Tuesday, December 27, 2005

Wajah Narcistis Pemerintahan Kita
Sri Palupi

Apabila pemerintah bisa diidentikkan dengan person, respons para pejabat terhadap berbagai tragedi kemanusiaan menunjukkan, pemerintahan negeri ini kian menegaskan identitasnya sebagai pribadi berwajah narcistis. Pribadi narcistis memandang tubuh sendiri sebagai cermin dan sumber identitas.

Kaget dan bingung adalah dua kata yang kian akrab di telinga rakyat sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla berkuasa. Masyarakat kaget dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang keterlaluan. Masyarakat bingung mendengar presiden kaget dengan kenaikan anggaran kepresidenan, padahal kenaikan itu sudah dibahas dalam rapat kabinet. Masyarakat kaget dengan keputusan pemerintah menaikkan tunjangan DPR di saat rakyat dipaksa berkorban. Masyarakat kaget ketika Gubernur DKI Sutiyoso menghias kota dengan patung, sementara rakyatnya bingung bagaimana hidup bisa disambung.

Di berbagai daerah, masyarakat dibuat tidak mengerti dengan merebaknya busung lapar di tengah kemewahan elite politik yang busung uang. Malah ada belasan wakil rakyat yang pelesir ke Mesir atas nama studi banding. Pendek kata, masyarakat kaget dan bingung dengan beragam kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang tak berorientasi kepada mayoritas rakyat.

Menolak realitas

Bukan hanya kebijakan pemerintah yang bikin kaget, tapi juga sikap pejabat dalam merespons kritik dan ketersingkapan berbagai skandal yang dinilai tak masuk akal. Kasus busung lapar di berbagai provinsi yang menewaskan puluhan anak-anak pun dinilai hanya sebagai kecelakaan atau kejadian luar biasa.

Padahal, assessment terhadap kasus busung lapar yang dilakukan Jaringan Solidaritas Penanggulangan Busung Lapar di NTT menunjukkan, busung lapar adalah realitas keseharian masyarakat miskin, khususnya masyarakat miskin di NTT. Hingga kini kematian akibat busung lapar di NTT masih terus berlangsung, sementara pemerintah sudah menganggapnya selesai.
Kini, tragedi kelaparan di Yakuhimo yang menewaskan 80-an warga, dinilai Menko Kesra Aburizal Bakrie, hanya sebagai gejala awal kelaparan dan bukan tragedi kelaparan besar-besaran. Menteri Kesehatan Siti Fadilah menilai, kelaparan itu bukan kelaparan hebat karena korban yang tewas kebanyakan orang dewasa dan bukan anak-anak. Kalau kelaparan itu wabah hebat, menurut dia, korbannya kebanyakan adalah anak-anak.

Jika demikian, mengapa kasus busung lapar yang menimpa anak-anak di berbagai provinsi hanya disebut kejadian luar biasa dan bukan wabah kelaparan hebat? Mengapa pemerintah cenderung menghindar dari tatapan realitas kemiskinan dan kelaparan, bukannya menatap realitas dengan kedalaman agar masalah bisa dituntaskan?

Wajah narcistis

Modernitas yang dipicu oleh kapitalisme global tidak hanya menghasilkan budaya massa dan masyarakat konsumeris, tetapi juga melahirkan pribadi-pribadi narcistis. Pribadi narcistis membangun identitasnya dengan berorientasi pada tubuh sendiri. Pada tubuh itulah makna diri ditanamkan, sambil berilusi akan keabadian badan. Keterbatasan tubuh diingkari dan diperangi dengan membangun dan menjaga citra diri, lebih menghargai masa depan dan cenderung memutus ikatan dengan yang lampau. Sosok narcistis pada akhirnya tak pernah mampu membangun relasi sosial dengan yang lain.

Sosok berwajah narcistis bisa ditemukan bukan hanya pada individu-individu modern, tetapi juga tergores pada wajah pemerintahan kita. Betapa tidak. Pemerintahan negeri ini, di pusat dan daerah, cenderung memandang penting image atau pencitraan diri, alergi terhadap kritik, dan keputusan-keputusannya lebih banyak ditentukan oleh kepentingan parsial orang-orang di tubuh pemerintahan dan partai.

