Di negeri +62, nasib sastrawan itu seperti tokoh dalam cerpen absurd: hidup di antara koma dan tanda tanya, tapi selalu dibacakan saat upacara bendera atau seminar sastra yang cuma ada kopi, mic ngadat, dan honor yang nyusul.
Sastrawan Indonesia, kawan, adalah kaum penganyam kata yang harus berjuang di dua medan perang: melawan lupa di kepala pembaca, dan melawan lapar di dapur sendiri. Mereka ini ibarat patriot kata-kata, tapi sering diperlakukan kayak hantu — ada tapi tak dianggap, dibaca tapi tak dibayar.
Royalti 15%, Honor Setengah Harga Telur
Lihatlah Martin Aleida. Usia 81 tahun, pengabdian lebih panjang dari masa jabatan DPR, tapi royalti bukunya lebih kecil dari parkir liar di pinggir mall. Dapat sejuta tiga bulan? Itu pun kalau penerbitnya enggak amnesia akut.
Dan di Madura, ada Muna Sary. Pagi menjahit, malam menulis. Kalau karyanya dibajak, paling-paling dia cuma bisa bilang “istighfar sambil ngopi”. Novel dicetak, royalti ditunda, laporan penjualan hilang seperti janji kampanye.
Mereka menulis untuk memotret kehidupan, tapi hidup mereka sendiri tak pernah sempat difoto — karena sibuk mengisi bensin, bayar listrik, dan beli kuota demi mengunggah puisi ke Instagram yang paling banter dikomentari, “Dalem banget, Kak.”
Pembajakan: Hantu Digital yang Tak Pernah Ditangkap
Anehnya, kalau maling ayam bisa dijotos rame-rame, pembajak buku malah punya grup Facebook dan link Google Drive. Kenapa? Karena UU Hak Cipta pakai sistem “delik aduan”, alias nunggu sastrawan melaporkan sendiri. Lah, penulis mana sempat lapor kalau tiap pagi harus ngajar daring, siangnya ngojek, malamnya baru bisa nulis dua bait puisi sambil ngelap air mata?
Padahal, menurut survei IKAPI, 75% buku dibajak. Itu artinya, kalau buku sastra Indonesia bisa ngomong, dia akan teriak: “Tolong, aku disebar ke mana-mana tanpa pamit!”
Pemerintah: Baru Mau Rencana, Sudah Tua Rasa
Kabar baiknya, pemerintah mau bikin “peta jalan” sastra. Kabar buruknya, ini baru rencana — sejak 2019. Peta jalan ini mungkin akan selesai tepat waktu… untuk sastrawan generasi cucu.
Sementara itu, sastrawan seperti Seno Gumira Ajidarma sudah berteriak sejak dulu: jangan jadikan seniman objek kasihan. Mereka bukan pengemis anggaran, mereka bagian dari strategi kebudayaan. Tapi entah kenapa, negara lebih sibuk bikin proyek “festival literasi” yang bujetnya jumbo, tapi isinya cuma lomba mewarnai dan pembacaan puisi oleh pejabat yang bacaannya masih terbata-bata.
Gareng Menyimpulkan:
“Sastrawan kita itu kaya di imajinasi, miskin di rekening. Dihormati saat mati, dicuekin saat masih nyari nasi. Buku mereka dibaca saat mau tidur, tapi tak pernah dibayar meski bikin orang terbangun.”
Lantas, sampai kapan sastra harus jadi ladang idealisme tapi bukan ladang penghidupan? Mungkin sampai kita sadar bahwa membayar buku bukan cuma beli kertas, tapi menghargai kehidupan. Dan menghormati sastrawan bukan dengan standing ovation, tapi dengan kontrak yang jelas, royalti yang masuk, dan sistem yang tak membajak mimpi.
—
GarengPetruk.com – Kalau Kata-Kata Bisa Nangis, Sastrawan Pasti Udah Kering Air Mata.
Editor: Petruk, yang dulu nulis puisi untuk mantan, sekarang nulis invoice yang tak pernah dibayar.
https://garengpetruk.com/sastrawan-hidup-dari-kata-mati-karena-sistem/
No comments:
Post a Comment