Saturday, May 31, 2025

Dari Viral "Gadis Chat GPT" Menjadi Mualaf: Kisah Lily J dan Reaksi Publik

Oleh FIRNAS, Pasuruan

Lily J, seorang musisi asal Australia yang kini dikenal luas sebagai "gadis Chat GPT" setelah video viralnya meledak, baru-baru ini mengumumkan dirinya telah memeluk Islam. Perjalanan spiritualnya menarik perhatian global, memicu perdebatan sengit, dan berbagai reaksi dari netizen serta tokoh agama.

Lily J menjadi sorotan publik setelah mengunggah video di mana ia mengajukan pertanyaan berani kepada kecerdasan buatan Chat GPT: "Apakah Alkitab mengatakan Yesus adalah Tuhan atau seorang nabi?" AI tersebut, dengan perspektif non-bias, menjawab bahwa Alkitab lebih mungkin menggambarkan Yesus sebagai seorang nabi, utusan Tuhan, dengan mengutip ayat-ayat relevan.

Video tersebut, bersama dengan konten-konten Lily J lainnya yang mengulas perbandingan antara Islam dan Kristen, sontak menjadi viral. Momen ini bukan hanya sekadar fenomena internet bagi Lily, melainkan bagian integral dari perjalanan pribadinya menuju Islam.

Pro dan Kontra di Media Sosial
Gaya promosi Islam Lily J yang cepat dan lugas mendapat sambutan beragam. Banyak yang mengapresiasi pendekatannya, namun tak sedikit pula yang melayangkan kritik pedas. Salah satu kritikus terkemuka, "Apostate Prophet", mengejeknya dan menuduhnya sebagai "penipu". Ia menuduh Lily J melakukan manipulasi dan akting buruk dalam videonya. Ironisnya, tuduhan "penipu" dari seorang kritikus berprofil tinggi justru memicu gelombang perdebatan dan memunculkan dugaan kemunafikan.

Menariknya, sebagian besar respons negatif datang dari kalangan yang mengklaim sebagai "umat Kristen yang damai", yang membanjiri kotak masuk pesan langsung (DM) Lily dengan ancaman dan ujaran kebencian. Namun, Lily J menghadapi semua itu dengan tenang. Ia bahkan mencuit sarkasme, "Hobi favorit saya adalah membaca ancaman harian yang saya dapatkan di DM saya dari orang-orang Kristen yang marah yang tidak bisa menerima kebenaran," yang menunjukkan ketidakgoyahannya dan keberaniannya dalam menyoroti kemunafikan tersebut.

Di sisi lain, tidak semua Muslim menyambutnya dengan tangan terbuka. Beberapa menyatakan kecurigaan, bahkan ada yang menyamakannya dengan "Andrew Tate bagian dua", menganggap perilakunya sebagai bagian dari "stunt" viral atau rebranding citra semata.

Kesaksian Iman dan Seruan untuk Toleransi
Terlepas dari segala kontroversi, Lily J terus berkarya dengan gayanya yang khas. Ia dilaporkan telah menjadi inspirasi bagi beberapa orang untuk memeluk Islam melalui konten-kontennya.

Melalui salah satu cuitannya, Lily J menegaskan keislamannya: "Saya salat lima kali sehari. Saya menyembah satu Tuhan. Saya berpuasa. Saya bersedekah. Saya membaca Al-Quran. Saya mencintai Nabi SAW." Cuitan ini menjadi penegas bahwa keislamannya adalah urusan pribadi antara dirinya dan Allah SWT.

Kisah Lily J menjadi pengingat bagi umat Muslim untuk memberikan ruang dan dukungan kepada para mualaf. Dalam menghadapi perbedaan pendapat dan reaksi publik, penceramah menyerukan agar seluruh umat memahami kebenaran Islam dan mengikutinya dengan tulus, serta mendoakan agar setiap anggota umat Nabi Muhammad SAW senantiasa dibimbing di jalan yang benar.(*)

Pasuruan, 31 Mei 2025

KERANGKA SEJARAH ORDE BARU DITUDING MANIPULATIF

*Kerangka Sejarah Orde Baru Dituding Manipulatif, Sejarawan Menolak*

Oleh FIRNAS, Pasuruan

Kerangka penulisan ulang sejarah Indonesia, khususnya jilid sembilan yang membahas periode Orde Baru (1998-1998), memicu kontroversi dan penolakan dari kalangan sejarawan. Di dalam draf penyusunan ulang Sejarah itu , diduga menghilangkan berbagai peristiwa penting yang mengarah pada reformasi.

Penghilangan Peristiwa Krusial

Dalam draf jilid sembilan, Lena (Hellena Souisa, Jurnalis ABC Australia) menemukan banyak kejanggalan, di antaranya:
Tidak adanya catatan mengenai tuntutan reformasi dan kerusuhan sosial yang melatarbelakangi jatuhnya Orde Baru.
Jilid ini disebut berakhir pada tahun 1999, padahal peristiwa penting seperti Kongres Komunis pertama tahun 1998 dan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 – yang menjadi cikal bakal Gerakan Non-Blok – tidak disebutkan.
Draf juga tidak memuat peristiwa penting seperti Asian Games 1962 di Jakarta dan Ganefo 1963, yang disebut diinisiasi Soekarno.

Manipulasi Sejarah dan Intervensi Kekuasaan

Para sejarawan dan aktivis sejarah menuduh konsep penulisan ulang ini sebagai manipulasi sejarah. Manipulasi ini diartikan sebagai upaya menulis sejarah dengan hanya mengambil hal-hal yang menguntungkan dan menghilangkan, menutupi, atau mengaburkan aspek-aspek negatif.
Kekhawatiran muncul bahwa revisi sejarah ini tidak didasarkan pada kebenaran dan kejujuran ilmiah, melainkan karena "pesanan" atau menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan.

Sejarah Orde Baru: Sebuah Tinjauan Awal

Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berlangsung selama 32 tahun (1966-1998). Periode ini ditandai dengan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang pesat, namun juga dikritik karena praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta pelanggaran hak asasi manusia. Reformasi 1998 mengakhiri era Orde Baru dan membuka babak baru demokrasi di Indonesia.  (*)

KONTROVERSI DAN DAMPAK PENULISAN SEJARAH INDONESIA VERSI KEMENTERIAN KEBUDAYAAN

*Kontroversi & Dampak Penulisan Ulang Sejarah Indonesia versi Kementerian Kebudayaan Fadli Zon*

Oleh FIRNAS, Pasuruan

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan berencana merombak penulisan ulang sejarah nasional dengan proyek ambisius senilai 9 miliar rupiah. Proyek ini bertujuan untuk menciptakan "sejarah versi Indonesia" atau Indonesia sentris, yang diklaim sebagai upaya menghilangkan bias kolonialisme. Salah satu perubahan paling kontroversial adalah penggantian istilah "prasejarah" menjadi "sejarah awal" (early history), dengan titik tolak 1,8 juta tahun lalu berdasarkan penemuan Pithecanthropus erectus (Homo erectus).

*Polemik dan Kekhawatiran Sejarawan*

Perubahan ini menuai polemik di kalangan sejarawan dan arkeolog. Salah satu arkeolog senior yang awalnya terlibat dalam tim penyusunan, Pak Truman Simanjuntak, bahkan mengundurkan diri karena tidak setuju dengan penghapusan istilah prasejarah. Menurutnya, prasejarah dan sejarah adalah dua disiplin ilmu yang berbeda dengan metodologi penelitian yang berbeda pula: prasejarah fokus pada fosil dan peninggalan budaya tanpa tulisan, sementara sejarah membutuhkan sumber tertulis. Kesepakatan internasional pun mendefinisikan sejarah dimulai setelah adanya tulisan.

Kekhawatiran utama yang muncul adalah potensi kebingungan di masyarakat akibat pencampuran konsep prasejarah dan sejarah. Ada pula kekhawatiran bahwa proyek ini akan menjadi alat untuk menyuburkan klaim-klaim bombastis tentang Indonesia sebagai pusat peradaban tertua di dunia, tanpa didukung bukti ilmiah yang kuat.

*Bahaya Inferioritas dan Delusi Sejarah*

Perubahan ini juga dikaitkan dengan perasaan inferioritas bangsa yang ingin membuktikan diri sebagai yang tertua. Menurut pengamat sejarah (sejarahwan) Asisi Suhariyanto di channel youtubenya (Jum’at, 20 Mei 2025), perasaan inferioritas ini dapat termanifestasi dalam bentuk penolakan (denial) terhadap kehebatan leluhur di masa lalu, atau delusi yang meninggi-ninggikan hal tanpa bukti.

Alih-alih memaksakan diri menjadi yang tertua, disarankan agar penulisan ulang sejarah lebih banyak mengangkat nilai-nilai klasik bangsa Indonesia yang sudah terbukti hebat, seperti toleransi, penegakan hukum, dan kemampuan mengatasi korupsi di masa lalu. Hal ini dinilai lebih efektif dalam membangun kebanggaan nasional yang berdasarkan data, bukan halu.

*Proyek Indonesia Sentris atau Data Sentris?*

Meskipun tujuan proyek ini adalah menghilangkan bias Belanda sentris, banyak sejarawan berpendapat bahwa sejarah Indonesia sudah Indonesia sentris sejak lama, berkat kerja keras para sejarawan dan arkeolog Indonesia dalam menerjemahkan dan mengkaji ulang sumber-sumber kuno. Seharusnya, penulisan sejarah tidak berlandaskan pada sentrisme negara tertentu, melainkan data sentris, di mana data dan bukti ilmiah menjadi landasan utama.

DPR RI sendiri telah mendesak Kementerian Kebudayaan untuk melakukan uji publik terhadap rencana penulisan ulang sejarah ini. Harapannya, proyek yang didanai oleh uang rakyat ini dapat berjalan dengan baik, menghasilkan sejarah yang benar-benar merdeka, berdasarkan data, dan tidak membingungkan masyarakat.  

Sumber : @ASISI Channel

KEUTAMAAN 10 HARI DIAWAL DZULHIJJAH

Sepuluh Hari Pertama Zulhijah: Memupuk Iman dan Melatih Diri Menuju Kesempurnaan
(Ceramah Ustadz Adi Hidayat)

Oleh FIRNAS.

Umat Islam kini memasuki hari-hari istimewa di awal bulan Zulhijah 1446 Hijriah, sebuah periode yang disebut oleh Rasulullah ﷺ sebagai waktu di mana amal saleh sangat dicintai oleh Allah SWT. Sebuah pengajian Ust Adi Hidayat terbaru menyoroti keutamaan sepuluh hari pertama bulan suci ini, serta relevansinya dalam perjalanan spiritual seorang Muslim.

---

Amal Saleh di Awal Zulhijah Mengungguli Jihad Fisabilillah

Ustadz Adi Hidayat menjelaskan hadis riwayat Abdullah bin Abbas yang menyatakan bahwa tidak ada hari-hari dalam setahun yang amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allah dibandingkan sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Bahkan, keutamaan beramal di hari-hari ini mengungguli jihad di jalan Allah, kecuali bagi mereka yang berjuang dengan jiwa dan harta hingga gugur syahid tanpa kembali.

Keistimewaan ini, menurut para ulama, adalah motivasi bagi setiap Muslim untuk meningkatkan ibadah dan perbuatan mulia. Baik melalui ibadah fisik seperti salat dan membaca Al-Quran, berinfak dengan harta, atau beramal saleh dengan ilmu dan pikiran, semuanya memiliki nilai yang berlipat ganda di periode ini.

---

Dzulhijah: Penyempurna Latihan Ramadan dan Transformasi Diri

Salah satu manfaat utama dari sepuluh hari Dzulhijah adalah sebagai penyempurna pelatihan spiritual selama Ramadan. Periode ini membantu melengkapi kekurangan dan melahirkan pribadi yang lebih paripurna kebaikannya.