Dalam memandang waktu, pemerintah lebih berorientasi pada masa depan. Konsekuensinya, berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi, termasuk pembunuhan Munir, dianggap bagian dari masa lampau dan karenanya tidak relevan untuk dituntaskan.
Dalam konteks wajah narcistis pemerintahan, bisa dimengerti jika para pejabat cenderung menolak realitas kemiskinan dan kelaparan. Realitas kemiskinan dan fakta kelaparan mengancam citra diri pemerintah dan tak relevan dengan masa depan. Sebab, masa depan dimaknai hanya sebagai janji untuk memikat suara rakyat tanpa disertai kewajiban untuk memenuhinya. Bisa dipahami, walau sudah merdeka selama 60 tahun, masih banyak wilayah negeri ini yang terisolasi dan warganya mati tanpa diketahui.

Bisa dimengerti juga kalau gaji bersih presiden yang sebesar Rp 62.497.800 per bulan itu dinilai Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra masih terlalu kecil. Dianggap rasional kalau Mendagri Moh Maruf menetapkan pungutan Rp 50 per liter minyak tanah meski kenaikan harga BBM sudah keterlaluan.

Pemerintah berwajah narcistis hanya berjumpa dengan diri sendiri. Dengan hanya menatap diri sendiri, tak ada lagi referensi eksternal (suara rakyat) yang secara nyata memberikan justifikasi atas realitas persoalan dalam konteksnya. Dengan menyandang wajah narcistis, pemerintah akan selalu miskin empati terhadap yang miskin dan kelaparan sebab wajah seperti itu tak akan mampu merasakan apa artinya miskin dan lapar.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights, Peserta Program Pascasarjana STF Driyarkara
Dikutip dari Kompas Selasa 27 Desember 2005

Monday, December 19, 2005

PERLU PEMETAAN KORUPSI
M Amien Rais
Kadang kala terasa masyarakat kita sudah apatis dengan masalah korupsi. Sejak awal 1960-an sampai sekarang korupsi di Indonesia belum pernah dapat ditaklukkan.
Bung Hatta mengatakan, korupsi telah melembaga. Mochtar Lubis berpendapat, korupsi telah membudaya. Begitu melembaga dan membudayanya korupsi, seorang pengamat asing mengatakan korupsi telah menjadi way of life di Indonesia.

Media massa internasional sekitar empat tahun lalu menyebut Indonesia sebagai the sick man of Asia. Ketika krisis moneter menghantam pada pertengahan 1990-an, sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia, oleng. Kini, ekonomi negara-negara itu sudah sehat, kecuali Indonesia. Indonesia masih terkapar. Gebrakan reformasi yang menghadirkan periode transisi ternyata belum berhasil mengubah kondisi sosial ekonomi seperti diharapkan. Periode transisi yang ditandai carut-marut sosial, politik, ekonomi, dan hukum masih menyertai bangsa Indonesia.

Periode transisi itu hakikatnya penataan ulang, rekonstruksi sosial dalam arti luas. Diharapkan setelah 5-7 tahun masa transisi, kita memperoleh kehidupan yang mantap. Kira-kira law and order sudah tegak, ekonomi relatif sudah pulih, stabilitas politik mantap, citra internasional bangsa membaik, dan anak-anak bangsa melihat masa depan dengan optimisme.

Namun, keadaan kita masih mengenaskan. Potret bangsa masih suram. Pengangguran meningkat, kemelaratan meluas, dan hampir semua human development index bangsa di bidang kesehatan dan pendidikan belum membaik. Kiranya kita sepakat, korupsi adalah biang keterbelakangan kita. Korupsi telah menyusup ke sel-sel kehidupan kita.
Tetap meradang

Berbagai lembaga internasional yang mendeteksi korupsi di berbagai negara selalu meletakkan Indonesia sebagai salah satu pemegang peringkat tertinggi korupsi. Awal Desember lalu kita dikejutkan (bagi yang masih bisa terkejut ) temuan PERC (Political and Economic Risk Consultancy) yang membanting Indonesia di panggung regional dan internasional.

Sebanyak 96 eksekutif asing meletakkan Indonesia pada urutan tertinggi kejahatan korupsi. Skala penilaian itu bergerak dari angka nol (terbaik) dan 10 (terburuk). Angka Indonesia 9,44; Singapura 0,89; Hongkong 1,22; diikuti Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Taiwan, China, India, Filipina, dan Vietnam.

Tingginya korupsi, menurut PERC, menyebabkan Indonesia tidak menarik bagi investor asing. Kejuaraan juga menunjukkan, penegakan hukum masih lemah. Kalangan bisnis tetap khawatir tidak mendapat payung hukum jika mereka terjerembab dalam suatu masalah.

Bahwa di era reformasi korupsi terus meradang sudah menjadi pengetahuan publik. Sudah setahun lebih pemerintahan SBY–JK mencoba memerangi korupsi, tetapi kejuaraan korupsi regional tetap melekat pada kita. Mengapa?
Perlu pemetaan
Akhir-akhir ini korupsi kian menyeruak ke semua lembaga negara. Hampir dalam setiap lembaga negara ditemukan kelompok mafioso, para mafia hukum, politik, ekonomi, dan bisnis yang memiliki jaringan rapi. Bila Departemen Agama saja juga dihajar skandal korupsi, haqqul yakin, semua departemen pasti mengalami hal sama. Cuma belum dikuak, dan skalanya mungkin lebih dahsyat.

Rimba korupsi di negara kita amat kompleks dan meriah. Ada pohon korupsi yang akar tunggangnya amat dalam dan batangnya menjulang tinggi, ada pohon berukuran menengah, ada pohon-pohon kecil dan banyak pohon korupsi mini yang hanya bermotivasi survival, lain tidak.
Dalam kaitan ini amat logis bila dibutuhkan semacam road map of corruption, peta lika-liku korupsi. Bila peta korupsi tidak dibuat, langkah-langkah pemberantasan korupsi akan selalu bersifat hit and run. Baik yang bertugas memberantas dan yang akan diberantas lalu terjebak permainan petak umpet alias hide and seek.

Lebih gawat lagi bila pemberantasan korupsi bernuansa selektif, diskriminatif, dan mungkin ada unsur politisasi serta kosmetikisasi, seperti kesan selama ini. Meski petir dan geludhug pemberantasan korupsi keras membahana, tetapi yang turun baru gerimis. Yang terjaring baru korupsi skala kacang goreng. Andaikata Probosutedjo tidak berulah, mungkin kasusnya akan menjadi dark number yang kemudian hilang diembus angin.

Pemetaan korupsi sangat urgen. Seharusnya KPK, Tipikor, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, BPK, BPKP, ditambah lembaga swadaya masyarakat seperti Masyarakat Transparansi Indonesia, Indonesia Corruption Watch, duduk bersama, membuat peta korupsi dimaksud. Hasilnya akan lebih bagus.

Ibarat masuk medan perang yang sulit, lewat peta hasil temuan bersama, akan terlihat mana sasaran strategis, mana sasaran taktis, mana sasaran substantif, mana simbolis dan lainnya. Hal ini dapat menghapus keraguan masyarakat yang kian besar pada usaha pemerintah memberantas korupsi. Selain itu dapat dibuat skala prioritas dan time schedule perang terhadap korupsi sekaligus dapat diketahui keberhasilan dan kegagalannya.

Kepada seorang anggota KPK, saya bertanya, mengapa penyelidikan atau pengusutan KPK belum mengarah kasus BLBI, skandal korupsi terbesar? Jawabannya mengejutkan. Data BLBI sudah lenyap. Namun saya yakin, data itu pasti dapat diperoleh dengan langkah tegas dan berani. Tidak mungkin data korupsi ratusan triliun rupiah hilang tanpa dapat dilacak, seolah lenyap dari file BI, BPK, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, dan lain-lain!

Perlu dicatat pesan Nabi Muhammad SAW, dan semua agama, ”Bila penguasa hanya berani menegakkan keadilan pada orang kecil dan lemah dan takut menegakkan keadilan orang kuat dan berkuasa, maka tunggullah kehancurannya.”

Bila Khairiansyah langsung menjadi tersangka karena memanfaatkan Rp 10 juta Dana Abadi Umat, bagaimana oknum-oknum yang menjarah uang ratusan miliar sampai puluhan triliun rupiah? Mengapa mereka tidak terjangkau hukum?

Comprehensive road map of corruption sungguh amat mendesak. Lembaga-lembaga yang diharapkan dapat memberantas korupsi diharapkan bekerja sama, bukan bekerja berserakan, hit and run, hide and seek. Rakyat menunggu implementasi semboyan ”Bersama kita bisa”. Kalau tidak, tahun depan dikhawatirkan Indonesia tetap di urutan terakhir PERC.
M Amien Rais Guru Besar Fisipol UGM, Yogyakarta
Dikutip dari KOMPAS, Senin 19 Desember 2005

Thursday, December 15, 2005

Ahmadinejad: Pembantaian Hanya Mitos

Teheran, rabu - Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, Rabu (14/12), menyatakan, peristiwa pembantaian kaum Yahudi (holocaust) oleh rezim Nazi Jerman dalam Perang Dunia II hanyalah mitos yang dipakai bangsa Eropa untuk menciptakan negara Yahudi di jantung dunia Islam. Pernyataan ini mengakibatkan Ahmadinejad kembali dihujani kecaman, termasuk dari Israel dan Jerman.

Mereka telah menciptakan mitos bernama holocaust dan menganggapnya lebih penting dari Tuhan, agama, dan para rasul, kata Ahmadinejad di hadapan ribuan warga Iran di Zahedan, kota di Iran tenggara.

Dalam kunjungannya ke berbagai tempat di Iran tenggara Ahmadinejad juga menyatakan, jika bangsa Eropa berkeras menyatakan bahwa pembantaian kaum Yahudi itu benar-benar pernah terjadi, merekalah yang seharusnya bertanggung jawab dan membayar harganya. Jika Anda (bangsa Eropa) yang melakukan kejahatan besar itu, lalu kenapa bangsa Palestina yang tertindas yang harus menanggung akibatnya? kata Ahmadinejad.

Setelah akhir pekan lalu mengecam usulan Ahmadinejad agar Israel dipindahkan ke Eropa, kemarin Israel kembali mengecam pernyataan Presiden Iran itu. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel Mark Regev mengatakan, Pernyataan kasar yang berulang kali dilansir presiden menunjukkan dengan jelas pola pikir kelompok yang berkuasa di Iran.

Sedangkan Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier menyebut pernyataan itu sebagai mengejutkan dan tak bisa diterima. Ia mengingatkan, pernyataan Ahmadinejad akan berpengaruh dalam perundingan tiga besar Eropa soal program nuklir Iran. Steinmeier juga mengungkapkan, pihaknya sudah memanggil kuasa usaha Iran di Berlin untuk menyampaikan kekecewaan Pemerintah Jerman. (AP/Reuters/muk)
Dikutip dari KOMPAS, Kamis 15 Desember 2005

Monday, December 05, 2005

Apakah diri kita senilai dengan uang ?


Malam itu, usai rapat di sebuah kampung di Surabaya, Ngagel Rejo, seorang tokoh masyarakat menyampaikan pesan kepada saya, “Pak Firnas, nanti pada pencairan II kita akan bagikan dana operasional proyek buat bapak. Kalau sekarang kan masih tahap I.”

Saya hanya tersenyum saja mendengarnya. Tanpa banyak komentar, saya terus saja berjalan menuju pintu pagar. Saya berjanji kepadanya bahwa besok akan datang lagi untuk melihat persiapan administrasi yang kurang sebelum Pimpinan Pelaksana Proyek Pembangunan Kampung melakukan monitoring proses pencairan dana tahap I, yaitu dana bergulir yang diperuntukkan bagi usaha kecil dan menengah (UKM).

