REPUBLIKA.CO.ID, Di kediaman Prof. Dr. Zakiah Daradjat,
Kompleks Wisma Sejahtera Jl Fatmawati 6, Jakarta Selatan, setiap petang
cukup ramai dengan kehadiran beberapa pasien untuk berkonsultasi.
''Ya,
sehari bisa 4 hingga 10 orang. Setiap orang biasanya saya terima
sekitar 45 menit untuk menyampaikan berbagai persoalan hidupnya,'' kata
wanita kelahiran Bukittinggi, 6 November 1929 itu mengomentari kesibukan
yang telah ia jalani selama 30 tahun itu.
Ketika menerima
Republika, Rabu lalu ia tengah sibuk ''mengobati'' seorang pasien
wanita. Menjelang berakhirnya wawancara, seorang wanita muda diantar
seorang laki-laki telah menanti. ''Memang yang paling banyak konsultasi
itu wanita. Sepertinya laki-laki itu sombong tidak merasa punya
masalah,'' katanya sambil tertawa. Prof. Dr. Hj. Zakiah Darajat memang
dikenal ahli jiwa yang sering menggunakan pendekatan agama sebagai
solusi pemecahan persoalan yang dihadapi pasien.
Guru besar IAIN
Jakarta ini mulai membuka konsultasi kejiwaan sejak ia pulang studi dari
Mesir. Setelah menamatkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Agama
Islam, Yogyakarta 1955, ia memang memperoleh tawaran sekolah di
Universitas Ein Syams, Kairo, Mesir. Ia memperoleh gelar doktor
pendidikan dengan spesialis psikoterapi pada 1964 dari Universitas Ein
Syams.
Sepulangnya di Tanah Air ia segera mengabdikan diri pada
Departemen Agama. Menag ketika itu K.H. Saifuddin Zuhri menyarankan ia
membuka klinik konsultasi di Depag. Sejak itu pekerjaan menasehati orang
menjadi bagian hidupnya yang tak pernah lepas hingga kini. Terakhir, ia
menjabat Direktur Pembinaan Agama Islam hingga pensiun pada 1984.
Setelah
pensiun ia malah diangkat menjadi anggota DPA hingga 1988. Bersamaan
dengan keanggotaannya di DPA, ia mendirikan Yayasan Pendidikan Ruhama,
lembaga pendidikan sejak TK hingga SMA yang berlokasi di Legoso,
Cirendeu, Ciputat.
Rajin menulis dan berdakwah, penggemar
olahraga renang di masa mudanya ini, kini sudah menghasilkan puluhan
buku mengenai psikologi dan agama. Di antara bukunya Kesehatan Mental
(Gunung Agung, 1969), Ilmu Jiwa Agama (Bulan Bintang, 1970), dan Problem
Remaja Indonesia (Bulan Bintang, 1974). Akhir-akhir ini, ia menerbitkan
sendiri bukunya lewat yayasan yang didirikannya, Yayasan Kesehatan
Mental YPI Ruhama.
Dalam soal dakwah, sepertinya ia tak pernah
lelah. Pada tahun 60-an ia bisa berceramah lima sampai enam kali sehari.
Sering pula ia tampil di RRI, TVRI, dan kini di beberapa stasiun
televisi swasta. Pernah ia berceramah secara berantai di 10 tempat tanpa
henti. Anehnya, dalam setiap ceramah ia menemui orang-orang yang sama.
Ternyata, mereka --rata-rata kaum ibu-- adalah penggemar setianya.
Pendapatnya
tentang wanita, ''Saya senang mereka bekerja, tapi jangan sampai lupa
kepada kedudukannya sebagai ibu. Kasihan anak-anak mereka,'' katanya. Ia
pun bercerita banyak mengenai peran kaum wanita masa kini, terutama
dalam pendidikan dan keluarga. Mengenakan kebaya bermotif kembang dan
berkerudung merah jambu, tokoh wanita yang masih terlihat energik ini
melayani wawancara Republika di ruang kerjanya. Berikut petikan
wawancara itu:
Sekarang ini banyak wanita yang bekerja di luar
rumah. Lalu, anak-anak lebih banyak diasuh oleh pembantu daripada ibunya
sendiri. Menurut Anda, apakah kondisi yang demikian ini yang
menyebabkan anak-anak sekarang lebih nakal?