Ustadz Adi Hidayat (UAH) menekankan bahwa ibadah di bulan ini, termasuk puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijah) dan kurban, memiliki tujuan transformatif. Puasa Arafah, misalnya, dapat menggugurkan dosa setahun yang telah berlalu, mirip dengan puncak haji di Arafah. Bagi mereka yang belum berkesempatan haji, puasa Arafah adalah cara untuk merefleksikan diri, mengenali kekurangan, dan membangun kesalehan (*birr*) dalam diri, yang kemudian akan melekat sebagai karakter *mabrur*.

Demikian pula dengan ibadah kurban. Melalui kurban, seorang Muslim didorong untuk membuang "sifat hewani" yang buruk dan memunculkan "sifat insani" yang mulia. Proses ini pada akhirnya melahirkan manusia yang lebih dekat kepada Allah dan lebih banyak berbuat kebaikan, yang merupakan intisari dari takwa.

---

*Takwa di Segala Lini Kehidupan*

UAH berharap bahwa transformasi ini akan melahirkan individu-individu yang terbaik dalam setiap peran mereka: pejabat yang jujur dan antikorupsi, ustaz dan kiai yang berilmu dan berakhlak, pengusaha yang adil, serta orang tua dan anak yang saleh. Harapannya, semangat Dzulhijah ini dapat menjadikan seluruh Muslim di Indonesia menjadi pribadi yang lebih baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Video 

https://youtu.be/MwIWf0ZW76k?si=lXjtD9ZkE55Mlgf9

Selamat menonton

MENDALAMI MAKNA ILMU DAN REALITAS KETUHANAN

Refleksi Spiritual: Mendalami Makna Ilmu dan Realitas Ketuhanan dalam Pengajian Al Hikam

Oleh FIRNAS.

Pengajian Al Hikam yang dipimpin oleh KH Muhammad Faiz Syukron Ma'mun  (Gus Faiz)  mengupas tuntas hikmah ke-35 dan ke-36 dari Kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha'illah. Fokus pembahasan kali ini adalah tentang pentingnya kerendahan hati dalam beragama, tingkatan keyakinan seseorang terhadap Allah, dan bagaimana ilmu yang bersifat teoritis seringkali goyah di hadapan realitas kehidupan.

---

Bahaya Rasa Sempurna dan Pentingnya Kesadaran Kekurangan

Gus Faiz mengawali dengan mengulas Hikmah ke-35 yang menekankan bahwa akar dari setiap maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah sifat ar-ridha'in nafsi, yaitu merasa suci, merasa baik, dan merasa telah menyelesaikan semua tuntutan agama. Sifat ini, menurut Ibnu Atha'illah, adalah bencana terbesar bagi manusia.

"Orang yang merasa sempurna di hadapan Allah, akan memunculkan kesombongan, kelalaian, dan syahwat," jelas Gus Faiz. 

Ia menekankan bahwa meskipun seseorang telah rajin salat, puasa, dan beribadah, harus selalu ada kesadaran bahwa itu semua "tidak berarti apapun kalau dibandingkan dengan karunia Allah." Kesadaran akan kekurangan diri inilah yang akan mendorong seseorang untuk terus menumbuhkembangkan ibadah dan kedekatan dengan Allah.

---

Tiga Tingkatan Keyakinan: Dari Ilmiah hingga Hakiki

Melanjutkan ke Hikmah ke-36, Gus Faiz memaparkan ketidaksempurnaan manusia dalam mencapai derajat keyakinan yang hakiki terhadap Allah. Ia membagi tingkatan keyakinan ke dalam tiga fase, mirip dengan konsep Islam, Iman, dan Ihsan  dalam hadis, atau Syariat, Hakikat, dan Tarekat dalam disiplin ilmu lain. Ibnu Atha'illah sendiri membaginya menjadi:

1.  *Syua'ul Basyirah* (Cahaya Mata Hati): Ini adalah *ilmul yaqin*, keyakinan yang dibangun berdasarkan ilmu atau pengetahuan teoritis. Gus Faiz mengilustrasikannya dengan pengetahuan geografi atau informasi tentang kecantikan seseorang dari cerita. Pengetahuan ini benar, namun belum bersentuhan langsung dengan pengalaman.

2.  *Ainul Basyirah* (Pandangan Mata Hati): Ini adalah *ainul yaqin*, keyakinan yang diperoleh melalui penglihatan atau pengalaman langsung. Contohnya adalah melihat langsung Gunung Salak dari Bukit Hambalang setelah sebelumnya hanya tahu dari buku, atau melihat langsung Ka'bah di Makkah.

3.  *Haqqul Basyirah* (Kebenaran Mata Hati): Ini adalah *haqqul yaqin*, keyakinan tertinggi yang lahir dari pengalaman dan penghayatan secara langsung. Gus Faiz mengibaratkan dengan masuk dan merasakan langsung Kota Bogor, atau bisa merangkul dan mencium Hajar Aswad di Ka'bah. Pada tingkatan ini, ilmu menyatu dengan rasa dan pengalaman.

---

*Mengapa Ilmu Saja Tidak Cukup: Tantangan dalam Kehidupan Nyata*

Gus Faiz menegaskan bahwa keyakinan pada tingkatan *ilmul yaqin* saja seringkali tidak cukup untuk menghadapi gejolak kehidupan. Ia mencontohkan bagaimana seseorang yang sangat berilmu sekalipun bisa goyah imannya saat menghadapi tekanan, seperti godaan duniawi atau ujian rumah tangga.

"Banyak kok orang pintar dibentak bininya itu goblok mendadak," seloroh Gus Faiz, menekankan bahwa meskipun secara teori tahu keutamaan sedekah atau *birrul walidain*, praktik di lapangan bisa berbeda karena desakan batin atau godaan.

Gus Faiz juga menyinggung tentang *konsep "otomatis" dalam kehidupan dan alam semesta*, seperti pintu otomatis atau hujan. Ia menjelaskan bahwa di balik "otomatisasi" tersebut selalu ada perancang atau sistem yang bekerja. "Sejatinya otomatis itu enggak ada. Yang ada diotomatiskan," tegasnya, merujuk pada *sunnatullah* (hukum alam) yang bekerja di alam semesta. Ini adalah dalil aqli (logika) tentang keberadaan Allah.

Gus Faiz kemudian mengingatkan bahwa tingkatan *syua'ul basyirah* atau *nurul ilmi* (cahaya ilmu) hanya mengantarkan pada perilaku baik yang bersifat standar. Ilmu yang dipelajari seringkali berguncang saat menghadapi kondisi nyata yang menyakitkan mata atau hati.

---

*Fokus pada Kualitas Diri dan Hikmah Perjuangan Palestina*

Di akhir pengajian, Gus Faiz menghubungkan pembahasan ini dengan realitas umat Islam saat ini, khususnya terkait perjuangan Palestina. Ia menyebutkan bahwa meskipun umat Islam mungkin sedang "kalah" dalam pertarungan sistem global yang didominasi Barat, keyakinan sejati pada takdir dan janji Allah adalah kunci ketegaran.

Contoh masalah Palestina. "Masalah Palestina ini bukan masalah politik semata. Bagi kita sebagai seorang Muslim, ini masalah akidah, tertulis dalam Al-Quran. Solusinya pun ada dalam Al-Quran," ujarnya.

Ia mengajak umat Islam untuk tidak panik dan tidak terlalu berharap pada solusi dari PBB atau negara-negara lain. Sebaliknya, fokus harus diarahkan pada mempersiapkan diri dan meningkatkan kualitas iman, ketakwaan, serta skill. "Karena Allah Subhanahu wa taala itu hanya akan membebaskan Baitul Maqdis di pundak hamba-hamba-Nya yang memang sudah siap," pungkasnya.

Gus Faiz juga berpesan agar tidak menghabiskan energi untuk mencaci maki atau menyerang dalam isu-isu sensitif, melainkan menjadikannya sebagai ajang edukasi dan persatuan demi terwujudnya kemerdekaan Palestina.

Sumber:
https://youtu.be/dP-cDnMqmFA?si=aQIXatBT-bA8haXk

Selamat menonton

---

KEAJAIBAN BAHASA AL QUR'AN

Keajaiban Bahasa Al-Quran: Makna Tersembunyi di Balik Bentuk Jamak yang Berbeda 

Presisi Linguistik Al-Quran Mengungkap Kedalaman Makna

Kajian Nouman Ali Khan. 
By FIRNAS. 

Al-Quran, kitab suci umat Islam, dikenal bukan hanya karena pesan-pesan ilahinya, tetapi juga karena keindahan dan ketepatan bahasanya yang luar biasa. Sebuah studi mendalam mengungkap bagaimana Al-Quran menggunakan nuansa linguistik terkecil, seperti bentuk jamak yang berbeda, untuk melukiskan gambaran yang kaya dan menyampaikan pesan yang mendalam.

Dalam sebuah pembahasan, dijelaskan bagaimana dua ayat yang diturunkan pada waktu yang berbeda—satu di Madinah (Madaniyah) dan satu di Mekah (Makkiyah) bertahun-tahun sebelumnya—menggunakan frasa yang sama, "tujuh bulir gandum," namun dengan bentuk jamak yang berbeda dalam bahasa Arab. Perbedaan ini, yang mungkin terlewat dalam terjemahan bahasa Inggris, ternyata memiliki makna yang sangat signifikan.

Kisah Tujuh Bulir: Kekuatan dan Keterbatasan dalam Kata

Ayat Madaniyah yang membahas tentang anjuran bersedekah, menggambarkan perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, dan setiap bulir memiliki seratus butir. Ini adalah gambaran tentang kelimpahan, pertumbuhan, dan perkembangbiakan yang tak terhingga, melebihi imajinasi manusia. Dalam menggambarkan keberkahan sedekah ini, Al-Quran menggunakan bentuk jamak yang kuat atau "super jamak" (jama' al-katsrah). Pilihan kata ini secara linguistik memperkuat pesan tentang balasan Allah yang berlipat ganda bagi orang-orang yang berderma.

Sebaliknya, dalam Surah Yusuf, yang menceritakan mimpi raja tentang tujuh bulir gandum hijau dan yang kering, Al-Quran menggunakan bentuk jamak yang lebih lemah (jama' al-qillah). Mimpi ini, yang kemudian ditafsirkan sebagai tujuh tahun kemakmuran yang cukup untuk bertahan hidup, diikuti oleh tujuh tahun kelaparan yang mengharuskan penjatahan makanan. Konteks ini menggambarkan situasi yang suram, keterbatasan, dan pertumbuhan yang lemah. Penggunaan bentuk jamak yang lebih lemah di sini secara halus menggambarkan kondisi yang tidak berkelimpahan, memerlukan kehati-hatian, dan jauh dari kemakmuran yang tak terbatas.

Kehalusan Bahasa Al-Quran yang Terabaikan dalam Terjemahan

Perbedaan subtil (terjemahan) dalam penggunaan bentuk jamak ini menunjukkan ketepatan dan kehalusan bahasa Al-Quran yang luar biasa. Dalam bahasa Arab, konsep jamak tidak hanya sebatas "lebih dari satu," tetapi juga dapat menunjukkan tingkat kekuatan atau kelemahan, kelimpahan atau keterbatasan.

Sayangnya, keindahan dan kedalaman makna ini seringkali terabaikan dalam terjemahan ke bahasa lain, di mana kedua bentuk jamak tersebut sering kali diterjemahkan sama, seperti "tujuh bulir" atau "seven ears." Ini menekankan pentingnya mendalami Al-Quran dalam bahasa aslinya untuk memahami kekayaan dan presisi pesan-pesan Ilahi.

