Thursday, August 17, 2006


Menertawakan Hollocaust di Iran


Siapa bilang kisah pembantaian kaum Yahudi saat Perang Dunia II melulu bercerita soal air mata. Datanglah ke Teheran, Iran, bulan-bulan ini. Di Museum Seni Kontemporer Palestina di kota itu, boleh jadi gambaran hollocaust itu justru membuat kita tersenyum, bahkan terpingkal.

Sejak Selasa (15/8) kemarin, di gedung itu memang digelar pameran internasional kartun hollocaust. Direncanakan berlangsung sebulan penuh, setidaknya 204 karya kartun dari berbagai penjuru dunia dipamerkan di sana.

''Kami menggelar pameran ini untuk mengetahui sejauh mana batas kebebasan ala Barat itu mereka yakini,'' kata Masoud Shojai, ketua Asosiasi Kartunis Iran, sekaligus ketua penyelenggara pameran tersebut, kepada kantor berita AFP. 'Mereka' yang dimaksud Masoud tentu saja dunia Barat, yang selama ini selalu mengusung dalih kebebasan untuk melanggar apa pun. Tak kecuali perasaan religius umat beragama lain.
Mau contoh? Satu saja, kasus kartun Nabi Muhammad, yang marak awal tahun ini. Alih-alih mawas diri, dengan dalih kebebasan itu pula, sebagian kalangan di dunia Barat justru mempertanyakan reaksi umat Islam atas munculnya kartun tersebut.
Tak perlu menunggu respons Barat, sebenarnya, karena Masoud sendiri sudah beroleh jawaban. ''Mereka bisa seenaknya menulis apa pun tentang Nabi kita. Tetapi, saat ada seorang saja mempertanyakan soal pembantaian Yahudi, dia malah didenda, bahkan dipenjara,'' Kata Masoud, menyindir.

Ucapan itu merujuk perlakuan hipokrit Barat terhadap David Irving, sejarahwan Inggris yang tidak hanya kena denda atas sikapnya yang skeptis soal hollocaust, tetapi bahkan harus meringkuk di penjara.
Tentang pameran sekaligus kompetisi kartun itu, Masoud sendiri menyatakan tidak bermaksud membantah cerita pembantaian orang-orang Yahudi di PD II tersebut. ''Kami hanya mempertanyakan, mengapa justru rakyat Palestina yang harus membayarnya?'' kata dia.
Kompetisi kartun itu sendiri berlangsung di tengah hebohnya pemuatan kartun Nabi oleh harian Denmark, Jyland-Posten, awal tahun ini. Saat itu, Asosiasi Kartunis Iran menantang para kartunis dunia untuk menuangkan ide mereka seputar hollocaust. Hasilnya, tidak kurang dari 1.100 kartun dari 60 negara masuk ke dalam daftar panitia lomba. Dari jumlah itu, 204 kartun memenuhi syarat untuk ikut dipamerkan dan berpeluang memenangkan hadiah uang. Lumayan besar, yakni masing-masing 12 ribu, delapan ribu, dan lima dolar AS untuk juara satu, dua, dan tiga.

Satu di antara nominator kartun tersebut datang dari peserta asal Indonesia, Tony Thomdean. Dengan jenaka Tony menggambarkan Patung Liberty, Dewi Kemerdekaan, tengah menggenggam daftar korban hollocaust di tangan kiri, sementara tangan kanannya memberikan salut ala Hitler. ''Heil ...!''

''Kami datang kemari untuk belajar banyak tentang pembantaian yang menjadi dasar pendirian negara Israel itu,'' kata Zahra Amoli, seorang mahasiswi yang datang berombongan ke pameran tersebut. Hari pertama pameran tersebut, kemarin, dihadiri seratusan orang pengunjung. Dengan antusias mereka berkeliling, mengamati, dan tak jarang tersenyum simpul menyaksikan kartun-kartun tersebut.
Sikap yang ditunjukkan masyarakat Iran akan hollocaust itu, tidak lepas dari sikap presiden mereka, Mahmud Ahmadinejad. Desember 2005 lalu, saat berpidato di Provinsi Sistan Baluchestan, Ahmadinejad menyatakan, Barat telah memosisikan mitos hollocaust itu melebihi keyakinan akan ketuhanan dan kenabian. ''Mereka menindak keras siapa saja yang meragukan mitos tersebut, namun membiarkan orang-orang yang mengingkari ketuhanan dan agama,'' kata Ahmadinejad, sebagaimana dikutip BBC, saat itu.

Tidak hanya itu, dalam kesempatan tersebut Ahmadinejad juga menyatakan, jika memang Barat sebagai pelaku pembantaian tersebut peduli dengan nasib bangas Yahudi, mengapa bukan sebagian wilayah Eropa, AS, Kanada, atau Alaska, yang diberikan kepada Israel sebagai tebusannya.

''Mengapa justru rakyat palestina yang harus membayar?'' kata Ahmadinejad. Ucapan itulah yang kemudian dikutip Masoud, ketua panitia pameran itu. Dalam banyak hal, hollocaust memang telah menjadi barang dagangan Barat dan tentu saja, Israel. Klaim mereka bahwa selama PD II telah terjadi pembantaian atas sedikitnya enam juta Yahudi, membuat peristiwa itu selalu dihidup-hidupkan. Tidak hanya kamp-kamp penahanan Yahudi, khususnya Kamp Auschwitz, dijadikan museum. Lebih dari 250 museum didirikan di banyak negara untuk menyokong klaim tersebut. Untuk anak-anak sekolah, di AS dan Eropa sejak lama hollocaust menjadi salah satu bahan pelajaran. Untuk masyarakat awam, kurang apa dengan munculnya film-film yang terus memamah biak persoalan itu.

Sedemikian gencarnya propaganda rezim Zionis soal hollocaust, sehingga kalangan Yahudi sendiri tak kurang yang merasa rikuh. Sejarawan Yahudi, Alfred M Lilienthal, bahkan dalam situsnya, www.alfredlilienthal.com, menyebut propaganda itu dengan hollocaust mania. Yang paling mutakhir, Tel Aviv bahkan kembali melakukan upaya mereka sejak lama, untuk menekan Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 27 Januari sebagai ''Hari Hollocaust''.

Tidak hanya itu, seorang anggota Komite Pendataan Hollocaust AS-Polandia, Rana I. Aloy, menyatakan, dalam PD II, tidak hanya orang-orang Yahudi yang mengalami penderitaan. ''Korban paling banyak pada PD II justru adalah orang Rusia,'' kata Aloy.

Klaim hollocaust juga tidak pernah menemukan dokumen pendukung. Bahkan, laporan Palang Merah Internasional dan perundingan sejumlah pejabat negara penentang Nazi, tak pernah disebutkan keterangan soal pembakaran orang-orang Yahudi oleh Nazi tersebut.

Karena itu, tidak heran bila sejarawan Australia, Frederick Toben, pernah mengatakan bahwa Israel sepenuhnya dibentuk atas dasar kisah hollocaust. ''Karena hollocaust adalah kisah bohong, berarti Israel dibangun di atas kebohongan besar,'' kata Toben. Untuk itu, sebagaimana kemudian dialami David Irving, Toben juga mengalami pemenjaraan akibat kata-katanya itu.