Kalau sikap
keibuannya hilang ya membawa akibat, anak-anak menjadi terlantar,
suasana rumah tangga pun terganggu. Ia terlalu sibuk sehingga melupakan
peran keibuannya di rumah. Tapi, secara umum saya masih belum melihat
itu meluas di Indonesia, lebih banyak hanya terjadi di kota-kota besar.
Bagaimana
dengan kecenderungan wanita sekarang yang lebih mengutamakan sekolah
atau karirnya sehingga menunda perkawinan atau enggan memiliki anak?Ada
memang yang demikian, tapi saya kira tidak banyak. Masih banyak yang
ingin berkeluarga, ingin punya anak. Hanya saja, karena wanita-wanita
itu masih sibuk belajar dan biasanya pilihan setelah sekolah nantinya
bekerja, maka ia lebih mendahulukan bekerja. Tentunya, kalau ia akan
berkeluarga, maka ia akan memilih-milih. Tidak seperti dulu yang hanya
mengikuti perintah orangtuanya.
Tapi, saya sering menemukan di kalangan mahasiswi punya kecenderungan
untuk segera menikah. Ini banyak. Tapi, bila ia sudah sarjana dan
bekerja, memang akan punya pikiran lain. Kalau sudah bekerja, ia ingin
menjadi wanita karir yang baik. Akibatnya, mereka lupa untuk
berkeluarga. Nah, lupa inilah hal yang tidak baik. Dia boleh jadi
pekerja yang baik, tapi kalau ia berkeluarga, maka ia harus menjadi
isteri dan ibu yang baik.
Kira-kira, apa yang menjadikan mereka lupa?Ya,
mengejar prestasi. Misalnya, ketika dia masih sekolah pintar. Ketika
bekerja, kalau tidak pintar rasanya tambah pusing. Sederhana saja, ia
harus lebih berprestasi dari rekan-rekan kerjanya. Ia mengejar prestasi
dan kalau bisa naik pangkat, dapat posisi baru. Ini manusiawi karena
setiap orang punya keinginan seperti itu.
Bagaimana pendapat Anda tentang kaum wanita yang ingin berkarier?Boleh
saja, asal ia tidak meninggalkan kewanitaannya. Wanita itu dalam
pandangan Islam harus pandai menjaga diri, tidak mudah tergoda,
berpakaian sopan, tetap mencintai rumah tangganya, bertanggungjawab, hak
dan kewajiban sebagai istri dan ibu itu harus ia tunjukkan. Jadi tidak
terlarang dia berkarir. Tapi, kalau di rumah tangga, sebagai istri ia
menganggap suaminya teman kantor, ya ceritanya jadi lain. Ah saya juga
capek, ini nggak boleh. Sebagai istri, di rumah ia harus pandai
menempatkan diri di hadapan suaminya.
Kenyataannya, banyak wanita karier yang menuntut dirinya sejajar dengan suaminya?Bisa
saja, tapi dengan kesepakatan. Artinya, ia mendapat gaji sama dengan
suaminya atau bahkan lebih. Ia tidak boleh menyombongkan hal ini. Saya
juga kerja, saya juga capek. Gaji saya lebih besar dari kamu. Itu tidak
boleh disebut.
Kalau begitu, beban wanita lebih besar karena harus berperan ganda?Bila
dia sadar dan melaksanakan tugasnya sebagai wanita, dalam bekerja ia
bisa membagi waktu. Ia akan mengatur, porsi untuk bekerja sekian, untuk
anak sekian, dan untuk keluarga sekian. Jadi, ketika ia bekerja, ia
ingat, saya ini ibu lho, saya ini seorang istri. Intinya, jangan lupa
akan semua hal yang mengikat dirinya sebagai wanita dan ibu rumah
tangga.
Tapi, godaan untuk memerankan kedua hal itu cukup besar.
Di kantor ia dituntut untuk mampu mengaktualisasikan diri. Akibatnya,
urusan rumah tangga dia serahkan kepada pembantu rumah tangga, urusan
anak diserahkan kepada pembantu?