"Kehalusan serta ketepatan bahasa Al-Quran yang luar biasa ini akan terabaikan [jika hanya membaca terjemahan]," pungkas pembicara (Nouman Ali Khan), menggarisbawahi betapa setiap pilihan kata dalam Al-Quran memiliki tujuan dan makna yang mendalam. Penemuan semacam ini terus membuat para ahli dan pembaca Al-Quran "terkejut" akan keajaiban linguistiknya.

Sumber:
https://youtu.be/eNFu1tz4VrA?si=ghPabCu04tuuZ4AQ

Selamat menonton.

Ngaku-ngaku Solusi Dua Negara, Padahal Jualan Satu Kata: Gimmick

Pasuruan, 30 Mei 2025 FIRNAS | garengpetruk.com Sang pengamat dunia dari pojok warung kopi, sambil ngopi pahit tanpa gula, karena dunia ini udah cukup manis dengan janji-janji palsu.

Aduh Mak, Palestina-Mu Kini Jadi Status WhatsApp Diplomatik!


Analisis "Solusi Dua Negara"

Analisis "Solusi Dua Negara": 
Memahami Narasi Indonesia dan Realitas Palestina

Oleh FIRNAS, Pasuruan.

Pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang mengindikasikan Indonesia akan mengakui Israel sebagai negara, dengan syarat Israel harus mengakui kemerdekaan Palestina terlebih dahulu, kembali memanaskan diskursus mengenai "Solusi Dua Negara" (Two-State Solution). Muhammad Husein Gaza, seorang aktivis dan pemerhati isu Palestina, memberikan pandangannya yang mendalam, membongkar mispersepsi umum dan menjelaskan realitas kompleks di lapangan. (Jum'at, 30 Mei 2025 di channel youtube-nya: 

*Two-State Solution: Gagasan PBB yang Multitafsir*

Husein menjelaskan bahwa gagasan *Two-State Solution* bukanlah hal baru. Ide ini dicetuskan oleh PBB pasca perang Arab-Israel tahun 1967. Intinya adalah pembagian tanah Palestina menjadi dua entitas: satu untuk bangsa Palestina dan satu untuk Israel.

"Memang secara ideal dan secara moral itu enggak bisa diterima. Dan itu yang selama ini kita yakini. Sejak bahkan ketika saya mau ke Gaza pun saya benci sekali yang namanya *Two-State Solution* itu, enggak bisa diterima, *nonsense* gitu loh," ujar Husein. Ia menyamakan hal ini dengan seseorang yang datang ke rumah kita, mengunci kita di satu ruangan, dan menguasai ruangan lainnya—sebuah analogi yang sulit diterima akal sehat.

Namun, pengalaman Husein berinteraksi dengan warga Gaza, politisi, dan ulama setempat mengubah pandangannya. "Ternyata analogi atau kita membandingkan penjajahan di Palestina dengan penjajahan di Indonesia itu pun sudah sangat keliru," tegasnya. Menurut Husein, ini adalah dua jenis penjajahan yang berbeda, dan ia bahkan mengklaim bahwa seluruh warga Palestina, termasuk gerakan perlawanan, setuju dengan *Two-State Solution* ini.

Kesepakatan global ini kemudian melahirkan **Resolusi PBB 242**, yang intinya menuntut Israel menarik semua pasukannya dari wilayah Palestina yang disepakati tahun 1967 (Gaza, Tepi Barat), mengembalikan Golan ke Suriah, dan Sinai ke Mesir. Resolusi ini juga mengharuskan Israel menghentikan kegiatan militer dan pembangunan permukiman ilegal, serta mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

---

**Penjajahan Modern: Proyek Kolonial Salibis Barat Strategis**

Husein menegaskan, perbandingan kondisi di Palestina dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 sangatlah tidak tepat. Era kolonialisme tradisional (abad ke-14 hingga akhir Perang Dunia II), yang dikenal dengan semboyan *Gold, Glory, dan Gospel*, sangat berbeda dengan penjajahan yang terjadi di Palestina saat ini.

"Konsep penjajahan Israel itu seperti yang disebutkan oleh Prof. Dr. Abdul Fattah Al-Waisi, bahwa Israel ini bukan sebuah negara, tapi Israel ini adalah *masyru' istimari salibi gharbi strategis* (proyek kolonial salibis barat strategis)," jelas Husein.

Ia menggambarkan Israel sebagai "puncak gunung es" yang terlihat di permukaan, sementara di bawahnya terdapat gunung es yang jauh lebih besar dan dalam, yaitu **peradaban Barat, negara-negara seperti Amerika, Inggris, Prancis, dan Jerman**. Barat, menurut Husein, mengubah strategi penjajahannya setelah menyadari bahwa cara kuno akan selalu terbentur oleh perlawanan sengit umat Islam.

"Mereka berkumpul tahun 1907 lalu mereka mendatangkan para pemikir-pemikir terbaik mereka, ahli strategi mereka, politisi terbaik mereka, perbankan mereka. Mereka ngumpul, mereka bahas bagaimana cara kita melanjutkan hegemoni dengan cara efisien," katanya. Dari pertemuan itulah lahir proyek bersama yang disebut Israel. Oleh karena itu, harapan akan solusi yang sama seperti kemerdekaan Indonesia – mengusir penjajah sepenuhnya – tidak realistis dalam konteks Palestina yang menghadapi kekuatan global.

---

**Realitas Gaza: Sikap Realistis Gerakan Perlawanan**

Husein mengakui bahwa setiap warga Palestina pasti menginginkan kemerdekaan seutuhnya. Namun, ia juga mengungkapkan perubahan pola pikir yang ia alami setelah tinggal dan belajar di Gaza.

"Mereka juga paham bahwa enggak bisa mereka mengusir orang-orang Yahudi itu keluar. Mau ke mana? Usir ke mana? Kalau Belanda diusir keluar ada Belanda, ada rumahnya, ada negaranya, ada tanah airnya," jelas Husein. Sementara itu, saat ini ada sekitar 10 juta orang Yahudi di Palestina, dan mereka tidak memiliki negara lain untuk dituju.

Husein bahkan mengklaim bahwa **gerakan Hamas, yang dikenal dengan ideologi perlawanan bersenjata, juga setuju dengan *Two-State Solution***. Ia mengutip wawancara terbuka dengan para petinggi Hamas dan literatur dari akademisi Gaza, termasuk pernyataan Syekh Ahmad Yasin. Alasannya adalah realisme. Mereka menyadari tidak bisa terlalu berapi-api mengangkat idealisme dalam kondisi saat ini.

Hal senada juga disampaikan oleh para petinggi Gerakan Fatah. Husein bercerita pengalamannya bertemu dengan Perdana Menteri Palestina saat itu, Dr. Rami Hamdallah, pada tahun 2014. Ketika ditanya apakah *Two-State Solution* adalah tujuan sementara atau tujuan akhir, Hamdallah menegaskan bahwa itu hanyalah **tujuan sementara**. "Kami pun, maksudnya Gerakan Fatah pun, inginnya Palestina itu yang merdeka seutuhnya. Tapi hari ini kami hanya dapat dukungan dari negara-negara dunia untuk merdeka separuh," kata Hamdallah.

---

**Mengawal Narasi Politik Indonesia: Sebuah Taktik Diplomatik?**

Husein menginterpretasikan pernyataan Prabowo sebagai sebuah taktik diplomasi. "Ketika Prabowo mengatakan 'Kami akan menghormati kedaulatan Israel kalau mereka memberikan kemerdekaan untuk Palestina.' Maksudnya apa? Ini mengacu pada memang Indonesia sekali lagi sejak dulu sejak Presiden pertama sampai saat ini mengadopsi *Two-State Solution* sebagai solusi modern," paparnya.

Para elit politik Indonesia memahami bahwa Israel tidak akan pernah setuju dengan *Two-State Solution* karena konsekuensinya sangat berat bagi Israel. Konsekuensi tersebut meliputi:
1.  **Penghentian blokade dan embargo** terhadap Gaza dan Tepi Barat.
2.  **Palestina harus berdiri mandiri** dengan semua elemen kenegaraannya (kementerian, polisi, tentara).
3.  **Israel harus memberikan akses Palestina** untuk membangun pelabuhan dan bandara, serta memiliki kendali penuh atas perbatasan darat, laut, dan udara.
4.  **Penarikan semua tentara militer Israel** dari tanah-tanah Palestina yang mereka jajah, termasuk ribuan permukiman ilegal yang harus dihancurkan, dan warga Israel yang tinggal di sana harus kembali ke wilayah Israel yang disepakati.

"Ide *Two-State Solution* itu enggak pernah menjadi solusi bagi Israel. Mereka itu penginnya *One-State Solution*," kata Husein. Dengan demikian, pernyataan Prabowo seolah-olah mengatakan, "Aku tahu kamu tidak akan mau dan tidak akan siap melakukan itu semua, maka kami pun tidak akan siap untuk mengakui kamu sebagai sebuah negara."

---

**Posisi Umat Islam dan Peran Indonesia**

Husein mengakui bahwa saat ini umat Islam sedang berada dalam posisi "kalah" dan dipaksa mengadopsi sistem Barat, seperti demokrasi dan PBB. Namun, ia menekankan bahwa Indonesia telah melakukan hal yang luar biasa dengan bertahan selama lebih dari 70 tahun tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel tanpa komitmen balasan.

"Indonesia bertahan 7 dekade, 70 tahun lebih, bertahan tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Itu sesuatu yang keren banget sebetulnya," puji Husein. Ia menyebut banyak negara yang telah "tumbang" dan mengakui Israel tanpa timbal balik, yang ia sebut sebagai "normalisasi pengkhianatan."

Oleh karena itu, tugas umat Muslim di Indonesia adalah mengawal narasi politik ini. "Oke Pak, kalau memang ini yang ingin kita gunakan agar kita bisa didengar suara kita... Ayo kita bawa narasi ini agar paling tidak ada perundingan di situ, agar kita masuk ke dalam celah," ajak Husein. Pengawalan ini termasuk memastikan Israel menjalankan konsekuensi penuh dari *Two-State Solution* sesuai Resolusi PBB 242, seperti penarikan pasukan dan kembalinya pengungsi Palestina.

---

**Perjuangan Palestina: Bukan Sekadar Politik, Melainkan Akidah**

Terakhir, Husein mengingatkan bahwa bagi umat Islam, masalah Palestina bukanlah semata masalah politik global. "Sepertinya keberadaan Israel di Palestina itu hanyalah menjadi satu tambahan kebenaran ayat-ayat Al-Quran. Bukti bahwa Maha Benar Allah dengan segala firmannya," tegas Husein.

Surah Al-Isra ayat 7, menurutnya, telah menjelaskan langkah demi langkah kehancuran Bani Israil. Maka, solusi utama tidak hanya datang dari PBB, Amerika, atau negara-negara dunia. "Kita punya keimanan bahwa ujung dari perjuangan ini adalah kehormatan dan kemerdekaan. Ujung dari darah-darah yang bersimbah di Gaza itu adalah pembebasan Baitul Maqdis," serunya.

Husein mengajak umat Islam untuk mempersiapkan diri dengan meningkatkan kualitas iman, ketakwaan, dan keterampilan, karena Allah hanya akan membebaskan Baitul Maqdis di pundak hamba-hamba-Nya yang siap. Ia menyerukan untuk memperbaiki salat, Al-Quran, akhlak, dan iman, serta menanamkan narasi Baitul Maqdis di benak setiap individu.

"Jangan kita habiskan tren ini untuk mencaci maki, kemudian menyerang. Enggak usah. Buang-buang energi itu, enggak efisien, enggak efektif, itu kontraproduktif," pesannya. Husein mengajak memanfaatkan momentum ini sebagai ajang edukasi, bahu-membahu mendukung pemerintah dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina yang tidak bisa ditawar.

---

Friday, May 30, 2025

Sastrawan: Hidup dari Kata, Mati karena Sistem

Oleh: Firnas – garengpetruk.com, Pasuruan

Di negeri +62, nasib sastrawan itu seperti tokoh dalam cerpen absurd: hidup di antara koma dan tanda tanya, tapi selalu dibacakan saat upacara bendera atau seminar sastra yang cuma ada kopi, mic ngadat, dan honor yang nyusul.

Sastrawan Indonesia, kawan, adalah kaum penganyam kata yang harus berjuang di dua medan perang: melawan lupa di kepala pembaca, dan melawan lapar di dapur sendiri. Mereka ini ibarat patriot kata-kata, tapi sering diperlakukan kayak hantu — ada tapi tak dianggap, dibaca tapi tak dibayar.

Royalti 15%, Honor Setengah Harga Telur

Lihatlah Martin Aleida. Usia 81 tahun, pengabdian lebih panjang dari masa jabatan DPR, tapi royalti bukunya lebih kecil dari parkir liar di pinggir mall. Dapat sejuta tiga bulan? Itu pun kalau penerbitnya enggak amnesia akut.

Dan di Madura, ada Muna Sary. Pagi menjahit, malam menulis. Kalau karyanya dibajak, paling-paling dia cuma bisa bilang “istighfar sambil ngopi”. Novel dicetak, royalti ditunda, laporan penjualan hilang seperti janji kampanye.

Mereka menulis untuk memotret kehidupan, tapi hidup mereka sendiri tak pernah sempat difoto — karena sibuk mengisi bensin, bayar listrik, dan beli kuota demi mengunggah puisi ke Instagram yang paling banter dikomentari, “Dalem banget, Kak.”

Pembajakan: Hantu Digital yang Tak Pernah Ditangkap

Anehnya, kalau maling ayam bisa dijotos rame-rame, pembajak buku malah punya grup Facebook dan link Google Drive. Kenapa? Karena UU Hak Cipta pakai sistem “delik aduan”, alias nunggu sastrawan melaporkan sendiri. Lah, penulis mana sempat lapor kalau tiap pagi harus ngajar daring, siangnya ngojek, malamnya baru bisa nulis dua bait puisi sambil ngelap air mata?

Padahal, menurut survei IKAPI, 75% buku dibajak. Itu artinya, kalau buku sastra Indonesia bisa ngomong, dia akan teriak: “Tolong, aku disebar ke mana-mana tanpa pamit!”

Pemerintah: Baru Mau Rencana, Sudah Tua Rasa

Kabar baiknya, pemerintah mau bikin “peta jalan” sastra. Kabar buruknya, ini baru rencana — sejak 2019. Peta jalan ini mungkin akan selesai tepat waktu… untuk sastrawan generasi cucu.

Sementara itu, sastrawan seperti Seno Gumira Ajidarma sudah berteriak sejak dulu: jangan jadikan seniman objek kasihan. Mereka bukan pengemis anggaran, mereka bagian dari strategi kebudayaan. Tapi entah kenapa, negara lebih sibuk bikin proyek “festival literasi” yang bujetnya jumbo, tapi isinya cuma lomba mewarnai dan pembacaan puisi oleh pejabat yang bacaannya masih terbata-bata.

Gareng Menyimpulkan:

💬 “Sastrawan kita itu kaya di imajinasi, miskin di rekening. Dihormati saat mati, dicuekin saat masih nyari nasi. Buku mereka dibaca saat mau tidur, tapi tak pernah dibayar meski bikin orang terbangun.”

Lantas, sampai kapan sastra harus jadi ladang idealisme tapi bukan ladang penghidupan? Mungkin sampai kita sadar bahwa membayar buku bukan cuma beli kertas, tapi menghargai kehidupan. Dan menghormati sastrawan bukan dengan standing ovation, tapi dengan kontrak yang jelas, royalti yang masuk, dan sistem yang tak membajak mimpi.

GarengPetruk.com – Kalau Kata-Kata Bisa Nangis, Sastrawan Pasti Udah Kering Air Mata.

Editor: Petruk, yang dulu nulis puisi untuk mantan, sekarang nulis invoice yang tak pernah dibayar.

https://garengpetruk.com/sastrawan-hidup-dari-kata-mati-karena-sistem/

SASTRAWAN

Pergumulan Royalti dan Pembajakan: Potret Suram Kesejahteraan Sastrawan Indonesia

JAKARTA – Di tengah gempuran zaman dan lautan kata-kata, para sastrawan Indonesia masih setia merangkai kisah, melahirkan karya-karya yang mengasah rasa dan memotret kehidupan. Namun, kekayaan kata yang mereka miliki tak lantas membuat mereka sejahtera. Isu pembajakan hingga minimnya royalti terus menghantui, menantang kemandirian profesi sastrawan di Tanah Air.

Martin Aleida: Dedikasi Setengah Abad di Balik Luka Sejarah

Di usianya yang ke-81 tahun, Martin Aleida masih terus berkarya. Sastrawan kelahiran Tanjung Balai Asahan ini telah lebih dari setengah abad mengabdikan diri pada dunia sastra, menghasilkan 14 buku dan puluhan cerpen. Kisah hidupnya, sebagai korban dan saksi tragedi pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966, menjadi sumber utama inspirasinya.
"Buat saya, [sastra] adalah apa yang kita timba dari hidup kita, dari lingkungan kita untuk disampaikan kepada orang lain, mungkin sebagai satu kekayaan atau apapun," ungkap Martin. Banyak cerpennya berlatar belakang kejadian tragis tahun 1965-1966 yang ia alami langsung, bahkan sempat mendekam di sel tahanan.
Meski namanya kondang dan karyanya bertabur penghargaan, Martin tidak hidup dalam kemewahan. Di sudut selatan Jakarta, ia tinggal bersama sang istri yang mengidap demensia. Royalti dari penjualan buku, yang rata-rata hanya 15% dari harga jual, sangat minim. Untuk cetakan kedua bukunya "Tanah Air yang Hilang", ia hanya menerima tak lebih dari Rp1 juta per tiga bulan. Sedangkan untuk cerpen yang dimuat di media massa, ia mendapat honor sekitar Rp500 ribu hingga Rp1 juta.
"Saya kira sulit ya untuk hidup sebagai... di atas kata-kata yang dalam bentuk novel atau puisi," ujar Martin. Namun, ia tak mengejar materi. Sastra memberinya kepuasan batin dan kekayaan dalam bentuk lain. "Dunia sastra yang saya kenal itu juga membawa saya kepada dunia yang lebih luas. Saya kira saya diperkaya oleh itu, oleh pengetahuan mengenai kesastaran dan ada kesempatan untuk mengungkapkan diri saya, apa yang saya alami dengan lingkungan saya melalui kata-kata," tuturnya, menjelaskan mengapa gairah menulisnya tak pernah padam.