Itulah kebebasan ala Barat. Di Teheran, orang-orang Iran mencoba menertawakan hal itu. (dsy)
Sumber : REPUBLIKA, Rabu 16 Agustus 2006

Wednesday, March 01, 2006


Dana Kompensasi BBM dan Jaminan Sosial
Oleh Wiwik Suhartiningsih

Bagi pemerintah, mencabut atau meneruskan subsidi harga BBM, adalah pilihan simalakama. Dengan tingkat harga sekarang, setahun nilai subsidi mencapai Rp 73 triliun lebih. Konsekuensinya alokasi dana untuk sektor lain harus dipotomg. Apabila itu menimpa sektor-sektor pembangunan sosial (pendidikan, kesehatan, pangan, dan yang lain), maka ongkos sosial-politiknya jadi besar.
Menurut pemerintah, subsidi selama ini tidak dinikmati keluarga miskin, tapi kelompok kaya. Sebanyak 50 persen subsidi untuk tujuh komoditas BBM yang berbeda, ternyata dinikmati oleh 20 persen kelompok berpendapatan tertinggi. Sementara warga paling miskin hanya menikmati 6 persen dari subsidi itu. Untuk minyak tanah, ternyata 20% dari penduduk miskin hanya menikmati 10 persen dari subsidi. Sebaliknya, 20 persen warga terkaya menikmati 31 persen dari subsidi itu.
Meneruskan subsidi yang melenceng hanya akan memperlebar disparitas pendapatan. Mencabut subsidi tak kalah peliknya. Menurut Bank Dunia, di Indonesia saat ini lebih dari 110 juta penduduk tergolong miskin, hidup dengan penghasilan di bawah US$ 2 atau sekitar Rp 18.310 per hari. Jumlah penduduk miskin ini setara dengan gabungan dari seluruh jumlah penduduk Malaysia, Vietnam dan Kamboja (Kompas, 24/1/5). Apa jadinya jika pencabutan subsidi BBM itu tidak diantisipasi dampaknya pada penduduk miskin? Pemerintah akan dihujat dan demonstrasi meledak di mana-mana.
Mempertahankan subsidi tanpa koreksi dan sebaliknya mencabut subsidi tanpa antisipasi, dampaknya adalah sama buruknya. Mengurangi subsidi BBM dengan berbagai koreksi adalah pilihan rasional. Itulah yang akan dilakukan. Agar warga miskin tidak menderita akibat pengurangan subsidi itu, minyak tanah tidak dinaikkan. Pemerintah juga menyiapkan program kompensasi kenaikan harga BBM: pengobatan kelas tiga di RS dan sekolah gratis untuk anak-anak miskin, pembangunan infrastruktur pedesaan (pembangunan irigrasi dan jalan desa), dan menambah alokasi dana untuk program beras murah untuk rakyat miskin (raskin). Nilai dana kompensasi itu Rp 20 triliun.
Tulang Punggung Keluarga
Pemerintah yakin, kompensasi ini bisa mengurangi dampak kerugian kelompok miskin. Dari semua kelompok masyarakat, kelompok miskin adalah yang paling menderita apabila subsidi BBM dikurangi. Keluarga miskin sangat mudah terkena risiko akibat alam atau faktor buatan manusia (ekonomi, keamanan dan ketertiban). Mereka tidak memiliki instrumen untuk mengatasi risiko, sehingga mereka menjadi sangat rentan terhadap berbagai gejolak, seperti gejolak harga, yang serta-merta membuat kesejahteraan hidup mereka melorot. Itulah sebabnya, kelompok miskin dan rentan akan cenderung menghindari kegiatan yang berisiko. Benarkah program dana kompensasi BBM tersebut efektif dan mampu mereduksi dampak negatifnya pada keluarga miskin? Bagi warga miskin, pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis jelas sangat diperlukan. Di tengah komersialisasi jasa kesehatan dan pendidikan di Tanah Air, dua program itu akan menjamin kemudahan warga miskin dalam mengakses pelayanan publik dasar di bidang kesehatan dan pendidikan. Pembangunan infrastruktur di pedesaan selain akan membuka isolasi juga akan menstimulasi ekonomi. Sementara raskin dengan harga Rp 20.000/10 kg beras, akan menjamin warga miskin bisa memenuhi 40-60 persen dari total kebutuhan beras bulanan. Dengan hal itu memungkinkan warga miskin untuk mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein mereka.Masalahnya, bagi keluarga miskin, ketika anggota keluarga yang jadi tulang punggung pendapatan keluarga jatuh sakit, seberapa pun besar subsidi kesehatan diberikan, hasilnya tetap tidak akan menolong. Sebagian besar warga miskin bekerja di sektor informal. Mereka mendapatkan upah setelah memeras keringat. Ketika tulang punggung keluarga jatuh sakit, dari mana mereka makan? Hal yang sama juga terjadi pada subsidi pendidikan. Seringkali anak-anak keluarga miskin harus ikut bekerja. Kalau pun anak usia 6-15 tahun biaya sekolahnya gratis, mereka belum tentu bisa menikmatinya.Meskipun tulang punggung keluarga miskin diperiksa dokter tanpa bayar dan memperoleh obat gratis, dampak yang mereka rasakan tetap sama: hilangnya sumber penghasilan yang cepat atau lambat akan menyebabkan mereka rawan kehilangan aset produksinya yang lain. Jika pegadaian bisa menerima, instansi itu menjadi labuhan terakhir. Jika tidak, mereka akan jadi makanan empuk para pengijon dan tengkulak, karena mereka umumnya mudah terperangkap utang yang menjerat ketika kondisi ekonomi mereka labil (Suyanto, 2005). Sistem Jaminan Sosial Yang lebih penting lagi, program kompensasi BBM tidak lebih sebagai program yang sifatnya karitatif (amal) dan temporer. Program kompensasi BBM mulai dibuka tahun 2001 ketika subsidi BBM secara gradual dikurangi. Pertanyaannya, apakah program ini akan tetap ada ketika subsidi BBM benar-benar dihapuskan? Jika pun tetap dipertahankan, sampai tahun berapa pemerintah mampu mengongkosinya? Bukankah dengan alasan APBN yang bleeding pemerintah dengan mudah menghapuskannya? Di titik inilah betapa pentingnya sistem jaminan sosial.Sistem jaminan sosial merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan sosial, juga menjadi komponen penting dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan melalui bantuan terhadap kelompok miskin dan kelompok rawan. Jaminan sosial menjadi penting terutama agar kelompok miskin dan rawan mampu mengatasi risiko terhadap berbagai kerawanan sosial dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Itulah sebabnya, jaminan sosial kini telah berkembang dari belas kasihan (charity) menjadi sebagai salah satu hak asasi warga.Sejak Orde Baru, sistem jaminan sosial itu masih belum ada, kecuali asuransi kesehatan. Itu pun di lapangan selalu muncul masalah: alokasinya melenceng dan keluarga miskin yang kebetulan bisa mengaksesnya hanya mendapat layanan kesehatan minimal. Bagaimana dengan pendidikan, pangan, perumahan dan air bersih? Meskipun konstitusi menjamin itu, sampai sekarang sektor pembangunan sosial itu belum tersentuh. Wajah pembangunan sosial makin mengerikan ketika tahun 1998 kita menyerahkan nasib dibawa pengaruh IMF. Sejak itu pembangunan berwajah neoliberal.Tak bisa dibantah, untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang komplet –yang mencakup semua sektor pembangunan sosial—memerlukan dana tidak sedikit. Alasan pemerintah, kita tidak punya dana banyak. Padahal sesungguhnya dana pemerintah itu banyak. Buktinya, kita setiap tahun bisa mencicil utang yang jumlahnya mencapai sepertiga APBN, mensubsidi bank-bank rekap sampai Rp 70 triliun, dll. Mengapa dibilang miskin! Inti soalnya adalah tidak adanya poltical will untuk itu. Lagi pula, untuk membuat sistem jaminan sosial yang memadai tidak harus menunggu kaya atau kelebihan dana.