Ia boleh saja menyerahkan kepada
pembantu rumahtangga hal-hal tertentu, seperti mencuci, menyetrika, dan
memasak. Tapi, soal menu makanan tetap ia yang tentukan, bukan
pembantu. Mengurus anak, baby sitter boleh saja, tapi sebaiknya yang
mengurus anaknya dia sendiri. Cuci pakaian anak boleh saja pembantu,
tapi yang memberi makan, menyusui anak harus dia. Anaknya yang merengek,
dia harus tangani. Kalau semua ini dia jalankan secara ikhlas, seninya
akan ia temukan dan tidak akan merusak rumah tangga.
Kalau dia
jadi pegawai, dia nggak usah lembur, cukup laki-laki saja. Sekarang,
dengan adanya kebijakan bekerja hingga pukul 4 sore, saya rasa akan
lebih merepotkan kaum ibu. Saya lebih setuju, untuk kebaikan kaum ibu
bila kerja kantor sampai pukul 2 saja.
Alasannya?Bagi
anak kecil, ia tidak akan sanggup membiarkan ibunya terlalu lama di
luar rumah. Paling lama, dalam toleransi terbaik sekitar 5 jam. Kalau
sudah pulang pukul 16.00, sampai rumah pukul 17.00, kepalanya pusing,
anaknya merengek dan ia marah-marah, bisa rusak semua. Itu berat buat
kaum ibu.
Secara psikologis, apa dampaknya?Bagi
anak kecil, usia 2-5 tahun pernah dilakukan penelitian di Inggris. Yang
paling menyenangkan buat anak, ibunya bekerja di luar rumah antara 3-5
jam sehari. Itu yang ideal. Yang sangat penting, kualitas hubungan ibu
dan anak itu bagus. Jadi, bukan kuantitasnya. Kalau ibu seharian di
rumah dan si anak selalu dimarahi, ya tidak baik untuk anak. Sebenarnya,
wanita itu paling baik bekerja untuk kepentingan anaknya. Kalau dia di
rumah, anaknya justru direpotkan ibunya.
Ia bermain, si ibu melarangnya, jangan nanti jatuh. Dia mau melakukan
sesuatu sang ibu banyak membatasi. Jadi, terlalu banyak larangan
membuat sang anak tertekan. Wanita itu, juga ada kebosanan secara
tersembunyi bila ia terus menerus di rumah. Tapi, kalau dikatakan bosan
di rumah itu juga tidak mau, dianggap ibu yang tidak baik. Tapi, yang
pasti ada kebosanan tersembunyi. Ia butuh udara lain, aktivitas lain.
Saya rasa, kalau pekerjaannya tidak sampai larut sore tidak ada masalah.
Lalu, apa kiat untuk membuat anak tidak merasa kehilangan ibunya?Buatlah
sang anak itu rindu kepada ibunya, demikian pula sebaliknya. Kalau
dirindukan anak itu menyenangkan. Kalau anak itu lebih dekat kepada
pembantunya, maka ia akan sulit rindu kepada ibunya. Akibatnya, anak
akan kehilangan figur orang yang paling dekat dengannya.
Ketika
anak makin besar, interaksi dari ibu semakin dibutuhkan. Padahal,
kegiatan ibu juga besar. Apakah hal ini juga menjadi sebab anak
berperilaku menyimpang?Harusnya perhatian semakin
besar. Tapi, meski waktunya sedikit, sebaiknya ia dalam situasi terbaik
ketika berhadapan dengan anaknya. Bisakah usai kerja di kantor, ia
memberi perhatian yang menyenangkan buat anaknya sehingga anak merasa
diikuti dan diperhatikan terus menerus. Libur kerja itu, paling baik
diperuntuk bagi keluarga. Tidak mesti ke luar rumah atau pergi ke
restoran mahal. Cukup masak makanan kesukaan bersama dan makan di rumah.
Yang penting ada perhatian.
Bagaimana pun sibuknya orangtua,
mereka harus terbuka hati untuk mendengarkan semua keluhan anaknya. Jadi
fungsinya untuk menampung uneg-uneg anaknya. Anak yang memiliki
orangtua demikian tidak akan melakukan hal yang buruk. Kenapa? Karena ia
merasa orangtuanya begitu memperhatikannya, sehingga ia tidak tega
orangtuanya bersedih. Maka, jadilah pendengar yang baik dalam semua
persoalan yang dihadapi anak. Jangan jadi penceramah di hadapan anak,
itu akan membosankan diri mereka.
Diskusikan semua persoalan, jangan tekan mereka dengan kemarahan
kita. Berbeda dengan orangtua yang tidak memberi perhatian kepada
anak-anaknya, mereka akan mencari tempat menyampaikan semua keluhan di
luar rumah. Padahal, kawannya atau orang di luar rumah tidak berbeda
dengan dirinya pula yang mendapat tekanan. Akibatnya, ia akan
melampiaskan semua persoalan kepada hal-hal yang buruk, berkelahi atau
yang lainnya.
Kalau begitu, kunci persoalan ada pada komunikasi?Betul sekali. Kalau komunikasi lancar dengan kedua orangtua, sang anak tidak akan menumpuk persoalan dalam dirinya.
Bagaimana dengan faktor luar yang mempengaruhi?Pengaruh
faktor luar bisa saja, tapi kalau pada dasarnya di dalam sudah
menumpuk, maka faktor luar hanya akan menambah beban berat saja. Tapi,
kalau di dalam lancar, maka faktor luar tidak akan mempengaruhi. Kita
sering menyebut banyak anak nakal, tapi sudahkah kita menciptakan
lingkungan yang memberi perasaan tidak nakal kepada anak-anak.
Bagaimana dengan pengaruh berbagai tayangan di televisi?Kalau
orangtua tidak sempat mendidik, apa yang di TV pasti akan ditirunya.
Itu berbahaya sekali. Untuk mengurangi bahaya itu, ia harus akrab dengan
orangtuanya. Kalau orangtua kuat dalam menjalani ajaran agama, maka
sang anak akan meniru, menyerap tanpa sepengetahuan orangtua. Kalau di
rumah ibu dan bapak membiasakan salat berjamaah, maka anak akan ikut dan
pengaruhnya besar sekali buat perkembangan jiwa anak. Itu pendidikan
agama, demikian pula perilaku orangtua. Kalau mereka suka membentak
pembantu, maka anak juga akan menirunya. Ini bahaya. Karena di televisi,
tidak semua nilai yang diharapkan muncul selamanya, maka proses
identifikasi dari anak lewat telivisi, terutama bila pemainnya orang
Indonesia. Memang berat tugas orangtua sekarang dibanding orangtua di
masa lalu.
Apa yang dilihat oleh anak-anak, jauh lebih berbahaya
daripada apa yang didengar. Kalau yang dilihat baik, tidak persoalan.
Tapi, kalau yang dilihat buruk, maka akan mudah ditiru. Di sini saya
usulkan agar semua produk televisi itu tidak menampilkan hal-hal yang
berbau kekerasan, perkelahian, pembunuhan. Kita kan tidak ingin
anak-anak kita meniru hal-hal yang demikian. Kenapa kita cekoki
anak-anak dengan berbagai adegan kekerasan. Film Indonesia lebih bahaya
dibandingkan film asing, karena anak-anak lebih mudah
mengidentifikasikan diri dengan orang sebangsa.
Tapi, bukankah hal itu tidak mungkin dihilangkan dalam kondisi sekarang?Kita
bisa mengurangi dan melakukan pilih-pilihan. Seleksi ketat harus
dilakukan untuk film-film anak-anak dan remaja. Kita sering menyalahkan
anak-anak, tapi contoh yang ia tonton demikian buruknya. Memang
sebaiknya, orangtua mendampingi ketika sang anak menonton dan
mengomentari, tapi apa ada waktu.
Sulitnya, nasehat orangtua sekarang sering tidak didengar anak-anaknya, sepertinya orangtua sekarang ini kurang berwibawa?Wibawa
itu dibangun karena kasih sayang, bukan karena ketakutan. Ia bisa saja
patuh karena takut, namun hal itu akan ia ulang kembali dan bersikap
masa bodoh. Tapi, kalau dasarnya kasih sayang, maka anak akan tidak tega
menyakiti atau membuat sedih orang yang menyayanginya. Persoalannya,
masih adakah kasih sayang sehingga anak akan hormat kepada orangtuanya.
Anda pernah menyatakan bahwa agama pegang peranan penting dalam solusi problem keluarga. Bisa dijelaskan lebih jauh?Itu
betul sekali. Kalau agama bisa terpegang penuh oleh sang anak, maka ia
akan terlatih untuk dekat dan senang dengan agama. Jadi, bukan terpaksa.