Muna Sary: Menjahit untuk Hidup, Menulis untuk Jiwa

Di Pamekasan, Madura, Muna Sary, seorang penjahit berusia 40 tahun, juga merasakan hal yang sama. Ia memulai karir sastranya sebagai penulis cerita bergenre Pop Reli di tahun 2000-an. Baginya, sastra adalah potret kehidupan, cara menuangkannya secara baik, baik melalui tulisan maupun visual.
Muna memotret kehidupan sosial masyarakat Madura lewat karyanya. "Orang kadang menilai Madura itu hanya dari versinya, harapan sapinya. Padahal banyak yang mereka tidak ketahui. Jadi saya itu bagaimana kalau saya menulis Madura itu seperti ini loh, enggak hanya warna ini, enggak hanya hitam putih, tapi ada warna ini, ini, ini," jelasnya.
Empat novel dan lebih dari 100 cerpen telah ia hasilkan di tengah aktivitas menjahitnya. Menulis adalah penyambung jiwa, namun menjahit adalah penyambung hidup. Dari royalti dua bukunya yang masih beredar, Muna menerima kurang dari Rp3 juta setiap enam bulan. Honor cerpen yang terbit di media massa pun tak menentu, berkisar Rp500 ribu hingga Rp1 juta.
"Bagaimana roda ekonomi bisa berjalan. Makanya dari situ kalau saya pribadi fokus di menulis gitu mencari penghasilan dari menulis, saya enggak berani," kata Muna. Penghasilan dari menjahit lebih bisa diandalkan, mencapai Rp250 ribu per hari dengan menyelesaikan dua hingga empat baju. Baginya, menulis dan menjahit dapat berjalan seiringan.

Ekosistem Sastra yang Rapuh: Minim Transparansi dan Ancaman Pembajakan

Hubungan antara sastrawan dan penerbit menjadi sorotan utama dalam ekosistem sastra. Transparansi seringkali minim, terutama dalam pencairan royalti. Muna Sary mengaku pernah mengalami penerbit yang menunggak royalti hingga 1,5 tahun dan tak pernah dikirimi laporan penjualan.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Aris Hilman, mengakui bahwa ekosistem perbukuan sedang tidak baik-baik saja. Serapan buku sastra di pasaran minim, yang berdampak langsung pada penghasilan sastrawan. Kurangnya dukungan pemerintah terhadap industri penerbitan buku menjadi salah satu penyebabnya.
"Royalti yang di kita juga 10%, ada 15% juga ada, itu masih terasa secara nominalnya menjadi sangat kecil karena tadi pengaliknya menjadi sangat sedikit," jelas Aris, merujuk pada menurunnya tren cetakan pertama satu judul buku di Indonesia. Ia juga menyoroti bahwa keuntungan penerbit sendiri tidak lebih dari 10% dari omzet.
Di sisi lain, pembajakan semakin masif di era digital. Survei IKAPI tahun 2021 menemukan 75% penerbit mengalami pembajakan atas buku terbitan mereka, dengan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah. Ironisnya, karena Undang-Undang Hak Cipta adalah delik aduan, pembajak jarang yang mendapatkan sanksi pidana.

Harapan dari Pemerintah dan Peran Strategis Sastrawan

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengaku baru berencana membuat peta jalan untuk perlindungan sastrawan dan karyanya. Langkah awal adalah penataan data karya sastra. Sepanjang 2019 hingga 2023, 2.500-an karya sastra cetak telah teregistrasi, mayoritas berupa cerpen dan puisi.
"Kita ingin membuat sebuah peta jalan dilandasi dengan data yang lengkap kaitan dengan jumlah sastrawan [dan] pegiat sastra. Kami harapkan data ini menjadi instrumen penting bagi kami untuk bisa merencanakan apa yang akan dilakukan ke depan," kata perwakilan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Selain pendataan, IKAPI juga menekankan pentingnya upaya pemerintah untuk menjaga iklim literasi dan budaya membaca tetap hidup dan sehat, sebagai kunci menyehatkan ekosistem sastra.
Sejak tahun 1989, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah memberikan penghargaan sastra kepada sastrawan berprestasi, serta mengalokasikan anggaran untuk mendukung kegiatan komunitas sastra. Namun, sastrawan Seno Gumira Ajidarma berpendapat bahwa pemerintah harus memandang sastrawan sebagai bagian dari strategi pengembangan kebudayaan bangsa, bukan sekadar objek bantuan.
"Jangan menganggap seniman itu orang perlu bantuan, seniman kasihan, seniman miskin, dikasih harus terima kasih sajalah, lumayan ada yang ngasih. Enggak bisa begitu, mesti bagian dari strategi kebudayaan itu ya. Jadi ekonomi yang mengabdi kebudayaan," tegas Seno.
Karya sastra adalah khazanah budaya dan kekuatan bangsa. Keberpihakan pemerintah sangat diperlukan demi ekosistem sastra yang lebih sehat, sehingga para perangkai kata dapat terus berkarya tanpa harus bergumul dengan ketidakpastian kesejahteraan.