Jakarta – Soegimitro, seorang Pakar Digital Branding, menyoroti polemik aturan royalti musik yang diberlakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Menurutnya, kebijakan ini sangat memberatkan para pengusaha kafe dan restoran, yang bisa berujung pada ancaman kebangkrutan dan dampak domino berupa hilangnya lapangan pekerjaan bagi para musisi.
Sebagai seorang pakar di bidang digital, Soegimitro di akun TikToknya mengungkapkan bahwa banyak pengusaha restoran berencana menemuinya untuk mencari solusi inovatif, salah satunya dengan mempelajari cara membuat musik menggunakan AI seperti Suno. Mereka berharap dengan musik buatan AI, mereka bisa terlepas dari kewajiban royalti dan hak cipta, karena karya yang dihasilkan akan menjadi milik pribadi.
"Saya dapat informasi, ada sekitar 60 bos restoran yang ingin bertemu untuk diajari cara membuat musik pakai AI Suno agar mereka bisa lepas dari segala tanggung jawab royalti," ujar Soegimitro.
> Ia juga membeberkan detail biaya royalti yang menurutnya tidak realistis bagi kelangsungan bisnis. Berdasarkan keluhan salah satu pengusaha kafe, biaya yang harus ditanggung antara lain:
* Hak Cipta: Rp60.000 per kursi per tahun.
* Royalti Pencipta (untuk tempat dengan live band): Rp10.000 per meter persegi per tahun.
* Klub Malam: Rp250.000 per meter persegi per tahun.
Ia memberikan contoh, sebuah kafe seluas 2.000 meter persegi dengan 450 kursi harus membayar royalti tahunan hingga Rp85 juta. Soegimitro menegaskan bahwa beban finansial ini sangat berat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit, dan berpotensi menyebabkan banyak kafe dan bar gulung tikar.
Dampak dari kebijakan ini tidak hanya dirasakan oleh pengusaha, tetapi juga oleh para musisi dan pekerja lainnya. "Banyak musisi dan pemain band menderita karena mereka kehilangan tempat kerja. Kafe-kafe tidak lagi berani menampilkan musik "live" atau memutar lagu," tambahnya.
Soegimitro juga melontarkan kritik tajam terhadap sistem pembagian royalti LMKN yang dinilainya tidak transparan dan tidak berbasis data. Ia mempertanyakan bagaimana LMKN bisa mendistribusikan royalti secara adil kepada jutaan pencipta lagu dan penyanyi.
"Harusnya setiap tempat yang sudah membayar royalti diberikan alat pendeteksi lagu, agar pembagiannya bisa dilakukan secara adil sesuai lagu yang dinyanyikan atau diputar," sarannya.
Sebagai Pakar Digital Branding yang memahami tren dan pergeseran model bisnis, Soegimitro melihat potensi pergeseran dalam industri hiburan. Ia memprediksi bahwa jika musik tidak lagi menjadi pilihan utama, maka "kafe komika" bisa menjadi tren baru dan membuka peluang bagi para komedian.
Namun, ia berharap pemerintah segera meninjau ulang sistem ini. "Pemerintah harus membenahi sistem ini dan melakukan perhitungan ulang terhadap tarif royalti agar tidak mematikan usaha dan industri musik itu sendiri," pungkasnya. (*)
Penulis : Fim
Sabtu, 9/8/2025
No comments:
Post a Comment