Sepanjang perjalanan pulang dari kampung itu pikiranku terus terusik dengan pesan tadi. Sebenarnya tidak sekali ini saja pesan itu disampaikan pada saya, tetapi sudah sejak awal sosialisasi proyek perbaikan kampung dia sudah memberikan sinyal seperti itu kepada saya. Dan sekarang, menjelang detik-detik pencairan dana, dia bersama rekan-rekan tokoh masyarakat di kampung acapkali membicarakan dana itu dengan berbagai bahasa.

Saya terus terang sering risih dengan pembicaraan seperti ini. Bahkan saya sangat menyesalkan dan prihatin dengan ‘kebudayaan’ ini. Bagaimana tidak, masyarakat kecil saja sudah cukup fasih dengan bahasa-bahasa yang berbau korupsi dan suap seperti ini, apalagi mereka yang di lingkungan kerjanya tak bisa melepaskan dari budaya korupsi dan suap. Di kantor pemerintahan, tempat dimana saya mesti bernegosiasi masalah pekerjaan proyek, acapkali saya harus berhadapan dengan orang-orang yang sering berpikiran dan bertindak korup dan mentalitas selalu minta disuap!

Setahun yang lalu peristiwa serupa ini sudah saya alami, bahkan terjadi 2 kali. Pertama, dengan warga kampung Wonokusumo. Dan yang kedua warga kampung Rungkut Menanggal. Alhamdulillah, godaan pemberian uang ‘jasa’ pendampingan masyarakat ini bisa saya tolak dengan cara halus. Kenapa pemberian uang ‘jasa’ ini saya tolak ? Pertama, bagi saya, sudah cukup uang gaji atau honorarium – meski pas-pasan -- yang saya peroleh dari perusahaan Konsultan yang telah memberi saya kesempatan bekerja. Walaupun pas-pasan, uang yang sudah saya peroleh dari hasil keringat bekerja bisa memberi ketentraman batin. Yang kedua, saya memang merasa tidak berhak dengan uang uang ‘jasa’ itu. Karena pada dasarnya uang itu dipergunakan untuk warga masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi. Apalagi, dana itu ada embel-embel dana pengentasan kemiskinan. Jadi, sangat tidak etis kalau saya ikut menikmati uang itu.

Ketika saya dipaksa menerima uang ‘jasa’ itu, saya punya kiat tersendiri. Biasanya, dalam posisi terpojok, saya menerima uang itu. Tetapi pada saat itu juga saya bilang pada orang yang memberikan uang tersebut,” Kalau bapak memang memaksa, saya terima uang ini. Tapi izinkan juga uang ini saya sumbangkan untuk warga disini melalui bapak.” Sekali lagi, uang itu saya terima. Tetapi pada saat itu juga saya menyumbang warga dengan uang itu.

Dengan cara seperti ini, Alhamdulillah, orang yang tadinya terus memaksa saya untuk menerima uang itu bisa memahami sikap saya. Tak hanya itu, ketika proyek sudah habis, hubungan persaudaraan diantara kami menjadi lebih baik. Dan pada akhirnya, saya pun tak dinilai orang dengan uang beberapa ratus ribu atau jutaan rupiah.

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat) -Ku.” Al Baqoroh 152

Semoga Allah senantiasa menuntun saya ke jalan yang lurus yang diridloi-Nya. Amin. (*)

Friday, December 02, 2005

Kemarin, Rabu 1 Desember, hampir semua famili dari ibuku pada ngumpul di Jombang. Mereka sedang Tasyakuran untuk mendoakan anak-anak dari bu Lik Iah, demikian ia dipanggil, yang akan berangkat menjalankan ibadah Haji tahun ini.
Sayang aku nggak bisa hadir. Tapi aku masih bisa bersyukur karena usai acaranya aku bisa ddatang ke Jombang meski telat banget. Nggak apa-apa khan? Yang penting Silaturrohminya. Mudah-mudahan mereka (Fanny, Nelly, Ririn dan Mbak Nur) bisa menjalankan ibadah Haji sebaik-baiknya dan kembali selamat pulang ke tanah air. Dan yang lebih penting lagi, ada perubahan yang mesti mereka tampilkan sepulang dari sana. Semoga !