Friday, August 15, 2025

Celios Minta PBB Audit Data BPS, Pertumbuhan Ekonomi RI Dinilai Janggal



JAKARTA — Lembaga kajian ekonomi Center of Economics and Law Studies (Celios) secara resmi meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengaudit data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Celios mencurigai adanya inkonsistensi dan ketidakakuratan data, khususnya terkait angka pertumbuhan ekonomi 5,12% pada kuartal II tahun 2025 yang dinilai tidak sesuai dengan realita di lapangan.

Menurut Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik Celios, permintaan audit ini didasari oleh kebingungan banyak ekonom, pelaku usaha, dan masyarakat luas. Ia menyebutkan, prediksi dari studi lain seperti Reuters hanya menempatkan pertumbuhan ekonomi di angka 4,8%.

"Kami mengirim surat ke Divisi Statistik PBB dan Komisi Statistik PBB untuk meminta tinjauan diagnostik teknis terhadap kerangka pertumbuhan ekonomi Indonesia," ujar Media Wahyudi Askar. 

"Ini bukan untuk merusak citra pemerintah, melainkan murni pertimbangan akademik agar data BPS lebih akurat.

"Anomali Data yang Dipertanyakan Celios

Celios menemukan beberapa anomali signifikan dalam data BPS, antara lain:

Perdagangan dan Pendapatan Negara: 
BPS melaporkan pertumbuhan ekspor dan impor, namun pada saat bersamaan, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) justru turun 22% secara year on year.

Musiman: 
Pertumbuhan kuartal I seharusnya lebih tinggi dari kuartal II karena adanya momentum Ramadan dan Idulfitri. Namun, data BPS menunjukkan sebaliknya.

Sektor Manufaktur: 
Pertumbuhan manufaktur yang diklaim BPS tidak sejalan dengan data Purchasing Manager's Index (PMI) yang turun. Selain itu, terjadi kenaikan PHK di sektor ini sebesar 32% selama Januari-Juni.

Penurunan Pajak dan Penjualan: Data retail diklaim membaik, namun data dari Kementerian Keuangan menunjukkan penerimaan PPN dan PPNBM anjlok 19,7%. Penjualan mobil turun 8,6% dan penjualan semen turun 2,5%, padahal BPS mengklaim sektor konstruksi menjadi tulang punggung ekonomi.

Dampak Buruk Ketiadaan Transparansi

Media Wahyudi Askar menegaskan, jika BPS tidak transparan dalam metodologi perhitungannya, hal ini bisa merusak kepercayaan publik dan merugikan negara. 

"Jika pertumbuhan dilebih-lebihkan, pemerintah bisa keliru dalam membuat kebijakan. Masyarakat yang seharusnya mendapat bantuan sosial lebih banyak, atau pelaku usaha yang butuh insentif, justru tidak mendapatkannya karena dianggap ekonomi baik-baik saja," jelasnya. 

Ia juga menambahkan, data yang tidak akurat dapat merusak reputasi Indonesia di mata internasional dan berdampak pada hubungan dengan investor.Celios menilai transparansi data pemerintah saat ini berada pada skala 1 dari 5, yang berarti sangat tidak transparan. Mereka berharap BPS mau membuka metodologinya secara terbuka agar diskursus akademik yang sehat dapat terjadi dan kepercayaan publik kembali pulih. (*)

Fim

Sumber:
https://youtu.be/fWNTVRgwLNE?si=B5e_o9IdLPUpqS1T
____

No comments: