Kebebasan, bagi sebagian orang, adalah akhir dari penantian. Namun bagi Thomas Trikasih Lembong, hari pembebasannya pada Jumat, 1 Agustus 2025 bukanlah garis finish—melainkan titik tolak baru untuk sebuah tanggung jawab moral.
Dalam pernyataannya yang singkat namun penuh muatan makna, Tom Lembong menolak menjadikan kemerdekaannya sebagai penutup babak. Ia ingin kebebasan itu menjadi pembuka kisah baru, sebuah undangan terbuka bagi semua pihak untuk merenung, bertanya, dan bergerak bersama demi sistem hukum yang lebih jujur, adil, dan berpihak pada kebenaran—bukan sekadar pada kuasa atau kepentingan sesaat.
“Saya tidak ingin kemerdekaan saya hari ini menjadi akhir dari cerita,” ucapnya, tegas namun tenang. Ucapan ini bukan sekadar penghiburan bagi diri sendiri, melainkan pukulan halus kepada sistem yang masih pincang, yang mungkin telah melukai banyak orang tak bersuara.
Namun yang paling menyentuh dari pernyataan Tom Lembong bukan hanya keberaniannya menyuarakan harapan akan perubahan, tapi juga teguhnya cinta dan keyakinannya pada Indonesia. Setelah mengalami proses hukum yang menguras fisik dan psikologis, ia tetap menyatakan dengan lantang:
> “Saya masih sangat amat percaya pada negeri ini, pada bangsa Indonesia yang dari dulu saya selalu percaya adalah bangsa terbaik di dunia.”
Ini bukan optimisme kosong. Ini adalah bentuk kepercayaan yang telah melalui ujian, yang tidak lahir dari kemudahan, tetapi dari luka dan perjuangan. Ia tidak kembali sebagai orang yang retak atau patah—ia kembali sebagai warga negara yang utuh, bahkan lebih matang dalam kecintaannya kepada republik.
Di saat banyak orang memilih diam atau apatis setelah keluar dari jeratan hukum, Tom memilih sebaliknya. Ia ingin menjadi pengingat, penyambung suara, dan bila mungkin—penyembuh luka keadilan yang terlalu lama dibiarkan.
Dalam negara yang sehat, suara seperti ini tak boleh diabaikan. Dan dalam demokrasi yang matang, kritik bukan ancaman—tetapi vitamin.
Tom Lembong kembali. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara ide dan nurani. Kini giliran publik dan pemegang kekuasaan untuk bertanya pada diri: apakah kita siap menyambut orang-orang yang ingin memperbaiki, bukan membalas?
Karena kadang, suara yang paling jernih lahir dari tempat yang paling gelap. (*)
Penulis: Fim
Jumat, 1 Agustus 2025
---
No comments:
Post a Comment