang kita timba dari hidup kita, dari lingkungan kita untuk disampaikan kepada orang lain, mungkin sebagai satu kekayaan atau apapun," ungkap Martin. Banyak cerpennya berlatar belakang kejadian tragis tahun 1965-1966 yang ia alami langsung, bahkan sempat mendekam di sel tahanan.
Meski namanya kondang dan karyanya bertabur penghargaan, Martin tidak hidup dalam kemewahan. Di sudut selatan Jakarta, ia tinggal bersama sang istri yang mengidap demensia. Royalti dari penjualan buku, yang rata-rata hanya 15% dari harga jual, sangat minim. Untuk cetakan kedua bukunya "Tanah Air yang Hilang", ia hanya menerima tak lebih dari Rp1 juta per tiga bulan. Sedangkan untuk cerpen yang dimuat di media massa, ia mendapat honor sekitar Rp500 ribu hingga Rp1 juta.
"Saya kira sulit ya untuk hidup sebagai... di atas kata-kata yang dalam bentuk novel atau puisi," ujar Martin. Namun, ia tak mengejar materi. Sastra memberinya kepuasan batin dan kekayaan dalam bentuk lain. "Dunia sastra yang saya kenal itu juga membawa saya kepada dunia yang lebih luas. Saya kira saya diperkaya oleh itu, oleh pengetahuan mengenai kesastaran dan ada kesempatan untuk mengungkapkan diri saya, apa yang saya alami dengan lingkungan saya melalui kata-kata," tuturnya, menjelaskan mengapa gairah menulisnya tak pernah padam.
Muna Sary: Menjahit untuk Hidup, Menulis untuk Jiwa
Di Pamekasan, Madura, Muna Sary, seorang penjahit berusia 40 tahun, juga merasakan hal yang sama. Ia memulai karir sastranya sebagai penulis cerita bergenre Pop Reli di tahun 2000-an. Baginya, sastra adalah potret kehidupan, cara menuangkannya secara baik, baik melalui tulisan maupun visual.
Muna memotret kehidupan sosial masyarakat Madura lewat karyanya. "Orang kadang menilai Madura itu hanya dari versinya, harapan sapinya. Padahal banyak yang mereka tidak ketahui. Jadi saya itu bagaimana kalau saya menulis Madura itu seperti ini loh, enggak hanya warna ini, enggak hanya hitam putih, tapi ada warna ini, ini, ini," jelasnya.
Empat novel dan lebih dari 100 cerpen telah ia hasilkan di tengah aktivitas menjahitnya. Menulis adalah penyambung jiwa, namun menjahit adalah penyambung hidup. Dari royalti dua bukunya yang masih beredar, Muna menerima kurang dari Rp3 juta setiap enam bulan. Honor cerpen yang terbit di media massa pun tak menentu, berkisar Rp500 ribu hingga Rp1 juta.
"Bagaimana roda ekonomi bisa berjalan. Makanya dari situ kalau saya pribadi fokus di menulis gitu mencari penghasilan dari menulis, saya enggak berani," kata Muna. Penghasilan dari menjahit lebih bisa diandalkan, mencapai Rp250 ribu per hari dengan menyelesaikan dua hingga empat baju. Baginya, menulis dan menjahit dapat berjalan seiringan.
Ekosistem Sastra yang Rapuh: Minim Transparansi dan Ancaman Pembajakan
Hubungan antara sastrawan dan penerbit menjadi sorotan utama dalam ekosistem sastra. Transparansi seringkali minim, terutama dalam pencairan royalti. Muna Sary mengaku pernah mengalami penerbit yang menunggak royalti hingga 1,5 tahun dan tak pernah dikirimi laporan penjualan.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Aris Hilman, mengakui bahwa ekosistem perbukuan sedang tidak baik-baik saja. Serapan buku sastra di pasaran minim, yang berdampak langsung pada penghasilan sastrawan. Kurangnya dukungan pemerintah terhadap industri penerbitan buku menjadi salah satu penyebabnya.
"Royalti yang di kita juga 10%, ada 15% juga ada, itu masih terasa secara nominalnya menjadi sangat kecil karena tadi pengaliknya menjadi sangat sedikit," jelas Aris, merujuk pada menurunnya tren cetakan pertama satu judul buku di Indonesia. Ia juga menyoroti bahwa keuntungan penerbit sendiri tidak lebih dari 10% dari omzet.
Di sisi lain, pembajakan semakin masif di era digital. Survei IKAPI tahun 2021 menemukan 75% penerbit mengalami pembajakan atas buku terbitan mereka, dengan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah. Ironisnya, karena Undang-Undang Hak Cipta adalah delik aduan, pembajak jarang yang mendapatkan sanksi pidana.
Harapan dari Pemerintah dan Peran Strategis Sastrawan
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengaku baru berencana membuat peta jalan untuk perlindungan sastrawan dan karyanya. Langkah awal adalah penataan data karya sastra. Sepanjang 2019 hingga 2023, 2.500-an karya sastra cetak telah teregistrasi, mayoritas berupa cerpen dan puisi.
"Kita ingin membuat sebuah peta jalan dilandasi dengan data yang lengkap kaitan dengan jumlah sastrawan [dan] pegiat sastra. Kami harapkan data ini menjadi instrumen penting bagi kami untuk bisa merencanakan apa yang akan dilakukan ke depan," kata perwakilan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Selain pendataan, IKAPI juga menekankan pentingnya upaya pemerintah untuk menjaga iklim literasi dan budaya membaca tetap hidup dan sehat, sebagai kunci menyehatkan ekosistem sastra.
Sejak tahun 1989, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah memberikan penghargaan sastra kepada sastrawan berprestasi, serta mengalokasikan anggaran untuk mendukung kegiatan komunitas sastra. Namun, sastrawan Seno Gumira Ajidarma berpendapat bahwa pemerintah harus memandang sastrawan sebagai bagian dari strategi pengembangan kebudayaan bangsa, bukan sekadar objek bantuan.
"Jangan menganggap seniman itu orang perlu bantuan, seniman kasihan, seniman miskin, dikasih harus terima kasih sajalah, lumayan ada yang ngasih. Enggak bisa begitu, mesti bagian dari strategi kebudayaan itu ya. Jadi ekonomi yang mengabdi kebudayaan," tegas Seno.
No comments:
Post a Comment