Lebih dari 20 tahun, Nursalim (61), menjadi tukang becak di kawasan Pasar Warungdowo, Kecamatan Pohjentrek, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur (Jatim).
Becak itu adalah pemberian orang tuanya.
Setiap hari, ia menunggu penumpang dengan sabar.
Pria yang akrab disapa Cak Salim ini dikenal sebagai sosok inspiratif.
Meski hanya bekerja sebagai tukang becak, Nursalim berhasil mengantarkan tiga anaknya mengenyam pendidikan tinggi.
Bagaimana kisah inspiratif Nursalim?
Sebelum menjadi tukang becak, Nursalim pernah bekerja di pabrik furniture sebagai pengantar barang-barang mebel.
Namun, ia memutuskan untuk keluar karena merasa tidak punya waktu untuk beribadah.
"Waktu itu, anak pertama masih bayi dan saya berpikir sampai kapan kehidupan seperti itu. Sibuk bekerja dan meninggalkan shalat."
"Dan saya putuskan keluar dan menjadi tukang becak," ujarnya lirih.
Saat menjadi tukang becak, Cak Salim ternyata tak pernah mematok harga.
"Penumpang bayar seikhlasnya. Karena saya masih yakin barang siapa berbuat baik akan mendapatkan kebaikan dari orang lain," katanya sembari tersenyum.
Cak Salim menceritakan, pendapatan sehari mencapai Rp 25 ribu.
Sementara istrinya, Sri Atmini (58), menjadi guru mengaji di mushala.
Meski keduanya hanya berpenghasilan sedikit, pasangan suami istri (pasutri) ini punya tekad kuat untuk menyekolahkan anak-anak hingga sukses.
Tekad keduanya pun terbayar lunas.
Anak sulung Cak Salim, Muhammad Huseni, bergelar sarjana pendidikan dan sekarang mengajar di SD Islam di Kecamatan Kejayan.
Selanjutnya, anak kedua, Nur Hasanah, yang tamat S2 menjadi guru agama dan berstatus PNS di SMP Negeri 3 Kota Pasuruan.
Lalu, anak terakhirnya, Saidatut Dariyah menempuh pendidikan S2 di Bali dan mengajar di salah satu SMA.
"Itu semua berkat doa, saya selalu mengingatkan kepada anak saya untuk terus berdoa dan terus belajar. Anak juga mendapatkan beasiswa," ujar Cak Salim.
Untuk kegiatan sosial, sepulang dari mengayuh becak, ia juga menjadi "marbot" masjid di kampungnya.
Setiap menjelang waktu shalat Zuhur dan Ashar, Cak Salim menyapu dan membersihkan masjid.
Baginya, ada pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan materi, sedangkan beramal baik menjadi pelengkap ketenangan.
"Saya sudah berumur tidak muda lagi, ya mungkin jadi marbot lebih dekat dengan yang di atas (Tuhan). Buat akhirat Mas," katanya.
Di sekitar Pasar Warungdowo, becak tradisional yang serupa milik Cak Salim hanya ada tiga buah.
Hampir semua becak sudah menggunakan mesin motor (betor). Namun, bagi Cak Salim, ia tetap mempertahankan agar tubuhnya tetap tegar karena bergerak.
Bahkan, anaknya juga pernah meminta ia berhenti mengayuh becak.
"Kalau nggak ngongkel (mengayuh becak) rasanya malah sakit. Lumayan olahraga juga," ujarnya.
Sayang, cerita panjang dari Cak Salim berhenti saat seorang perempuan yang membawa belanjaan meminta diantar olehnya.
"Permisi dulu ya Mas, kulo (saya) ngantar dulu. Monggo Bu naik," ucap Cak Salim sambil mempersilakan penumpang.
Dengan semangat, Cak Salim menggeser bagian belakang becak, mengambil ancang-ancang sebagai tanda siap melahap aspal dengan becaknya.
Topi dan sarung menjadi ciri khas tukang becak yang ada di Pasar Warungdowo.
Nasikha, salah satu pemilik warung yang menjadi pangkalan sejumlah tukang becak, mengakui semangat dan kesederhanaan Cak Salim.
"Cak Salim itu sukses, anaknya sudah jadi guru semua. Dia sering puasa dan kerjanya sebelum shalat Zuhur sudah pulang," katanya.
No comments:
Post a Comment