Wednesday, March 01, 2006


Dana Kompensasi BBM dan Jaminan Sosial
Oleh Wiwik Suhartiningsih

Bagi pemerintah, mencabut atau meneruskan subsidi harga BBM, adalah pilihan simalakama. Dengan tingkat harga sekarang, setahun nilai subsidi mencapai Rp 73 triliun lebih. Konsekuensinya alokasi dana untuk sektor lain harus dipotomg. Apabila itu menimpa sektor-sektor pembangunan sosial (pendidikan, kesehatan, pangan, dan yang lain), maka ongkos sosial-politiknya jadi besar.
Menurut pemerintah, subsidi selama ini tidak dinikmati keluarga miskin, tapi kelompok kaya. Sebanyak 50 persen subsidi untuk tujuh komoditas BBM yang berbeda, ternyata dinikmati oleh 20 persen kelompok berpendapatan tertinggi. Sementara warga paling miskin hanya menikmati 6 persen dari subsidi itu. Untuk minyak tanah, ternyata 20% dari penduduk miskin hanya menikmati 10 persen dari subsidi. Sebaliknya, 20 persen warga terkaya menikmati 31 persen dari subsidi itu.
Meneruskan subsidi yang melenceng hanya akan memperlebar disparitas pendapatan. Mencabut subsidi tak kalah peliknya. Menurut Bank Dunia, di Indonesia saat ini lebih dari 110 juta penduduk tergolong miskin, hidup dengan penghasilan di bawah US$ 2 atau sekitar Rp 18.310 per hari. Jumlah penduduk miskin ini setara dengan gabungan dari seluruh jumlah penduduk Malaysia, Vietnam dan Kamboja (Kompas, 24/1/5). Apa jadinya jika pencabutan subsidi BBM itu tidak diantisipasi dampaknya pada penduduk miskin? Pemerintah akan dihujat dan demonstrasi meledak di mana-mana.
Mempertahankan subsidi tanpa koreksi dan sebaliknya mencabut subsidi tanpa antisipasi, dampaknya adalah sama buruknya. Mengurangi subsidi BBM dengan berbagai koreksi adalah pilihan rasional. Itulah yang akan dilakukan. Agar warga miskin tidak menderita akibat pengurangan subsidi itu, minyak tanah tidak dinaikkan. Pemerintah juga menyiapkan program kompensasi kenaikan harga BBM: pengobatan kelas tiga di RS dan sekolah gratis untuk anak-anak miskin, pembangunan infrastruktur pedesaan (pembangunan irigrasi dan jalan desa), dan menambah alokasi dana untuk program beras murah untuk rakyat miskin (raskin). Nilai dana kompensasi itu Rp 20 triliun.
Tulang Punggung Keluarga
Pemerintah yakin, kompensasi ini bisa mengurangi dampak kerugian kelompok miskin. Dari semua kelompok masyarakat, kelompok miskin adalah yang paling menderita apabila subsidi BBM dikurangi. Keluarga miskin sangat mudah terkena risiko akibat alam atau faktor buatan manusia (ekonomi, keamanan dan ketertiban). Mereka tidak memiliki instrumen untuk mengatasi risiko, sehingga mereka menjadi sangat rentan terhadap berbagai gejolak, seperti gejolak harga, yang serta-merta membuat kesejahteraan hidup mereka melorot. Itulah sebabnya, kelompok miskin dan rentan akan cenderung menghindari kegiatan yang berisiko. Benarkah program dana kompensasi BBM tersebut efektif dan mampu mereduksi dampak negatifnya pada keluarga miskin? Bagi warga miskin, pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis jelas sangat diperlukan. Di tengah komersialisasi jasa kesehatan dan pendidikan di Tanah Air, dua program itu akan menjamin kemudahan warga miskin dalam mengakses pelayanan publik dasar di bidang kesehatan dan pendidikan. Pembangunan infrastruktur di pedesaan selain akan membuka isolasi juga akan menstimulasi ekonomi. Sementara raskin dengan harga Rp 20.000/10 kg beras, akan menjamin warga miskin bisa memenuhi 40-60 persen dari total kebutuhan beras bulanan. Dengan hal itu memungkinkan warga miskin untuk mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein mereka.Masalahnya, bagi keluarga miskin, ketika anggota keluarga yang jadi tulang punggung pendapatan keluarga jatuh sakit, seberapa pun besar subsidi kesehatan diberikan, hasilnya tetap tidak akan menolong. Sebagian besar warga miskin bekerja di sektor informal. Mereka mendapatkan upah setelah memeras keringat. Ketika tulang punggung keluarga jatuh sakit, dari mana mereka makan? Hal yang sama juga terjadi pada subsidi pendidikan. Seringkali anak-anak keluarga miskin harus ikut bekerja. Kalau pun anak usia 6-15 tahun biaya sekolahnya gratis, mereka belum tentu bisa menikmatinya.Meskipun tulang punggung keluarga miskin diperiksa dokter tanpa bayar dan memperoleh obat gratis, dampak yang mereka rasakan tetap sama: hilangnya sumber penghasilan yang cepat atau lambat akan menyebabkan mereka rawan kehilangan aset produksinya yang lain. Jika pegadaian bisa menerima, instansi itu menjadi labuhan terakhir. Jika tidak, mereka akan jadi makanan empuk para pengijon dan tengkulak, karena mereka umumnya mudah terperangkap utang yang menjerat ketika kondisi ekonomi mereka labil (Suyanto, 2005). Sistem Jaminan Sosial Yang lebih penting lagi, program kompensasi BBM tidak lebih sebagai program yang sifatnya karitatif (amal) dan temporer. Program kompensasi BBM mulai dibuka tahun 2001 ketika subsidi BBM secara gradual dikurangi. Pertanyaannya, apakah program ini akan tetap ada ketika subsidi BBM benar-benar dihapuskan? Jika pun tetap dipertahankan, sampai tahun berapa pemerintah mampu mengongkosinya? Bukankah dengan alasan APBN yang bleeding pemerintah dengan mudah menghapuskannya? Di titik inilah betapa pentingnya sistem jaminan sosial.Sistem jaminan sosial merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan sosial, juga menjadi komponen penting dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan melalui bantuan terhadap kelompok miskin dan kelompok rawan. Jaminan sosial menjadi penting terutama agar kelompok miskin dan rawan mampu mengatasi risiko terhadap berbagai kerawanan sosial dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Itulah sebabnya, jaminan sosial kini telah berkembang dari belas kasihan (charity) menjadi sebagai salah satu hak asasi warga.Sejak Orde Baru, sistem jaminan sosial itu masih belum ada, kecuali asuransi kesehatan. Itu pun di lapangan selalu muncul masalah: alokasinya melenceng dan keluarga miskin yang kebetulan bisa mengaksesnya hanya mendapat layanan kesehatan minimal. Bagaimana dengan pendidikan, pangan, perumahan dan air bersih? Meskipun konstitusi menjamin itu, sampai sekarang sektor pembangunan sosial itu belum tersentuh. Wajah pembangunan sosial makin mengerikan ketika tahun 1998 kita menyerahkan nasib dibawa pengaruh IMF. Sejak itu pembangunan berwajah neoliberal.Tak bisa dibantah, untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang komplet –yang mencakup semua sektor pembangunan sosial—memerlukan dana tidak sedikit. Alasan pemerintah, kita tidak punya dana banyak. Padahal sesungguhnya dana pemerintah itu banyak. Buktinya, kita setiap tahun bisa mencicil utang yang jumlahnya mencapai sepertiga APBN, mensubsidi bank-bank rekap sampai Rp 70 triliun, dll. Mengapa dibilang miskin! Inti soalnya adalah tidak adanya poltical will untuk itu. Lagi pula, untuk membuat sistem jaminan sosial yang memadai tidak harus menunggu kaya atau kelebihan dana.

Penulis adalah peminat masalah sosial-ekonomi pertanian, alumnus Pascasarjana IPB.

No comments: