Tuesday, January 15, 2013

Innalillahi, Prof Zakiah Daradjat Wafat


REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Pakar psikologi Islam, Prof Zakiah Daradjat tutup usia, Selasa (15/1) sekitar pukul 09.00.

Guru besar UIN Jakarta itu wafat saat dirawat di RS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada usia 83 tahun.

Kabar wafatnya tokoh Muslimah terkemuka di Tanah Air itu juga ramai di twiter. ''Telah berpulang ke Rahmatullah Prof. DR. Zakiah Daradjat hari ini, Selasa 15 Januari 2013 pukul. 09.00 di RS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,'' tulis Nurfi Laila Hs dalam akun twitternnya.

Prof Zakiah Daradjat sempat mengalami  kritis dan menjalani perawatan di RS Hermina, Jakarta Selatan, pertengahan Desember 2012.

Redaktur: Heri Ruslan
 

Selasa, 15 Januari 2013, 10:58 WIB

Mengenang Zakiah Daradjat: Ulama Wanita Pertama yang Menjadi Ketua MUI

REPUBLIKA.CO.ID, Banyak orang terkejut, termasuk dirinya sendiri ketika namanya disebut K.H. Hasan Basri menjadi salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beberapa menit sebelum pembacaan nama-nama pengurus pusat MUI, beberapa ibu yang aktif mengikuti jalannya Munas MUI memberi selamat kepada dirinya.
''Saya sampai terheran-heran, ada apa ya kok saya diberi selamat?'' kata Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat mengenang suasana saat itu.

Zakiah sendiri mengaku tak tahu persis kenapa dirinya terpilih sebagai salah seorang pengurus inti MUI pusat. ''Mungkin karena persoalan wanita sudah demikian penting untuk ditangani, dan untuk itu perlu seorang wanita,'' kata psikolog lulusan Universitas Ain Syams Kairo ini kepada Muarif dari Republika, yang menemuinya di kediamannya, Kompleks Wisma Sejahtera, Jalan Fatmawati 6, Jakarta, Rabu (2/8) lalu.

Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri kepada Republika menjelaskan, usulan agar salah seorang ketua MUI dari kalangan wanita datang dari berbagai pihak. Pada mulanya diusulkan tiga nama: Dra. Hajah Tutty Alawiyah (pimpinan Perguruan Islam Asy-Syafiiyah, Jakarta), Dra. Hajah Siti Suryani Thahir (pimpinan Perguruan Islam Attahiriyah, Jakarta), dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat sendiri. Namun setelah melalui berbagai musyawarah, terpilihlah Zakiah. Sedang kedua nama lainnya diposisikan sebagai anggota pengurus MUI.

Menurut Zakiah, jabatannya yang baru sebagai ketua MUI tidak akan mengganggu aktivitasnya di klinik konsultasinya, menjadi guru besar IAIN Jakarta, dan jabatannya sebagai Ketua Perhimpunan Wanita Alumni Timur Tengah. Berikut petikan wawancara dengannya tentang berbagai hal, termasuk pandangannya tentang peran wanita Islam sesudah 50 tahun Indonesia merdeka.

Bagaimana perasaan Anda ketika terpilih menjadi ketua MUI?
Saya bersyukur kepada masyarakat dan ulama yang dapat menerima salah seorang pimpinan MUI itu wanita. Ini penting karena tradisi ini bukan hanya pertama di Indonesia, namun juga pertama di dunia. Saya gembira juga terharu bahwa di Indonesia wanita sudah disejajarkan dengan pria dalam soal ini. Apalagi, usulan ketua wanita datangnya dari kalangan ulama pria. Saya tidak pernah mengusulkan diri, apalagi selama ini saya sudah duduk menjadi anggota.

Menurut Anda, apakah ada alasan tertentu kenapa baru sekarang ketua MUI dari kalangan wanita?

Wanita itu punya cukup peran penting dalam negara ini. Kerangka pembangunan agama sudah cukup baik, tapi kenapa tidak ada pengurus wanita. Barangkali begitu perkiraan saya.

Jadi, ketua MUI perempuan itu bukan usulan dari organisasi wanita Islam?

Tidak. Tidak ada yang menuntut. Oleh karena itu saya tidak punya persangkaan. Apalagi ketika itu saya ikut dalam salah satu sidang komisi. Ada empat komisi yang bersidang saat itu dan masing-masing bersidang di tempat yang berbeda. Yang saya tahu, ada sidang formatur yang diketuai oleh Pak Menteri Agama. Itu saja.

Atau karena sebelum ini, konsentrasi MUI masih kepada masalah laki-laki, sehingga belum merasa perlu memposisikan perempuan sebagai ketua MUI?

Ada yang sudah punya perhatian. Tapi, masih banyak ulama yang merasa bahwa wanita belum cukup mampu untuk menjadi ketua.

Lalu, menurut Anda, apakah sudah apa perubahan berpikir pada kalangan ulama pria itu?
Beberapa tahun belakangan ini wanita cukup gencar dalam pendidikan agama dan penyiaran agama. Utamanya bergerak dalam majelis taklim. Di Jakarta saja jumlahnya lebih dari 10 ribu, belum lagi di daerah-daerah. Jadi, kegiatan wanita di segala bidang itu semakin tampak. Ini barangkali yang membuat ulama pria itu semakin sadar.

Bagi Anda, apakah pemilihan Anda menjadi salah satu ketua MUI merupakan bentuk dari emansipasi?

Islam itu tidak mengenal emansipasi. Islam itu memberikan kepada wanita hak dan kewajibannya yang jelas. Dalam hal-hal yang bersifat umum itu haknya sama dengan pria. Jadi, itu bukan emansipasi, tapi hak kaum wanita yang belum terlaksana di banyak tempat.

Kira-kira apa program Anda sebagai ketua MUI dalam waktu dekat ini?

Saya kira program kerja belum bisa saya katakan. Kita kan belum rapat. Tapi, yang seringkali menjadi pemikiran saya bukan sebagai ulama adalah bagaimana meningkatkan kesadaran dan kemampuan kaum wanita untuk mendidik anaknya sehingga menjadi anak yang baik dan saleh, yang berakhlak. Lalu, bagaimana caranya agar anak-anak itu benar-benar mendapat bekal yang cukup bagi dirinya, baik bekal iman maupun keduniaannya.

Menurut saya, pendidikan anak itu harus dimulai dari rumah. Karena itu harus kita ciptakan keluarga yang sakinah. Ini memang bukan hanya tugas kaum wanita saja. Secara umum, perhatian saya adalah pendidikan. Mungkin ini pula yang akan jadi bahasan dalam rapat di MUI nanti.

Di kalangan ulama pria ada sebutan kyai, bagaimana dengan kalangan ulama wanita?

Karena tidak difungsikan seperti kaum lelaki, maka tidak ada sebutan untuk ulama wanita. Lagi pula, sebutan kyai itu kan istilah yang ada di Jawa. Di lain daerah, lain lagi sebutannya. Tuanku, di Sumatera Barat atau Tengku di Aceh, misalnya. Kalau wanita, kebanyakan ya sebutannya istri kyai atau Nyi.

Apakah selama ini pernah muncul ulama wanita yang peranannya sangat menonjol, terutama dalam masalah keagamaan?
Dulu ada, misalnya di Sumatera Barat ada Ibu Rahmah El Yunisiah. Beliau tokoh wanita Islam yang tidak hanya berjuang dalam perang kemerdekaan, namun juga menjadi pendiri sekolah yang sampai sekarang maju, bahkan hingga universitas. Juga ada Ibu Rangkayo Rasuna Said, Cut Nyak Dhien. Mereka semua merupakan tokoh wanita Islam, yang saya kira, tidak hanya memiliki pemahaman agama yang kuat tapi juga menjadi pejuang bangsa.

Tapi, apakah ada tokoh wanita yang spesialisnya soal-soal fikih misalnya?

Kalau yang begitu saya belum menemukannya. Mungkin Ibu Rahma El Yunisiah bisa dimasukkan dalam hal ini.

Dalam Alquran tertulis bila anak-anak dan wanita adalah perhiasan dunia. Ini sepertinya menempatkan wanita sebagai pelengkap. Bagaimana pendapat Anda tentang anggapan tersebut?
Sebenarnya dalam Alquran itu ada ayat-ayat yang secara eksplisit menyebut bahwa laki-laki dan wanita yang beriman dan beramal saleh itu akan memperoleh balasan yang sama. Itu petunjuk bahwa wanita itu harus bekerja. Di ayat lain ada dijelaskan bahwa laki-laki dan wanita itu satu sama lain menjadi pemimpin. Tidak dikatakan bahwa pria harus menjadi pemimpin dari kaum wanita.

Lalu, bagaimana dengan pendapat yang mengatakan bahwa wanita itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga harus ikut kehendak kaum laki-laki?

Saya tidak menemukan petunjuk demikian. Tidak di Alquran, tidak pula di hadis. Dari mana asalnya legenda wanita diciptakan dari tulang rusuk kaum laki-laki, itu saya tidak tahu. Dalam penciptaan Ibu Hawa, saya tidak temukan penjelasan bila ia diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam. Mungkin pengkajian kita lebih banyak dari kisah-kisah yang belum jelas kebenarannya.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa peluang kaum laki-laki untuk masuk surga lebih besar dari kaum wanita, karena laki-laki bebas dalam beribadah, sementara wanita punya keterbatasan, seperti kalau sedang haid misalnya. Menurut Anda?

Kalau hal itu dijadikan alasan, ada hal lain yang juga bisa dijadikan alasan kaum wanita. Pria itu tidak pernah mengalami beratnya hamil dan sakitnya melahirkan. Betapa besar pahalanya kaum wanita dalam hal ini. Jadi, ada imbangan atas kekurangan yang dimilikinya.

Sebenarnya bagaimana sih fungsi kaum wanita menurut Islam itu?

Menurut saya, kaum wanita sama saja fungsinya dengan laki-laki. Mungkin di masa lalu, mencari rezeki itu memerlukan kerja keras dan tenaga kuat, sehingga hanya kaum laki-laki yang bekerja. Tapi, baik laki-laki maupun wanita harus bekerjasama dalam hal ini. Kalau di keluarga, laki-laki yang harus dipatuhi, itu memang demikian. Tapi dalam kehidupan bermasyarakat tidak demikian. Mereka sama, yang membedakan hanya kemampuannya. Kalau dalam keluarga harus ada yang dipatuhi, itu benar. Tapi kepatuhannya seperti apa, itu kan menjadi masalah. Kepatuhan itu menjadi relatif, kalau masuk akal maka baru bisa diterima.

Kalau begitu, wanita bebas untuk bekerja apa saja?

Di zaman Rasulullah, Siti Aisyah pernah ikut dalam peperangan. Siti Khadijah adalah konglomerat kaum Quraisy. Anak buahnya banyak dan itu laki-laki semua. Tentu saja, kita tidak bisa melepaskan adanya kodrat dari kaum wanita yang menyebabkan ia punya keterbatasan. Tidak mungkin rasanya kalau kemudian ada wanita yang menjadi kuli pelabuhan.

Kalau begitu memang ada bidang-bidang tertentu yang wanita tidak bisa bekerja di situ?

Kalau mengandalkan kekuatan fisik, mungkin tidak bisa. Demikian pula dengan bekerja ketika malam hari. Bagaimanapun juga mereka harus menjaga diri dari kejahatan hawa nafsu. Oleh karena itu saya paling tidak setuju dengan adanya pekerja wanita yang bekerja hingga larut malam. Masyarakat harus ikut menjaga wanita dalam hal ini, jangan sampai karena tidak hati-hati masyarakat rusak karena wanita.

Menurut Anda, apakah fikih itu hanya menguntungkan kaum laki-laki?

Ya, ada juga. Fikih itu kan pendapat dari para ulama. Itu penafsiran. Kalau ditafsirkan di zaman wanita itu rusak, maka sudah pasti cara pandangnya tidak ada wanita yang baik. Tapi, kalau penafsirannya di zaman wanitanya baik-baik, berpikir maju, fikihnya pasti akan memberi tempat kepada kaum wanita. Ini tergantung dari fikihnya. Fikih itu kan pemahaman terhadap ajaran Islam.

Kalau begitu perlu ada perombakan terhadap fikih, terutama berkenaan dengan kaum wanita?

Penafsiran-penafsiran yang dilakukan itu perlu dilihat kembali, misalnya, kapan pemikiran itu datang. Bila hal itu ada kaitan dengan lingkungan, maka ulama yang kemudian perlu terus berijtihad. Tentunya dengan alasan-alasan yang kuat.

Apa kendalanya juga karena wanita tidak ada yang menjadi ahli fikih, hadis, atau tafsir, sehingga kepentingan kaum wanita terabaikan?

Mungkin dulu kesempatan belajar dari kaum wanita sangat terbatas, maka sudah pasti ahli-ahli fikih yang muncul adalah kaum pria. Puluhan tahun lalu, tidak ada hakim agama dari kalangan wanita. Baru beberapa tahun belakangan ini saja kita punya hakim-hakim agama wanita. Mungkin karena ada pendapat bahwa wanita tidak mampu menjadi hakim. Padahal kenyataannya sekarang ini, dengan adanya hakim wanita tidak ada masalah, semuanya berjalan baik.

Kalau begitu, berarti saat ini kita sangat membutuhkan tokoh-tokoh wanita yang menjadi ahli fikih, hadis atau tafsir?

Betul, kita sangat perlu akan tokoh-tokoh semacam itu. Sudah saatnya kita memberi kesempatan kaum wanita untuk menggeluti bidang-bidang seperti itu. Sekolah untuk itu sekarang ini sudah demikian banyak. Kalau kita berpegang teguh pada Alquran, maka wanita punya hak untuk menjadi ulama atau pemimpin. Tapi, belum banyak wanita yang muncul karena faktor budaya.

Jadi belum banyaknya muncul tokoh wanita karena faktor budaya?

Memang budayanya. Garis agama itu jelas. Budaya yang mempengaruhi keterbelakangan wanita. Situasi dan kondisi suatu daerah sangat mungkin menyebabkan tidak menghargai wanitanya. Ada budaya yang menganggap bahwa wanita tidak mampu untuk tampil ke depan, bahkan sampai kuatir bila wanitanya maju. Lalu agama menjadi justifikasi dalam hal ini, sehingga kaum wanitanya dilarang untuk tampil.

Berbicara tentang kedudukan kaum wanita ini, bagaimana dengan peran Ormas wanita Islam selama ini?

Kelihatannya mereka terlalu sibuk sehingga kurang waktu untuk menghadiri berbagai aktivitas organisasinya. Memang banyak program dan seksi yang menanganinya, tapi apakah berjalan dengan baik atau tidak, itu sulit mengetahuinya. Sebab mengumpulkan orang di kota besar macam Jakarta ini sulit sekali.

Tapi dalam pandangan Anda, apa kelemahan dari Ormas wanita Islam?
Kegiatan mereka sebenarnya cukup banyak. Dengan kemampuan mereka masing-masing, itu sudah cukup baik dan bagus. Kalau mereka bermusyawarah atau rapat sepertinya hasilnya bagus-bagus. Tapi, dalam menjalankan program kerja, mereka sepertinya punya kendala, di antaranya adalah mereka yang memiliki banyak gagasan, sangat sibuk. Sementara mereka yang punya waktu, ternyata tidak banyak yang bisa dipikirkan.

Apa karena tugasnya sebagai isteri atau ibu rumah tangga menjadi kendala juga?

Itu jelas. Mereka punya kegiatan yang harus diurus di rumah dalam posisinya sebagai isteri atau ibu dari putra-putrinya. Selain sibuk di rumah, banyak wanita yang sibuk bekerja di luar rumah. Jadi banyak wanita yang sibuk di rumah, di kantor dan juga di organisasi. Apalagi sekarang ini tidak semua orang mampu memelihara pembantu. Jadi, memang banyak kendala.

Lalu menurut Anda bagaimana cara mengoptimalkan peran Ormas wanita tersebut?
Apa yang selama ini mereka lakukan telah membawa hasil. Paling tidak memberikan sumbangan kepada peningkatan kesadaran wanita. Untuk lebih meningkatkan peran seperti itu memang perlu banyak tenaga, terutama tenaga-tenaga pemikir yang punya waktu. Dari mereka akan banyak lahir konsep dan aktivitas dengan lebih baik lagi. Tentunya harus ditunjang dengan mekanisme organisasi yang sehat. Kalau soal semangat, sebenarnya wanita Indonesia termasuk maju dibandingkan dengan wanita negara-negara lain.

Kalau kaum wanita Indonesia secara keseluruhan bagaimana kondisinya?
Masih banyak yang harus ditingkatkan, baik pengetahuannya maupun keterampilannya. Kemampuan dalam berbagai bidang juga harus ditingkatkan. Pada tingkat pimpinan hal itu sudah memadai, namun pada tingkat bawah masih banyak yang harus ditingkatkan. Tapi, kita sudah bersyukur karena kaum pria mau menerima kemajuan kaum wanitanya. Di banyak negara, hal ini masih belum bisa diterima.

Tentunya dengan kedudukan Anda sebagai Ketua MUI, hal seperti itu juga menjadi perhatian?
Doakan saja. Mudah-mudahan bisa ada manfaatnya meski kesibukan saya tidak berkurang malah bertambah.

Sekarang soal aktivitas Anda. Pilihan Anda menjadi ahli jiwa itu kenapa?
Sebenarnya dari dulu saya senang mengamati orang. Orang bicara saya dengar. Orang mengeluh saya perhatikan. Lalu pada waktu saya masuk perguruan tinggi, saya memilih jurusan pendidikan. Di situ ada pendidikan ilmu jiwa. Ketika saya ke Kairo, minat saya pada ilmu jiwa lebih berkembang lagi karena sepertinya dosen-dosen saya mendorong untuk menekuni bidang itu.

Selama menangani soal-soal kejiwaan ini, keluhan terbanyak biasanya berkisar soal apa saja?
Yang terbanyak adalah problem keluarga, problem anak-anak yang beranjak remaja, dan masalah kepribadian yang tidak hanya berkait dengan masalah keluarga, misalnya merasa dirinya tidak sukses, memandang dunia ini kelabu terus, dan penderitaan-penderitaan pribadi lainnya. Memang cukup bervariasi. Tapi, pernah suatu ketika saya buka catatan pasien yang datang ke klinik dalam satu tahun. Ternyata persoalan kaum remaja itu mencapai 45 % dari kasus yang masuk. Sementara yang lainnya hampir seimbang.

Kenapa justru kaum remaja?

Karena mereka kurang baik hubungannya dengan keluarganya sehingga muncul problem-problem di sekitar mereka. Cukup banyak kaum remaja ini mengeluhkan kondisi keluarganya, misalnya tentang ibunya yang sibuk, ayahnya yang jarang di rumah, dan sebagainya. Kalau sudah begitu, tidak hanya masalah pribadi yang disampaikan, masalah pendidikan pun banyak yang dikeluhkan. Bahkan seorang gadis remaja pernah datang ke klinik saya mengeluh karena sampai sekarang belum memperoleh pacar.

Para remaja selalu mengeluhkan kalau orangtua sulit diajak bicara, sementara orangtua selalu bilang anaknya bungkem tidak mau bicara. Kalau sudah begini yang salah siapa? Menurut saya, tidak ada yang salah. Situasi yang menjadikan mereka menjadi demikian.

Bagaimana cara Anda memberi solusi?

Sebenarnya saya tidak memberikan nasehat secara khusus. Saya mengembangkan kepribadian seseorang untuk dapat mengenali permasalahan yang dihadapi itu apa. Lalu bersama-sama dia, saya menelusuri asal-usul masalah. Dengan sendirinya, mereka akan menemukan jawabannya. Benarkah keinginan dirinya? Benarkah pula persangkaannya tentang penyebab masalah? Saya menggunakan teori non-directive, perawatan kejiwaan yang tidak diarahkan. Pasien dibantu dengan pengembangan dirinya untuk mengetahui persoalan yang dihadapi. Jalan keluar yang kemudian dipakai adalah perombakan kepribadian. Dalam hal inilah agama saya sisipkan ke dalamnya. Kalau sulit bicara pada orang lain, bicaralah kepada Allah lewat tahajud. Mengadulah, menangislah, berteriaklah kalau mau berteriak. Allah pasti dengar.

Pernah gagal dalam memberikan konsultasi?
Saya tidak tahu persis, karena memang ada yang cuma sekali datang ke rumah. Menurut pengalaman, pada umumnya mereka semua menuju sukses. Selama ini setiap mereka yang datang ke rumah selalu memperoleh informasi dari pasien terdahulu. Itu kan berarti mereka berhasil.

Redaktur: Heri Ruslan
Sumber: Harian Republika, edisi Jumat, 11 Agustus 1995

Mengenang Zakiah Darajat: Ahli Jiwa dengan Metode Agama

REPUBLIKA.CO.ID, Di kediaman Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Kompleks Wisma Sejahtera Jl Fatmawati 6, Jakarta Selatan, setiap petang cukup ramai dengan kehadiran beberapa pasien untuk berkonsultasi.

''Ya, sehari bisa 4 hingga 10 orang. Setiap orang biasanya saya terima sekitar 45 menit untuk menyampaikan berbagai persoalan hidupnya,'' kata wanita kelahiran Bukittinggi, 6 November 1929 itu mengomentari kesibukan yang telah ia jalani selama 30 tahun itu.

Ketika menerima Republika, Rabu lalu ia tengah sibuk ''mengobati'' seorang pasien wanita. Menjelang berakhirnya wawancara, seorang wanita muda diantar seorang laki-laki telah menanti. ''Memang yang paling banyak konsultasi itu wanita. Sepertinya laki-laki itu sombong tidak merasa punya masalah,'' katanya sambil tertawa. Prof. Dr. Hj. Zakiah Darajat memang dikenal ahli jiwa yang sering menggunakan pendekatan agama sebagai solusi pemecahan persoalan yang dihadapi pasien.

Guru besar IAIN Jakarta ini mulai membuka konsultasi kejiwaan sejak ia pulang studi dari Mesir. Setelah menamatkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Agama Islam, Yogyakarta 1955, ia memang memperoleh tawaran sekolah di Universitas Ein Syams, Kairo, Mesir. Ia memperoleh gelar doktor pendidikan dengan spesialis psikoterapi pada 1964 dari Universitas Ein Syams.

Sepulangnya di Tanah Air ia segera mengabdikan diri pada Departemen Agama. Menag ketika itu K.H. Saifuddin Zuhri menyarankan ia membuka klinik konsultasi di Depag. Sejak itu pekerjaan menasehati orang menjadi bagian hidupnya yang tak pernah lepas hingga kini. Terakhir, ia menjabat Direktur Pembinaan Agama Islam hingga pensiun pada 1984.

Setelah pensiun ia malah diangkat menjadi anggota DPA hingga 1988. Bersamaan dengan keanggotaannya di DPA, ia mendirikan Yayasan Pendidikan Ruhama, lembaga pendidikan sejak TK hingga SMA yang berlokasi di Legoso, Cirendeu, Ciputat.

Rajin menulis dan berdakwah, penggemar olahraga renang di masa mudanya ini, kini sudah menghasilkan puluhan buku mengenai psikologi dan agama. Di antara bukunya Kesehatan Mental (Gunung Agung, 1969), Ilmu Jiwa Agama (Bulan Bintang, 1970), dan Problem Remaja Indonesia (Bulan Bintang, 1974). Akhir-akhir ini, ia menerbitkan sendiri bukunya lewat yayasan yang didirikannya, Yayasan Kesehatan Mental YPI Ruhama.

Dalam soal dakwah, sepertinya ia tak pernah lelah. Pada tahun 60-an ia bisa berceramah lima sampai enam kali sehari. Sering pula ia tampil di RRI, TVRI, dan kini di beberapa stasiun televisi swasta. Pernah ia berceramah secara berantai di 10 tempat tanpa henti. Anehnya, dalam setiap ceramah ia menemui orang-orang yang sama. Ternyata, mereka --rata-rata kaum ibu-- adalah penggemar setianya.

Pendapatnya tentang wanita, ''Saya senang mereka bekerja, tapi jangan sampai lupa kepada kedudukannya sebagai ibu. Kasihan anak-anak mereka,'' katanya. Ia pun bercerita banyak mengenai peran kaum wanita masa kini, terutama dalam pendidikan dan keluarga. Mengenakan kebaya bermotif kembang dan berkerudung merah jambu, tokoh wanita yang masih terlihat energik ini melayani wawancara Republika di ruang kerjanya. Berikut petikan wawancara itu:

Sekarang ini banyak wanita yang bekerja di luar rumah. Lalu, anak-anak lebih banyak diasuh oleh pembantu daripada ibunya sendiri. Menurut Anda, apakah kondisi yang demikian ini yang menyebabkan anak-anak sekarang lebih nakal?

Kalau sikap keibuannya hilang ya membawa akibat, anak-anak menjadi terlantar, suasana rumah tangga pun terganggu. Ia terlalu sibuk sehingga melupakan peran keibuannya di rumah. Tapi, secara umum saya masih belum melihat itu meluas di Indonesia, lebih banyak hanya terjadi di kota-kota besar.

Bagaimana dengan kecenderungan wanita sekarang yang lebih mengutamakan sekolah atau karirnya sehingga menunda perkawinan atau enggan memiliki anak?

Ada memang yang demikian, tapi saya kira tidak banyak. Masih banyak yang ingin berkeluarga, ingin punya anak. Hanya saja, karena wanita-wanita itu masih sibuk belajar dan biasanya pilihan setelah sekolah nantinya bekerja, maka ia lebih mendahulukan bekerja. Tentunya, kalau ia akan berkeluarga, maka ia akan memilih-milih. Tidak seperti dulu yang hanya mengikuti perintah orangtuanya.
Tapi, saya sering menemukan di kalangan mahasiswi punya kecenderungan untuk segera menikah. Ini banyak. Tapi, bila ia sudah sarjana dan bekerja, memang akan punya pikiran lain. Kalau sudah bekerja, ia ingin menjadi wanita karir yang baik. Akibatnya, mereka lupa untuk berkeluarga. Nah, lupa inilah hal yang tidak baik. Dia boleh jadi pekerja yang baik, tapi kalau ia berkeluarga, maka ia harus menjadi isteri dan ibu yang baik.

Kira-kira, apa yang menjadikan mereka lupa?
Ya, mengejar prestasi. Misalnya, ketika dia masih sekolah pintar. Ketika bekerja, kalau tidak pintar rasanya tambah pusing. Sederhana saja, ia harus lebih berprestasi dari rekan-rekan kerjanya. Ia mengejar prestasi dan kalau bisa naik pangkat, dapat posisi baru. Ini manusiawi karena setiap orang punya keinginan seperti itu.

Bagaimana pendapat Anda tentang kaum wanita yang ingin berkarier?
Boleh saja, asal ia tidak meninggalkan kewanitaannya. Wanita itu dalam pandangan Islam harus pandai menjaga diri, tidak mudah tergoda, berpakaian sopan, tetap mencintai rumah tangganya, bertanggungjawab, hak dan kewajiban sebagai istri dan ibu itu harus ia tunjukkan. Jadi tidak terlarang dia berkarir. Tapi, kalau di rumah tangga, sebagai istri ia menganggap suaminya teman kantor, ya ceritanya jadi lain. Ah saya juga capek, ini nggak boleh. Sebagai istri, di rumah ia harus pandai menempatkan diri di hadapan suaminya.

Kenyataannya, banyak wanita karier yang menuntut dirinya sejajar dengan suaminya?
Bisa saja, tapi dengan kesepakatan. Artinya, ia mendapat gaji sama dengan suaminya atau bahkan lebih. Ia tidak boleh menyombongkan hal ini. Saya juga kerja, saya juga capek. Gaji saya lebih besar dari kamu. Itu tidak boleh disebut.

Kalau begitu, beban wanita lebih besar karena harus berperan ganda?

Bila dia sadar dan melaksanakan tugasnya sebagai wanita, dalam bekerja ia bisa membagi waktu. Ia akan mengatur, porsi untuk bekerja sekian, untuk anak sekian, dan untuk keluarga sekian. Jadi, ketika ia bekerja, ia ingat, saya ini ibu lho, saya ini seorang istri. Intinya, jangan lupa akan semua hal yang mengikat dirinya sebagai wanita dan ibu rumah tangga.

Tapi, godaan untuk memerankan kedua hal itu cukup besar. Di kantor ia dituntut untuk mampu mengaktualisasikan diri. Akibatnya, urusan rumah tangga dia serahkan kepada pembantu rumah tangga, urusan anak diserahkan kepada pembantu?

Ia boleh saja menyerahkan kepada pembantu rumahtangga hal-hal tertentu, seperti mencuci, menyetrika, dan memasak. Tapi, soal menu makanan tetap ia yang tentukan, bukan pembantu. Mengurus anak, baby sitter boleh saja, tapi sebaiknya yang mengurus anaknya dia sendiri. Cuci pakaian anak boleh saja pembantu, tapi yang memberi makan, menyusui anak harus dia. Anaknya yang merengek, dia harus tangani. Kalau semua ini dia jalankan secara ikhlas, seninya akan ia temukan dan tidak akan merusak rumah tangga.

Kalau dia jadi pegawai, dia nggak usah lembur, cukup laki-laki saja. Sekarang, dengan adanya kebijakan bekerja hingga pukul 4 sore, saya rasa akan lebih merepotkan kaum ibu. Saya lebih setuju, untuk kebaikan kaum ibu bila kerja kantor sampai pukul 2 saja.

Alasannya?

Bagi anak kecil, ia tidak akan sanggup membiarkan ibunya terlalu lama di luar rumah. Paling lama, dalam toleransi terbaik sekitar 5 jam. Kalau sudah pulang pukul 16.00, sampai rumah pukul 17.00, kepalanya pusing, anaknya merengek dan ia marah-marah, bisa rusak semua. Itu berat buat kaum ibu.

Secara psikologis, apa dampaknya?
Bagi anak kecil, usia 2-5 tahun pernah dilakukan penelitian di Inggris. Yang paling menyenangkan buat anak, ibunya bekerja di luar rumah antara 3-5 jam sehari. Itu yang ideal. Yang sangat penting, kualitas hubungan ibu dan anak itu bagus. Jadi, bukan kuantitasnya. Kalau ibu seharian di rumah dan si anak selalu dimarahi, ya tidak baik untuk anak. Sebenarnya, wanita itu paling baik bekerja untuk kepentingan anaknya. Kalau dia di rumah, anaknya justru direpotkan ibunya.
Ia bermain, si ibu melarangnya, jangan nanti jatuh. Dia mau melakukan sesuatu sang ibu banyak membatasi. Jadi, terlalu banyak larangan membuat sang anak tertekan. Wanita itu, juga ada kebosanan secara tersembunyi bila ia terus menerus di rumah. Tapi, kalau dikatakan bosan di rumah itu juga tidak mau, dianggap ibu yang tidak baik. Tapi, yang pasti ada kebosanan tersembunyi. Ia butuh udara lain, aktivitas lain. Saya rasa, kalau pekerjaannya tidak sampai larut sore tidak ada masalah.

Lalu, apa kiat untuk membuat anak tidak merasa kehilangan ibunya?
Buatlah sang anak itu rindu kepada ibunya, demikian pula sebaliknya. Kalau dirindukan anak itu menyenangkan. Kalau anak itu lebih dekat kepada pembantunya, maka ia akan sulit rindu kepada ibunya. Akibatnya, anak akan kehilangan figur orang yang paling dekat dengannya.

Ketika anak makin besar, interaksi dari ibu semakin dibutuhkan. Padahal, kegiatan ibu juga besar. Apakah hal ini juga menjadi sebab anak berperilaku menyimpang?
Harusnya perhatian semakin besar. Tapi, meski waktunya sedikit, sebaiknya ia dalam situasi terbaik ketika berhadapan dengan anaknya. Bisakah usai kerja di kantor, ia memberi perhatian yang menyenangkan buat anaknya sehingga anak merasa diikuti dan diperhatikan terus menerus. Libur kerja itu, paling baik diperuntuk bagi keluarga. Tidak mesti ke luar rumah atau pergi ke restoran mahal. Cukup masak makanan kesukaan bersama dan makan di rumah. Yang penting ada perhatian.

Bagaimana pun sibuknya orangtua, mereka harus terbuka hati untuk mendengarkan semua keluhan anaknya. Jadi fungsinya untuk menampung uneg-uneg anaknya. Anak yang memiliki orangtua demikian tidak akan melakukan hal yang buruk. Kenapa? Karena ia merasa orangtuanya begitu memperhatikannya, sehingga ia tidak tega orangtuanya bersedih. Maka, jadilah pendengar yang baik dalam semua persoalan yang dihadapi anak. Jangan jadi penceramah di hadapan anak, itu akan membosankan diri mereka.
Diskusikan semua persoalan, jangan tekan mereka dengan kemarahan kita. Berbeda dengan orangtua yang tidak memberi perhatian kepada anak-anaknya, mereka akan mencari tempat menyampaikan semua keluhan di luar rumah. Padahal, kawannya atau orang di luar rumah tidak berbeda dengan dirinya pula yang mendapat tekanan. Akibatnya, ia akan melampiaskan semua persoalan kepada hal-hal yang buruk, berkelahi atau yang lainnya.

Kalau begitu, kunci persoalan ada pada komunikasi?

Betul sekali. Kalau komunikasi lancar dengan kedua orangtua, sang anak tidak akan menumpuk persoalan dalam dirinya.

Bagaimana dengan faktor luar yang mempengaruhi?

Pengaruh faktor luar bisa saja, tapi kalau pada dasarnya di dalam sudah menumpuk, maka faktor luar hanya akan menambah beban berat saja. Tapi, kalau di dalam lancar, maka faktor luar tidak akan mempengaruhi. Kita sering menyebut banyak anak nakal, tapi sudahkah kita menciptakan lingkungan yang memberi perasaan tidak nakal kepada anak-anak.

Bagaimana dengan pengaruh berbagai tayangan di televisi?

Kalau orangtua tidak sempat mendidik, apa yang di TV pasti akan ditirunya. Itu berbahaya sekali. Untuk mengurangi bahaya itu, ia harus akrab dengan orangtuanya. Kalau orangtua kuat dalam menjalani ajaran agama, maka sang anak akan meniru, menyerap tanpa sepengetahuan orangtua. Kalau di rumah ibu dan bapak membiasakan salat berjamaah, maka anak akan ikut dan pengaruhnya besar sekali buat perkembangan jiwa anak. Itu pendidikan agama, demikian pula perilaku orangtua. Kalau mereka suka membentak pembantu, maka anak juga akan menirunya. Ini bahaya. Karena di televisi, tidak semua nilai yang diharapkan muncul selamanya, maka proses identifikasi dari anak lewat telivisi, terutama bila pemainnya orang Indonesia. Memang berat tugas orangtua sekarang dibanding orangtua di masa lalu.

Apa yang dilihat oleh anak-anak, jauh lebih berbahaya daripada apa yang didengar. Kalau yang dilihat baik, tidak persoalan. Tapi, kalau yang dilihat buruk, maka akan mudah ditiru. Di sini saya usulkan agar semua produk televisi itu tidak menampilkan hal-hal yang berbau kekerasan, perkelahian, pembunuhan. Kita kan tidak ingin anak-anak kita meniru hal-hal yang demikian. Kenapa kita cekoki anak-anak dengan berbagai adegan kekerasan. Film Indonesia lebih bahaya dibandingkan film asing, karena anak-anak lebih mudah mengidentifikasikan diri dengan orang sebangsa.

Tapi, bukankah hal itu tidak mungkin dihilangkan dalam kondisi sekarang?
Kita bisa mengurangi dan melakukan pilih-pilihan. Seleksi ketat harus dilakukan untuk film-film anak-anak dan remaja. Kita sering menyalahkan anak-anak, tapi contoh yang ia tonton demikian buruknya. Memang sebaiknya, orangtua mendampingi ketika sang anak menonton dan mengomentari, tapi apa ada waktu.

Sulitnya, nasehat orangtua sekarang sering tidak didengar anak-anaknya, sepertinya orangtua sekarang ini kurang berwibawa?

Wibawa itu dibangun karena kasih sayang, bukan karena ketakutan. Ia bisa saja patuh karena takut, namun hal itu akan ia ulang kembali dan bersikap masa bodoh. Tapi, kalau dasarnya kasih sayang, maka anak akan tidak tega menyakiti atau membuat sedih orang yang menyayanginya. Persoalannya, masih adakah kasih sayang sehingga anak akan hormat kepada orangtuanya.

Anda pernah menyatakan bahwa agama pegang peranan penting dalam solusi problem keluarga. Bisa dijelaskan lebih jauh?

Itu betul sekali. Kalau agama bisa terpegang penuh oleh sang anak, maka ia akan terlatih untuk dekat dan senang dengan agama. Jadi, bukan terpaksa. Dia rasakan Allah itu dekat, dia berdoa ketika ibu-bapaknya terlambat pulang. Ini penting dalam mengantisipasi ketika sang anak memasuki masa-masa berbahaya di usia remajanya, usia antara 13-15 tahun. Boleh dibilang negeri kita ini mundur dalam masalah moral. Dalam hal ini film Indonesia punya peran besar untuk melanggar semua nilai agama. Sejak kapan agama mentolerir laki-laki dan perempuan itu peluk-pelukan. Hal seperti ini akan mudah ditiru anak-anak remaja.

Punya pengalaman dalam menangani anak-anak bermasalah?

Pernah. Ketika saya berada di Mesir sekitar 1958. Sambil melakukan studi untuk S3, saya nyambi latihan di klinik jiwa. Kebetulan penelitian saya tertuju kepada anak umur 6-12 tahun dengan tema alat-alat permainan untuk menghilangkan emosi. Jadi, permainan sebagai pengobatan kejiwaan. Ini yang jadi disertasi saya. Banyak persoalan yang saya amati ternyata permainan bisa menangani masalah kejiwaan anak-anak. Mereka mengungkapkan emosinya lewat merusak alat-alat permainannya.

Apa itu juga dilakukan di Indonesia?

Tidak lagi, karena permainan yang banyak beredar di sini lebih banyak menggunakan listrik. Jadi, tidak mendidik dan tidak mampu menjadi alat pengungkapan emosi. Anak-anak sekarang perlu alat-alat permainan yang murah, namun bisa menjadi saluran pengungkap emosi.

Apa aktivitas Anda saat ini?

Kalau tidak mengajar di IAIN, ya menerima pasien. Hanya di hari Sabtu dan Ahad saya tidak mau terima pasien. Untuk istirahat saja. Selain itu saya juga menulis. Hampir semua contoh-contoh yang ada dalam buku saya tentang masalah remaja, psikologi, dan kesehatan mental berasal dari pengalaman saya memberi nasehat kepada pasien. Selain itu, saya juga menjadi Ketua Yayasan Pendidikan Ruhama yang membuka pendidikan sejak TK, SD, SMP, dan SMA. Kalau berdakwah, ya kadang di radio dan televisi.

Ada pengalaman menarik dalam mengobati pasien?

Pernah ada seorang anak kecil dibawa ibunya menghadap saya. Anak itu ternyata sudah seminggu tidak mau bicara dan makan. Kedua orangtuanya bingung menghadapi sikap anaknya itu. Saya berusaha membujuk anak itu. Tapi sia-sia. Anak berusia lima tahun itu tetap saja tidak mau bicara dan makan. Saya lalu memanggil ibunya. Saya tanyakan, apakah anak itu melihat suatu kejadian yang tidak mengenakkan di rumahnya. Dengan jujur sang ibu mengatakan bahwa ia dan suaminya seminggu lalu bertengkar di hadapan anak tersebut, bahkan menyebabkan sang anak menangis. Saya lalu mengerti, anak itu mengalami trauma akibat pertengkaran kedua orangtuanya.

Untuk penyembuhan sikap kelainan anak itu, saya memutuskan untuk meminta kedua orangtuanya berkonsultasi selama tujuh pertemuan. Satu tahun kemudian, saya bertemu dengan keluarga tersebut di jalan raya, mereka tampak bahagia. Saya katakan pada anak itu yang sudah bertumbuh besar, apa kamu masih tidak makan. Dengan tersipu-sipu anak itu menjawab, Nggak Bu. Sekarang saya sudah makan. Orangtuanya tertawa ketika itu.

Pasang tarif setiap kali praktek?

Tidak. Hanya saja, banyak yang tidak enak sendiri dan memberi uang. Saya katakan kalau merasa sungkan terserah saja, pokoknya saya tidak meminta uang atau memasang tarif. Uniknya, kadang mereka tidak memberi uang, tapi memberi oleh-oleh. Kalau musim buah, wah saya selalu dapat buah-buahan segar. Pernah orang bawa durian besar, dia bilang ini baru jatuh semalam di kebun, untuk Ibu. Saya sih senang saja. He..he..he.


Redaktur: Heri Ruslan
Sumber: harian republika, edisi Jumat, 23 Desember 1994

Pribadi Prof Zakiah Dikagumi Keluarga & Kerabat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wafatnya pakar psikologi Islam, Prof Zakiah Daradjat, Selasa (15/1) pagi WIB, menyisakan cerita. Dimata keluarga dan kerabat dekatnya, almarhumah Zakiyah adalah sosok guru teladan.

Sepupu Zakiah, Icu Zukafil mengatakan almarhumah adalah sosok yang dikagumi dan menjadi panutan bagi keluarga dan kerabatnya.

"Semasa hidup beliau sama sekali tidak pernah marah. Jika beliau menegur, beliau bicara dengan senyum. Jadi kadang kita tidak tahu kapan beliau marah," kata Icu di Jakarta.

Selain itu, kata Icu, Zakiah dikenal keluarga sangat gigih menuangkan wawasan keilmuannya lewat tulisan atau mengajar. Meski usianya sudah senja dan kesehatannya terus menurut, Zakiah tak pernah berhenti menulis untuk menuangkan pemikirannya untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan Islam.

Menurut Icu, sebagai seorang cendekiawan Zakiyah terhindar dari kepikunan, meski usianya sudah tergolong sepuh. Guru besar UIN Jakarta itu tutup usia saat dirawat di RS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada usia 83 tahun.

Redaktur: Karta Raharja Ucu
Reporter: Hannan Putra

Mengenang Zakiah Daradjat: Berjuang tanpa Pamrih

REPUBLIKA.CO.ID,

Bila Prof Dr Zakiah Daradjat tahu benar tentang watak dan berbagai permasalahan yang dihadapi remaja sekarang ini, sebenarnya bukanlah hal yang aneh. Ini, karena selama 30 tahun, guru besar IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini hampir setiap hari menggeluti berbagai persoalan yang berkaitan dengan remaja.

Di ruang praktiknya di Jalan Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan, psikolog kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 6 November 1928, setiap petang rata-rata menghabiskan waktu dua jam menerima pasiennya yang kebanyakan anak remaja, atau orangtua yang mempunyai masalah dengan anak-anaknya.

''Setiap hari, selama lima hari dalam sepekan, rata-rata saya menerima tiga hingga lima pasien,'' jelas doktor psikologi lulusan Universitas Ein Shams, Kairo, Mesir tahun 1964 kepada Republika. Masing-masing pasien, ia beri waktu sekitar 45 menit, untuk berkonsultasi mengenai pasalah psikologi.

Dalam praktek psikologinya itu, Zakiah mengaku tak memasang tarif. Ia dengan tekun mendengarkan keluhan para pasiennya itu, tanpa memandang apakah mereka dari golongan masyarakat mampu atau bukan. ''Seringkali saya tidak menerima bayaran apa-apa, karena memang tujuan saya untuk menolong sesama manusia,'' ucap guru besar bidang tarbiyah IAIN Jakarta ini.

''Bahkan kadang-kadang saya hanya menerima bayaran buah-buahan.'' Sarat dengan pengalaman praktik itu, yang menurutnya banyak yang tidak diperolehnya dalam teori selama 8 1/2 tahun mengikuti pendidikan di Kairo, Zakiah Daradjat sangat prihatin terhadap kenakalan remaja akhir-akhir ini. ''Tapi yang lebih memprihatinkan saya, adalah banyaknya orangtua yang kurang memperhatikan mereka. Bahkan secara tidak sadar banyak orang tua yang ikut memberikan andil dalam menjerumuskan anaknya itu,'' kata wanita yang memulai karirnya di Indonesia sebagai pegawai Biro Perguruan Tinggi Agama, Departemen Agama (1964-1967).

Menurutnya, kebanyakan anak nakal karena di rumah kurang mendapat kasih sayang orangtuanya. Karena itu, Zakiah yang juga pernah menjadi guru besar bidang pendidikan kesehatan Universitas Islam Jakarta itu, mengaku selalu mengelus dada bila mendengarkan orangtua yang selalu menyalahkan anak-anaknya yang nakal.

''Kita hanya tahunya mereka nakal. Tapi kita tidak mau tahu apa penyebabnya. Padahal para remaja yang kita anggap nakal dan tidak baik itu, mereka sebenarnya adalah orang-orang yang menderita,'' ujar Zakiah, yang selama di Mesir belajar ilmu pendidikan dengan spesialisasi psikoterapi, sampai meraih gelar doktor.

Zakiah, yang telah menulis 32 buku tentang remaja, pendidikan dan kesehatan mental itu, menilai bahwa terjadinya tawuran antarremaja, dan sejumlah kasus kejahatan yang mereka lakukan akhir-akhir ini, adalah akibat dari tidak mampunya mereka mengendalikan diri.

Dari segi psikologi, ini akibat pertumbuhan mereka yang cepat, sehingga ia terdorong mengikuti hal-hal yang dia lihat, sekalipun hal ini bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral. Dan kesalahan orangtua, karena mereka kurang memahami pertumbuhan dan proses kejiwaan para remaja. Bukan hanya itu, mereka bahkan kurang akrab. Padahal para remaja itu, sesungguhnya sangat membutuhkan orang yang mau dan mampu memahami keadaan dirinya.

Bagi Zakiah, kesibukan orangtua bukan menjadi alasan untuk tidak memperhatikan anak-anaknya. ''Boleh saja orang tua sibuk, tapi masa sampai tidak ada waktu sama sekali untuk memberikan perhatian kepada anak-anak. Kalau untuk pekerjaan kantor kita mempunyai waktu, masa untuk keluarga tidak ada,'' kata psikolog yang juga dikenal sebagai mubalighah itu. Ia menambahkan, dampak yang sangat fatal bagi para remaja yang kurang mendapatkan perhatian orang tuanya, mereka akan mudah terpancing pada perbuatan yang negatif, seperti melakukan hal-hal yang tercela, minum-minuman keras, bahkan sampai obat-obat terlarang.

Zakiah yang sampai kini aktif mengisi kuliah subuh di RRI, dan sejumlah radio swasta, menyayangkan sejumlah tayangan di TV maupun film, yang menurutnya telah ikut menjerumuskan para remaja. Apalagi iklan-iklan yang disodorkan TV swasta, yang bukan saja dari segi agama, tapi dari segi moral Pancasila pun bertentangan.

Sebelum membuka praktek di Indonesia, selama tiga setengah tahun Zakiah telah berpengalaman menangani para remana bermasalah di Mesir. Menurutnya, pengalamannya di Arab itu sangat berharga. ''Alhamdulillah, banyak anak yang semula bandel, setelah datang ke saya, kembali menjadi anak-anak yang baik. Dan demikian juga yang terjadi selama hampir 30 tahun saya membuka praktek di tanah air,'' kata Zakiah yang telah menterjemahkan 13 buku dari bahasa Arab.

Dengar Keluhan Anak

Orangtua, kata Zakiah yang juga sering ceramah di majelis-majelis taklim, hendaknya mau mendengarkan keluhan anaknya. Karena hal itulah yang sangat didambakan para remaja. Para orangtua sekarang ini, menurutnya, sangat jarang berdialog dengan anak-anaknya. ''Banyak orang tua belum apa-apa sudah menyemprot anaknya, tanpa mau mendengarkan keluhan mereka,'' jelas Zakiah.

Akibat dari banyaknya orangtua yang kurang perduli dengan anak-anaknya, anak-anak menjadi sumpek di rumah. Dan kesumpekan itu lalu merela lampiaskan dengan tawuran di jalan-jalan. ''Saya yakin bila para remaja itu mendapatkan 'saluran' di rumahnya, mereka tidak akan liar di jalan-jalan,'' jelasnya.

Menurut Zakiah, para remaja putra biasanya sangat mengidolakan ayahnya. ''Ia sangat mendambakan perhatian ayahnya. Tapi karena ayahnya sibuk, ia menjadi kecewa karena tidak mampu bercerita pada ayahnya,'' ujarnya. Kondisi yang lemah inilah yang mengakibatkan mereka mudah terpengaruh apa pun yang datang dari luar. Demikian pula para remaja puteri. Karena ibunya yang seharusnya menjadi idolanya sangat sibuk, maka perhatiannya beralih kepada orang lain, termasuk para pembantu rumah tangga.

Karena itu, ia menghimbau kepada para orangtua, agar minimal satu hari dalam seminggu ada waktu untuk santai bersama keluarga di rumah. ''Untuk menuju keluarga sakinah, di mana rumahku merupakan surgaku, hal ini harus ada dalam setiap keluarga,'' katanya.
Dia mencohkan Nabi Muhammad SAW, sekali pun mendapat tugas berat dari Allah SWT masih mempunyai waktu untuk bersantai-santai dengan keluarganya. ''Bahkan Nabi sering membelai-belai dan menggendong kedua cucunya, Hasan dan Husein,'' kata wanita yang ketika di SD, selalu mendapatkan nilai 9 untuk mata pelajaran berhitung.

Praktek psikologi yang dilakukan Zakiah memang lebih diutamakan pada pendekatan agama. ''Dengan memasukkan faktor agama, maka konsultasi tidak memakan banyak waktu. Sebab si pasien bisa melanjutkan sendiri,'' alasannya. Dan dia sendiri sangat menyesalkan bahwa sebagian besar remaja sekarang kurang mendapatkan pendidikan agama dan moral yang tepat.
''Padahal kalau ajaran agama bisa menyatu kepada pribadi para remaja, mereka condong mencari penyelesaian permasalahan yang mereka hadapi sesuai dengan ajaran agama,'' kata Zakiah.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Alwi Sahab
Sumber: harian republika, edisi Jumat, 22 April 1994

Zakiah Daradjat, Simbol Muslimah Asia Tenggara


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosok Zakiah Daradjat terkenang baik di kalangan yang mengenalnya. Pribadinya yang sangat percaya diri membuat Zakiah dikagumi banyak pihak.

Bagi Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar, Zakiah Daradjat adalah simbol muslimah di Asia Tenggara. Dia mampu menjadi perempuan pertama yang dapat mengangkat dirinya sebagai tokoh elite umat. Bukan hanya di Indonesia, namun juga di Asia Tenggara. "Beliau adalah simbol muslimah Asia Tenggara waktu itu," kata Nasaruddin, Selasa (15/1).

Menurutnya, Zakiah menjadi sosok sentral muslimah Asia Tenggara. Dalam ajang internasional, Zakiah sering didaulat untuk mewakili muslimah Asia Tenggara. Menurut Nasaruddin, hal itu karena percaya dirinya yang besar, kemampuannya yang mumpuni, ditambah penguasaan bahasa Arabnya yang fasih. Padahal, pada masa itu, belum ada sosok muslimah yang mampu menembus level itu.

Nasaruddin menambahkan, Zakiah juga menjadi sosok yang bisa diterima semua kalangan. Bukan hanya di lingkungan Muhammadiyah, di Nahdatul Ulama dan gerakan Islam lain juga menerima dengan baik. Zakiah juga menjadi perempuan pertama yang setelah menyelesaikan program Doktornya di Mesir, langsung menjabat sebagai Direktur Perguruan Tinggi di Kementerian Agama.

Selain sebagai penceramah ulung, kepiawaian Zakiah adalah menulis buku. Sampai saat ini, kata Nasaruddin, sudah banyak buku Zakiah yang diterbitkan. Prestasi itu sulit disamai oleh perempuan lain sampai saat ini. Bisa jadi, tambah Nasaruddin, Zakiah menjadi sosok muslimah yang sulit ditemui lagi. "Pikirannya moderat dan tidak membeda-bedakan orang," tegas Nasaruddin.

Bahkan, tambah mantan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag itu, sosok Zakiah seperti sosok Hamka dalam versi muslimah. Meskipun orang Padang, Zakiah tidak pernah memandang etnik maupun golongan. Indonesia kehilangan muslimah yang mungkin tidak ada lagi yang menyamai, tegas Nasarruddin.

Redaktur: Dewi Mardiani
Reporter: Agus Raharjo

Hamidah Quthb, Informan Pemberani

 REPUBLIKA.CO.ID, Belia yang tengah tumbuh dan sangat sensitif sering terkejut dengan hantu yang misterius.

Demikian Cendekiawan Muslim Sayyid Quthb menyebut saudari bungsunya, Hamidah Quthb.

Memori itu diabadikan di sebuah buku bercorak sastrawi dan terbit pada 1945. Judulnya, Empat Spektrum (al-Athyaf al-Arba'ah), sebuah buku catatan hasil karya empat saudara, Sayyid, Muhammad, Aminah, dan Hamidah.

Keempat bersaudara terkenal kekompakannya. Mereka bersama-sama mengkaji ilmu dan berdakwah. Bahkan, tak gentar menghadapi ujian.

Hamidah terkenal sebagai sosok daiyah (sebutan untuk dai perempuan—Red) yang gigih memperjuangkan kebenaran. Tokoh kelahiran Kairo, 1937 ini, memulai karier dakwahnya sejak bergabung dengan Ikhwanul Muslimin (IM).

Ketertarikannya terhadap kelompok yang dibentuk oleh Syahid Hasan al-Banna itu berawal ketika sang kakak, Sayyid Quthb, bergabung dengan jamaah tersebut pascakembali dari Amerika Serikat.

Hamidah getol mensyiarkan Islam, memberdayakan masyarakat, dan melawan kezaliman. Bersama sejumlah daiyah, ia mengemban misi mulia itu. Salah satunya ialah Zainab al-Ghazali.

Pada 1954, rezim Gamal Abd El-Nasir menangkap sebagian besar anggota IM. Sang kakak, Sayyid Quthb, turut diciduk oleh penguasa zalim tersebut. Mereka divonis dengan sanksi yang beragam. Ada yang dihukum seumur hidup. Tak sedikit yang dijatuhi hukuman mati.

Hamidah tidak tinggal diam. Semangatnya tak luntur. Ia terpanggil untuk berbuat sesuatu. Bersama beberapa tokoh, seperti Aminah Ali, Naimah Khathab, Zainab al-Ghazali, dan Khalidah al-Hudhaibi, Hamidah mendampingi dan mengurus keluarga para anggota IM yang ditahan.

Hamidah memiliki andil yang besar dalam proses Gerakan (tandhim) IM 1965.   Embrio gerakan itu telah muncul pada 1957.

Sayyid Quthb terpilih sebagai penanggung jawab dan koordinator gerakan tersebut. Padahal, penulis “Tafsir Fi Dhilal Alquran” itu berada di balik jeruji besi.

Untuk kelancaran informasi dengan para anggota di luar sel, Hamidah ditunjuk sebagai informan. Usianya kali itu masih 21 tahun. Tak mudah berposisi sebagai utusan kala itu. Prosedur penjara sangat ketat, bahkan nyaris berubah setiap waktu.

Tak jarang, terpaksa menunggu selama lima jam di luar penjara. Tak ada tempat berteduh, di bawah sinar matahari yang menyengat. Hanya untuk satu tujuan, bertemu dengan sang kakak yang divonis 15 tahun penjara.

Kondisi itu berlangsung hingga 1965. Gerakan revolusi untuk menggulingkan tiran yang zalim gagal. Pada tahun yang sama, seluruh anggota keluarga Quthb ditangkap. Mereka mendapat siksaan pedih.

Pada tahun itu juga, Pengadilan Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Fuad ad-Dajawi menjatuhkan vonis mati terhadap Sayyid Quthb. Keputusan dari tiran zalim. Sebuah catatan merah, sejarah kelam Mesir modern.

Demikian pula Hamidah. Ia mendekam di penjara selama enam tahun empat bulan. Ini ditambah dengan hukuman kerja rodi selama sepuluh tahun.

Saat itu, ia masih gadis dan berumur 29 tahun. Keimanannya tak luntur sedikit pun. Justru, keyakinannya bertambah. Ia mampu menghafal Alquran 30 juz selama di penjara.

Cobaan itu berakhir ketika ia dinyatakan keluar penjara pada 1972. Selang beberapa saat, ia menikah dengan seorang dokter spesialis jantung, Prof Hamdi Mas'ud.

Hamidah dan suaminya hijrah ke Paris, Prancis. Di “Negeri Menara Eiffel” ini Hamidah tetap berdakwah.

Ia mempersilakan Muslimah belajar di tempat tinggalnya. Ia tetap kuat memegang prinsip. Ia menolak melepaskan jilbab untuk mendapatkan perpanjangan visa.

Pemerintah setempat akhirnya berkompromi, dan memberikan keleluasaan baginya untuk tetap berhijab. Demikian pula Muslimah yang lain.

Di mata sang suami, yaitu  Prof Hamdi Mas'ud, ada dua peristiwa yang menunjukkan spiritualitas dan keimanan Hamidah yang tinggi. Deraan cobaan yang menimpa dirinya dan anggota keluarganya tak membuatnya mundur untuk melawan kezaliman.

Yang pertama, ia tabah saat saudara sepersusuannya, Rifat Bakar Syafi', meninggal akibat siksaan di penjara oleh rezim Gamal Abd El-Nasir. Mayoritas keluarganya mendapat intimidasi.

Tak sedikit yang menemui ajal mereka. Termasuk, kakaknya sendiri, Sayyid Quthb. Beberapa saat menjelang hukum gantung dilaksanakan atas saudaranya itu, ia menemui kakak tercintanya itu.

Detik-detik terakhir ia berbicara dan bertatap muka. “Betapa saya rasakan keteguhan imannya,” kata sang suami. Pada Selasa, 17 Juli 2012, daiyah yang terkenal sastrawan ini menghadap Sang Khalik. Kematiannya tersebut akibat penyakit usus buntu akut yang ia derita.




Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Nashih Nashrullah

Sunday, January 13, 2013

Jejak Langkah Fazlur Rahman

REPUBLIKA.CO.ID, Pandangan-pandangannya tentang Alquran, hadis, dan hukum-hukum tentang berbagai masalah kerap menimbulkan kontroversi.

Dunia Islam tak bisa melewatkan tokoh yang satu ini, Fazlur Rahman.

Dia adalah pemikir Islam di abad ke-19 yang pemikirannya kerap mengundang kontroversi, namun sebenarnya mengusung semangat perubahan yang positif dalam Islam.

Fazlur lahir di Pakistan pada 21 September 1919. Ia dilahirkan di tengah keluarga Muslim yang sangat taat dan menjalankan tradisi mazhab Hanafi.

Berkat latar belakang keluarga seperti itu pula, Fazlur tumbuh menjadi sosok Muslim yang juga sangat serius dalam beribadah.

Ayahnya adalah seorang alim yang terdidik dalam pola pemikiran Islam tradisional. Namun, sang ayah tidak menutup dirinya dengan modernitas.

Sang ayah mengajarkannya bahwa modernitas bukanlah racun, melainkan sebagai sebuah tantangan ataupun kesempatan yang baik untuk membangun keimanan dan moralitas. Ini pula yang diyakini Fazlur sejak kecil.

Setelah menamatkan pendidikan menengah, dia melanjutkan studi ke Universitas Punjab dan memperoleh gelar MA dalam sastra Arab pada 1942. Lalu, pada 1946, Fazlur melanjutkan pendidikannya ke Inggris. Keputusan untuk belajar ke Inggris dianggap sebagai hal yang aneh oleh orang-orang di sekitarnya.

Saat itu, tidak umum bila seorang Muslim pergi ke Barat untuk belajar Islam di sana. Bila ada yang berani mengambil langkah seperti ini, risikonya adalah ia tidak akan diterima kembali di negeri asalnya.

Namun, Fazlur tidak ambil pusing. Dia masuk sebagai mahasiswa program doktoral di Oxford University, Inggris. Pada 1951, dia berhasil meraih gelar doktor filsafat.

Setelah menamatkan pendidikan di Oxford, ia mengajar selama beberapa tahun di Durham University, Inggris. Selanjutnya, menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Institute of Islamic Studies, Mc Gill University, Kanada.

Fazlur Rahman kembali ke Pakistan sekitar 1960 dan menjabat selama beberapa waktu sebagai salah seorang staf senior pada Lembaga Riset Islam.

Dua tahun kemudian, ia ditunjuk sebagai direktur lembaga tersebut. Dia juga diangkat sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam oleh Pemerintah Pakistan.

Di dua lembaga itulah, Fazlur berusaha menyebarkan pemikirannya tentang Islam.  Dia menggagas adanya penafsiran kembali Islam untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masa itu.

Kritik-kritiknya semakin tajam ketika mengemukakan pandangan tentang definisi “Islam” bagi Pakistan, terutama terhadap pandangan kaum tradisionalis dan fundamentalis.

Pandangan-pandangannya tentang alquran, hadis, dan hukum-hukum tentang berbagai masalah menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan dan berskala nasional. Situasi semakin tidak terkendali dan Fazlur terus-menerus mendapatkan hujatan.

Tidak ada yang mau mendukung pemikirannya. Akhirnya, Fazlur pun mengajukan pengunduran diri dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam. Tak lama kemudian, ia melepas jabatan sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam Pakistan.

Hijrah ke Chicago

Merasa tak nyaman di Pakistan, dia memutuskan hijrah ke Chicago, Amerika Serikat (AS). Sejak 1970, ia menjabat sebagai guru besar kajian Islam dalam berbagai aspeknya pada Department of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago.

Menetap di AS, Fazlur Rahman merasa memperoleh kebebasan intelektualnya. Ia  menyusun pemikiran-pemikirannya tentang pembaruan dalam Islam dan kepadanyalah para mahasiswa dari berbagai negeri Muslim belajar Islam.

Selain memberi kuliah dan kajian keislaman, dia aktif dalam berbagai kegiatan intelektual, seperti memimpin proyek penelitian, mengikuti berbagai seminar internasional, serta memberikan ceramah di berbagai pusat studi terkemuka.

Ia pun aktif menulis buku-buku keislaman dan menyumbangkan artikel ke berbagai jurnal internasional. Karya-karyanya mencakup hampir seluruh studi Islam normatif maupun historis.

Dan, dia mulai mengidentifikasi diri sebagai neomodernis sehubungan dengan usaha pembaruan yang sedang dilancarkan. Fazlur meninggal dunia pada 26 Juli 1988 di Chicago.

Sejumlah pengamat menilai Fazlur adalah seorang tokoh Islam liberal.

Namun, pengamat politik dan dosen pascasarjana Universitas Indonesia, Bachtiar Effendi, menyatakan pemikiran Fazlur tak bisa serta-merta dikaitkan dengan gerakan Islam liberal.

Dia adalah pengusung neomodernisme yang tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan liberalisme. Hal ini tampak dari sikap Fazlur yang tidak menentang adanya negara Islam, seperti Pakistan.

Ini bukanlah sikap seorang pendukung Islam liberal yang cenderung memisahkan agama dan nasionalitas.

“Dengan senang hati Fazlur menerima kenyataan bahwa Pakistan adalah negara Islam. Dengan senang hati pula Fazlur memberikan nasihat-nasihat dan masukan bagi Jenderal Ayyub Khan, pemimpin Pakistan kala itu,” ujarnya dalam peringatan mengenang 20 tahun wafatnya Fazlur Rahman, beberapa waktu lalu.

Meski demikian, penerimaan Fazlur terhadap gagasan negara Islam Pakistan bukannya tanpa sikap kritis. Ia berusaha memberi muatan dan isi yang berbeda kaitannya dengan negara Islam Pakistan.

Fazlur, menurut Bachtiar, adalah sosok pemikir yang kompleks, sehingga sebutan-sebutan, seperti tradisionalis, modernis, neotradisonalis, neomodernis, tidak cukup tepat untuk menjelaskan dirinya.

Yang pasti, Fazlur adalah tokoh Islam yang berusaha mengembalikan sifat Islam sebagai agama yang dinamis dan tidak kalah dengan modernitas yang bisa diterima kapan saja meskipun telah melintasi waktu ribuan tahun lamanya.

Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Fitria Andayani

Saturday, January 12, 2013

Belajar Lagi dari Nol

Belajar lagi dari nol di dunia baru dengan pengalaman NOL. Sulit, tapi harus dilakoni jika tak mau mati di tengah jalan. Bismillah...