Monday, December 05, 2005

Apakah diri kita senilai dengan uang ?


Malam itu, usai rapat di sebuah kampung di Surabaya, Ngagel Rejo, seorang tokoh masyarakat menyampaikan pesan kepada saya, “Pak Firnas, nanti pada pencairan II kita akan bagikan dana operasional proyek buat bapak. Kalau sekarang kan masih tahap I.”

Saya hanya tersenyum saja mendengarnya. Tanpa banyak komentar, saya terus saja berjalan menuju pintu pagar. Saya berjanji kepadanya bahwa besok akan datang lagi untuk melihat persiapan administrasi yang kurang sebelum Pimpinan Pelaksana Proyek Pembangunan Kampung melakukan monitoring proses pencairan dana tahap I, yaitu dana bergulir yang diperuntukkan bagi usaha kecil dan menengah (UKM).

Sepanjang perjalanan pulang dari kampung itu pikiranku terus terusik dengan pesan tadi. Sebenarnya tidak sekali ini saja pesan itu disampaikan pada saya, tetapi sudah sejak awal sosialisasi proyek perbaikan kampung dia sudah memberikan sinyal seperti itu kepada saya. Dan sekarang, menjelang detik-detik pencairan dana, dia bersama rekan-rekan tokoh masyarakat di kampung acapkali membicarakan dana itu dengan berbagai bahasa.

Saya terus terang sering risih dengan pembicaraan seperti ini. Bahkan saya sangat menyesalkan dan prihatin dengan ‘kebudayaan’ ini. Bagaimana tidak, masyarakat kecil saja sudah cukup fasih dengan bahasa-bahasa yang berbau korupsi dan suap seperti ini, apalagi mereka yang di lingkungan kerjanya tak bisa melepaskan dari budaya korupsi dan suap. Di kantor pemerintahan, tempat dimana saya mesti bernegosiasi masalah pekerjaan proyek, acapkali saya harus berhadapan dengan orang-orang yang sering berpikiran dan bertindak korup dan mentalitas selalu minta disuap!

Setahun yang lalu peristiwa serupa ini sudah saya alami, bahkan terjadi 2 kali. Pertama, dengan warga kampung Wonokusumo. Dan yang kedua warga kampung Rungkut Menanggal. Alhamdulillah, godaan pemberian uang ‘jasa’ pendampingan masyarakat ini bisa saya tolak dengan cara halus. Kenapa pemberian uang ‘jasa’ ini saya tolak ? Pertama, bagi saya, sudah cukup uang gaji atau honorarium – meski pas-pasan -- yang saya peroleh dari perusahaan Konsultan yang telah memberi saya kesempatan bekerja. Walaupun pas-pasan, uang yang sudah saya peroleh dari hasil keringat bekerja bisa memberi ketentraman batin. Yang kedua, saya memang merasa tidak berhak dengan uang uang ‘jasa’ itu. Karena pada dasarnya uang itu dipergunakan untuk warga masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi. Apalagi, dana itu ada embel-embel dana pengentasan kemiskinan. Jadi, sangat tidak etis kalau saya ikut menikmati uang itu.

Ketika saya dipaksa menerima uang ‘jasa’ itu, saya punya kiat tersendiri. Biasanya, dalam posisi terpojok, saya menerima uang itu. Tetapi pada saat itu juga saya bilang pada orang yang memberikan uang tersebut,” Kalau bapak memang memaksa, saya terima uang ini. Tapi izinkan juga uang ini saya sumbangkan untuk warga disini melalui bapak.” Sekali lagi, uang itu saya terima. Tetapi pada saat itu juga saya menyumbang warga dengan uang itu.

Dengan cara seperti ini, Alhamdulillah, orang yang tadinya terus memaksa saya untuk menerima uang itu bisa memahami sikap saya. Tak hanya itu, ketika proyek sudah habis, hubungan persaudaraan diantara kami menjadi lebih baik. Dan pada akhirnya, saya pun tak dinilai orang dengan uang beberapa ratus ribu atau jutaan rupiah.

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat) -Ku.” Al Baqoroh 152

Semoga Allah senantiasa menuntun saya ke jalan yang lurus yang diridloi-Nya. Amin. (*)

No comments: