Ketika Barat 'Tersengat' Holocaust
Oleh : M Hilaly BasyaDosen Uhamka,
Direktur Eksekutif CMM, dan Ketua LemKIS Yayasan Assa'adah Ulujami
David Irving, sejarawan Inggris, dijatuhi hukuman mati tiga tahun penjara oleh pengadilan Wina, Austria, 21 Februari. Irving dinyatakan bersalah karena mengingkari adanya pembantaian jutaan Yahudi (holocaust) di masa Perang Dunia II. Kenyataan ini berseberangan dengan kasus kartun Nabi Muhammad SAW. Pemerintah Barat justru memberikan ruang kebebasan bagi dunia pers untuk mempublikasikannya di beberapa media lain.
Validitas informasi sejarah yang diutarakan oleh Irving belum tentu mengandung kebenaran. Namun kita menyayangkan jika temuan tersebut dilarang menjadi bahan diskursus publik dan ilmuwan. Sebelumnya Presiden Iran, Ahmadinajed, juga menyatakan hal serupa, dan selama beberapa minggu ini holocaust menjadi diskursus publik di Iran.
OksidentalismeJika dicermati lebih jauh, diskursus holocaust pada dasarnya adalah sebuah produk dari oksidentalisme, yaitu kajian yang dilakukan oleh masyarakat Timur (Islam) tentang kebudayaan dan sejarah Barat. Kajian tersebut menggunakan perspektif dan ukuran-ukuran Timur. Oksidentalisme sebagai sebuah istilah dan disiplin keilmuan diperkenalkan oleh seorang cendekiawan Muslim asal Mesir, Hassan Hanafi, dalam bukunya, Muqaddimah fi 'Ilmi al-Istighrab (1999), atau Pengantar Oksidentalisme. Buku ini diterjemahkan oleh penerbit Paramadina dengan judul Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, 2000. Hanafi mengatakan bahwa oksidentalisme muncul untuk mengurai kesadaran yang terbelah, antara ego (Barat) dan the other (Islam). Sejauh ini Barat telah banyak melakukan kajian terhadap the other (Islam), yang dikenal luas sebagai orientalisme.
Menurut Hanafi, Barat mengidap superiority complex, sehingga kajian para orientalis tersebut mengandung muatan ideologis. Latar belakang tumbuhnya orientalisme sendiri didorong oleh kebutuhan negara-negara Barat untuk memahami Islam dan masyarakatnya. Kebutuhan tersebut juga seiring dengan upaya penundukkan the other (negara terjajah). Karena itu, oksidentalisme dimaksudkan untuk mengembalikan Barat pada posisinya. Selama ini Barat menilai dirinya sebagai peradaban yang matang, humanis, dan modern. Sedangkan peradaban Islam, di samping kelebihannya yang juga diakui Barat, memerlukan pertolongan Barat agar dapat maju seperti peradaban Barat. Oksidentalisme ingin mengurai superioritas semacam itu dengan cara menjadikan peradaban Barat sebagai objek kajian (the other).
Diskursus peristiwa holocaust sejatinya tidak perlu membuat pemerintah Barat tersinggung. Diskursus tersebut sebetulnya hanya berupaya menganalisis sejauhmana dinamika dan ideologi yang menjadi kesadaran masyarakat Barat ketika membantai bangsa Yahudi.
Perspektif dan parameter yang digunakan dalam kajian tersebut adalah kebudayaan Islam. Maka aneksasi Yahudi atas sokongan negara-negara Barat menjadi altar yang menghiasi diskursus tersebut. Tentu kita prihatin dan menyayangkan jika diskursus tersebut berubah menjadi semacam ejekan dan olokan semata kepada masyarakat Barat.
Kajian terhadap Barat (the other) yang dilakukan oleh sarjana Muslim memberikan perspektif baru bagi Barat. Sejarah memang mencatat Barat sebagai peradaban yang maju selama beberapa abad terakhir, namun di samping itu juga memiliki kelemahan. Pespektif seperti ini barangkali tidak mudah ditemukan oleh sarjana Barat, sebab tidak ada 'jarak' antara peneliti dengan objek yang ditelitinya.
Karena itu, oksidentalisme akan memberikan temuan-temuan baru yang berguna bagi Barat untuk memperbaiki dan menyempurnakan peradabannya. Ada kemungkinan di mana oksidentalisme menyimpan potensi proyektif, di mana sarjana Muslim terjebak dengan upaya pembalasan terhadap orientalisme klasik.
Jika hal itu terjadi, maka produk oksidentalisme hanya akan menjadi ''pengolok-olokan'' dan perendahan terhadap the other (Barat). Hal inilah yang disayangkan ketika diskursus holocaust di Iran berubah menjadi karikatur yang ''mengolok-olok''. Kecenderungan itu bisa jadi disebabkan oleh inferiority complex akibat menjadi objek imperialisme dan orientalisme selama beberapa dekade.
Tapi, jika hal itu terus terjadi, maka oksidentalisme tidak lagi menjadi suatu kajian yang netral dan objektif, melainkan menjadi senjata yang digunakan untuk merendahkan the other semata.
Tentu terlalu dini untuk menilai sejauhmana objektivitas proyek kajian oksidentalisme. Waktu akan mengujinya. Diskursus tentang peristiwa holocaust bisa menjadi pintu masuk yang menguji sejauhmana kualitas occsidental studies ini. Maka sejatinya, pemerintah Barat tidak perlu tergesa-gesa menuduh oksidentalisme sebagai anti-semit. Sikap tersebut justru menunjukkan reaksioner. Suatu sikap yang tidak kondusif bagi upaya membangun mutual understanding antara Islam dan Barat.
DialogHarapan kita, oksidentalisme akan mencapai kematangannya, sehingga dialog antarperadaban yang sesungguhnya dapat terjadi. Barat melakukan dialog dengan berpijak pada orientalisme sedangkan Islam dengan oksidentalisme. Keduanya dapat menjadi cermin yang membimbing kepada kearifan kedua pihak.
Kajian kritis tersebut diharapkan membuka ruang introspeksi. Betapapun modern dan majunya peradaban Barat, tetap menyisakan krisis kemanusian dan spiritual. Dan betapapun terbelakangnya peradaban Islam, masih memiliki tradisi dan warisan klasik yang kaya. Umat Islam tidak sepenuhnya terbelakang. Keterbelakangan adalah produksi makna yang tidak sepenuhnya mengandung kebenaran.
- Karena mengingkari holocaust, sejarawan Inggris, David Irving dinyatakan bersalah oleh pengadilan di Wina, Austria. Sebelumnya, Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad juga mengingkari holocaust.
- Wacana holocaust adalah produk oksidentalisme, yaitu kajian masyarakat Timur terhadap Barat, dengan menggunakan ukuran-ukuran Timur.
- Istilah dan disiplin keilmuan oksidentalisme mula-mula diperkenalkan oleh seorang cendekiawan Muslim asal Mesir, Hassan Hanafi. Tujuannya untuk mengurai kesadaran yang terbelah antara ego (Barat) dan the others (Islam).
- Selama ini Barat telah banyak melakukan kajian terhadap the others (Islam), yang dikenal luas sebagai orientalisme, di mana Barat mengidap superiority complex.
- Kajian-kajian yang dilakukan sarjana Muslim terhadap Barat, memberikan perspektif baru bagi Barat. Oksidentalisme memberi temuan-temuan baru yang berguna bagi Barat untuk memperbaiki peradabannya.
- Harapan kita, oksidentalisme akan mencapai kematangannya, sehingga dialog antarperadaban yang sesungguhnya dapat terjadi. Barat berdialog dengan berpijak pada orientalisme, sedangkan Islam dengan oksidentalisme.
REPUBLIKA, Sabtu, 25 Februari 2006
Sumber : http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236876&kat_id=16