Penulis adalah peminat masalah sosial-ekonomi pertanian, alumnus Pascasarjana IPB.

Tuesday, February 28, 2006

Ketika Barat 'Tersengat' Holocaust

Oleh : M Hilaly BasyaDosen Uhamka,
Direktur Eksekutif CMM, dan Ketua LemKIS Yayasan Assa'adah Ulujami

David Irving, sejarawan Inggris, dijatuhi hukuman mati tiga tahun penjara oleh pengadilan Wina, Austria, 21 Februari. Irving dinyatakan bersalah karena mengingkari adanya pembantaian jutaan Yahudi (holocaust) di masa Perang Dunia II. Kenyataan ini berseberangan dengan kasus kartun Nabi Muhammad SAW. Pemerintah Barat justru memberikan ruang kebebasan bagi dunia pers untuk mempublikasikannya di beberapa media lain.
Validitas informasi sejarah yang diutarakan oleh Irving belum tentu mengandung kebenaran. Namun kita menyayangkan jika temuan tersebut dilarang menjadi bahan diskursus publik dan ilmuwan. Sebelumnya Presiden Iran, Ahmadinajed, juga menyatakan hal serupa, dan selama beberapa minggu ini holocaust menjadi diskursus publik di Iran.
OksidentalismeJika dicermati lebih jauh, diskursus holocaust pada dasarnya adalah sebuah produk dari oksidentalisme, yaitu kajian yang dilakukan oleh masyarakat Timur (Islam) tentang kebudayaan dan sejarah Barat. Kajian tersebut menggunakan perspektif dan ukuran-ukuran Timur. Oksidentalisme sebagai sebuah istilah dan disiplin keilmuan diperkenalkan oleh seorang cendekiawan Muslim asal Mesir, Hassan Hanafi, dalam bukunya, Muqaddimah fi 'Ilmi al-Istighrab (1999), atau Pengantar Oksidentalisme. Buku ini diterjemahkan oleh penerbit Paramadina dengan judul Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, 2000. Hanafi mengatakan bahwa oksidentalisme muncul untuk mengurai kesadaran yang terbelah, antara ego (Barat) dan the other (Islam). Sejauh ini Barat telah banyak melakukan kajian terhadap the other (Islam), yang dikenal luas sebagai orientalisme.
Menurut Hanafi, Barat mengidap superiority complex, sehingga kajian para orientalis tersebut mengandung muatan ideologis. Latar belakang tumbuhnya orientalisme sendiri didorong oleh kebutuhan negara-negara Barat untuk memahami Islam dan masyarakatnya. Kebutuhan tersebut juga seiring dengan upaya penundukkan the other (negara terjajah). Karena itu, oksidentalisme dimaksudkan untuk mengembalikan Barat pada posisinya. Selama ini Barat menilai dirinya sebagai peradaban yang matang, humanis, dan modern. Sedangkan peradaban Islam, di samping kelebihannya yang juga diakui Barat, memerlukan pertolongan Barat agar dapat maju seperti peradaban Barat. Oksidentalisme ingin mengurai superioritas semacam itu dengan cara menjadikan peradaban Barat sebagai objek kajian (the other).
Diskursus peristiwa holocaust sejatinya tidak perlu membuat pemerintah Barat tersinggung. Diskursus tersebut sebetulnya hanya berupaya menganalisis sejauhmana dinamika dan ideologi yang menjadi kesadaran masyarakat Barat ketika membantai bangsa Yahudi.
Perspektif dan parameter yang digunakan dalam kajian tersebut adalah kebudayaan Islam. Maka aneksasi Yahudi atas sokongan negara-negara Barat menjadi altar yang menghiasi diskursus tersebut. Tentu kita prihatin dan menyayangkan jika diskursus tersebut berubah menjadi semacam ejekan dan olokan semata kepada masyarakat Barat.
Kajian terhadap Barat (the other) yang dilakukan oleh sarjana Muslim memberikan perspektif baru bagi Barat. Sejarah memang mencatat Barat sebagai peradaban yang maju selama beberapa abad terakhir, namun di samping itu juga memiliki kelemahan. Pespektif seperti ini barangkali tidak mudah ditemukan oleh sarjana Barat, sebab tidak ada 'jarak' antara peneliti dengan objek yang ditelitinya.
Karena itu, oksidentalisme akan memberikan temuan-temuan baru yang berguna bagi Barat untuk memperbaiki dan menyempurnakan peradabannya. Ada kemungkinan di mana oksidentalisme menyimpan potensi proyektif, di mana sarjana Muslim terjebak dengan upaya pembalasan terhadap orientalisme klasik.
Jika hal itu terjadi, maka produk oksidentalisme hanya akan menjadi ''pengolok-olokan'' dan perendahan terhadap the other (Barat). Hal inilah yang disayangkan ketika diskursus holocaust di Iran berubah menjadi karikatur yang ''mengolok-olok''. Kecenderungan itu bisa jadi disebabkan oleh inferiority complex akibat menjadi objek imperialisme dan orientalisme selama beberapa dekade.
Tapi, jika hal itu terus terjadi, maka oksidentalisme tidak lagi menjadi suatu kajian yang netral dan objektif, melainkan menjadi senjata yang digunakan untuk merendahkan the other semata.
Tentu terlalu dini untuk menilai sejauhmana objektivitas proyek kajian oksidentalisme. Waktu akan mengujinya. Diskursus tentang peristiwa holocaust bisa menjadi pintu masuk yang menguji sejauhmana kualitas occsidental studies ini. Maka sejatinya, pemerintah Barat tidak perlu tergesa-gesa menuduh oksidentalisme sebagai anti-semit. Sikap tersebut justru menunjukkan reaksioner. Suatu sikap yang tidak kondusif bagi upaya membangun mutual understanding antara Islam dan Barat.
DialogHarapan kita, oksidentalisme akan mencapai kematangannya, sehingga dialog antarperadaban yang sesungguhnya dapat terjadi. Barat melakukan dialog dengan berpijak pada orientalisme sedangkan Islam dengan oksidentalisme. Keduanya dapat menjadi cermin yang membimbing kepada kearifan kedua pihak.
Kajian kritis tersebut diharapkan membuka ruang introspeksi. Betapapun modern dan majunya peradaban Barat, tetap menyisakan krisis kemanusian dan spiritual. Dan betapapun terbelakangnya peradaban Islam, masih memiliki tradisi dan warisan klasik yang kaya. Umat Islam tidak sepenuhnya terbelakang. Keterbelakangan adalah produksi makna yang tidak sepenuhnya mengandung kebenaran.
- Karena mengingkari holocaust, sejarawan Inggris, David Irving dinyatakan bersalah oleh pengadilan di Wina, Austria. Sebelumnya, Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad juga mengingkari holocaust.
- Wacana holocaust adalah produk oksidentalisme, yaitu kajian masyarakat Timur terhadap Barat, dengan menggunakan ukuran-ukuran Timur.
- Istilah dan disiplin keilmuan oksidentalisme mula-mula diperkenalkan oleh seorang cendekiawan Muslim asal Mesir, Hassan Hanafi. Tujuannya untuk mengurai kesadaran yang terbelah antara ego (Barat) dan the others (Islam).
- Selama ini Barat telah banyak melakukan kajian terhadap the others (Islam), yang dikenal luas sebagai orientalisme, di mana Barat mengidap superiority complex.
- Kajian-kajian yang dilakukan sarjana Muslim terhadap Barat, memberikan perspektif baru bagi Barat. Oksidentalisme memberi temuan-temuan baru yang berguna bagi Barat untuk memperbaiki peradabannya.
- Harapan kita, oksidentalisme akan mencapai kematangannya, sehingga dialog antarperadaban yang sesungguhnya dapat terjadi. Barat berdialog dengan berpijak pada orientalisme, sedangkan Islam dengan oksidentalisme.

REPUBLIKA, Sabtu, 25 Februari 2006
Sumber : http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236876&kat_id=16