Dia rasakan Allah itu dekat, dia berdoa ketika ibu-bapaknya terlambat
pulang. Ini penting dalam mengantisipasi ketika sang anak memasuki
masa-masa berbahaya di usia remajanya, usia antara 13-15 tahun. Boleh
dibilang negeri kita ini mundur dalam masalah moral. Dalam hal ini film
Indonesia punya peran besar untuk melanggar semua nilai agama. Sejak
kapan agama mentolerir laki-laki dan perempuan itu peluk-pelukan. Hal
seperti ini akan mudah ditiru anak-anak remaja.
Punya pengalaman dalam menangani anak-anak bermasalah?Pernah.
Ketika saya berada di Mesir sekitar 1958. Sambil melakukan studi untuk
S3, saya nyambi latihan di klinik jiwa. Kebetulan penelitian saya
tertuju kepada anak umur 6-12 tahun dengan tema alat-alat permainan
untuk menghilangkan emosi. Jadi, permainan sebagai pengobatan kejiwaan.
Ini yang jadi disertasi saya. Banyak persoalan yang saya amati ternyata
permainan bisa menangani masalah kejiwaan anak-anak. Mereka
mengungkapkan emosinya lewat merusak alat-alat permainannya.
Apa itu juga dilakukan di Indonesia?Tidak
lagi, karena permainan yang banyak beredar di sini lebih banyak
menggunakan listrik. Jadi, tidak mendidik dan tidak mampu menjadi alat
pengungkapan emosi. Anak-anak sekarang perlu alat-alat permainan yang
murah, namun bisa menjadi saluran pengungkap emosi.
Apa aktivitas Anda saat ini?Kalau
tidak mengajar di IAIN, ya menerima pasien. Hanya di hari Sabtu dan
Ahad saya tidak mau terima pasien. Untuk istirahat saja. Selain itu saya
juga menulis. Hampir semua contoh-contoh yang ada dalam buku saya
tentang masalah remaja, psikologi, dan kesehatan mental berasal dari
pengalaman saya memberi nasehat kepada pasien. Selain itu, saya juga
menjadi Ketua Yayasan Pendidikan Ruhama yang membuka pendidikan sejak
TK, SD, SMP, dan SMA. Kalau berdakwah, ya kadang di radio dan televisi.
Ada pengalaman menarik dalam mengobati pasien?Pernah
ada seorang anak kecil dibawa ibunya menghadap saya. Anak itu ternyata
sudah seminggu tidak mau bicara dan makan. Kedua orangtuanya bingung
menghadapi sikap anaknya itu. Saya berusaha membujuk anak itu. Tapi
sia-sia. Anak berusia lima tahun itu tetap saja tidak mau bicara dan
makan. Saya lalu memanggil ibunya. Saya tanyakan, apakah anak itu
melihat suatu kejadian yang tidak mengenakkan di rumahnya. Dengan jujur
sang ibu mengatakan bahwa ia dan suaminya seminggu lalu bertengkar di
hadapan anak tersebut, bahkan menyebabkan sang anak menangis. Saya lalu
mengerti, anak itu mengalami trauma akibat pertengkaran kedua
orangtuanya.
Untuk penyembuhan sikap kelainan anak itu, saya
memutuskan untuk meminta kedua orangtuanya berkonsultasi selama tujuh
pertemuan. Satu tahun kemudian, saya bertemu dengan keluarga tersebut di
jalan raya, mereka tampak bahagia. Saya katakan pada anak itu yang
sudah bertumbuh besar, apa kamu masih tidak makan. Dengan tersipu-sipu
anak itu menjawab, Nggak Bu. Sekarang saya sudah makan. Orangtuanya
tertawa ketika itu.
Pasang tarif setiap kali praktek?Tidak.
Hanya saja, banyak yang tidak enak sendiri dan memberi uang. Saya
katakan kalau merasa sungkan terserah saja, pokoknya saya tidak meminta
uang atau memasang tarif. Uniknya, kadang mereka tidak memberi uang,
tapi memberi oleh-oleh. Kalau musim buah, wah saya selalu dapat
buah-buahan segar. Pernah orang bawa durian besar, dia bilang ini baru
jatuh semalam di kebun, untuk Ibu. Saya sih senang saja. He..he..he.